Pluviophile [Tersedia Di Fizz...

De DekaLika

23.4K 1.9K 353

[Tersedia di Fizzo dengan versi baru yang lebih panjang dan banyak plot twist-nya] Bagaimana rasanya terjebak... Mais

Prolog
Bab1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Diki Wahyudi
Eriska Febri
Epilog

Bab 20

294 31 1
De DekaLika

"Jangan pernah menjanjikan aku apapun lagi. Aku sudah lelah."

*

Tidak ada yang mengatakan cinta itu salah. Tapi mengapa kau menghukumnya hanya karena kesalahanmu memilih orang untuk dicintai?

Sudah beberapa kali laki-laki bermata hazel di depannya membuat dia muak. Apa yang membuat laki-laki ini selalu terlihat tidak beres olehnya.

"Udahlah, Dy. Kamu janji-janji gini buat apa? Ngga ada gunanya," kata Riska bosan. Berkali-kali Waldy menarik tangannya untuk tetap di sana mendengarkan laki-laki itu bicara.

"Please, kamu tahu aku. Kamu tahu kalau aku masih sayang sama kamu. Sampai sekarang aku.."

"Ngga ada yang namanya sayang kayak gini," bantah Riska cepat.

Waldy diam. Lalu ditatapnya perempuan yang hampir sama tinggi dengannya ini, lekat ke dalam matanya, mencari jawaban. "Siapa yang mulai duluan permainan ini?"

Kata-kata itu membuat Riska bungkam. Dia menekuk kepalanya dan menatap sepatunya, seolah itu adalah pemandangan yang menarik saat ini. Dia tidak tahu harus marah, menyesal atau menyerah sekarang. Mungkin benar jika dia yang memulai permainan ini menjadi rumit. Namun apa salahnya, bahkan Riska tidak melakukan hal seketerlauan yang laki-laki itu lakukan padanya.

"Oke. Permainan ini kita akhiri." Riska berkata sambil menghela napas panjang.

Waldy tersenyum.

"Juga tentang kita."

Sekarang wajahnya berubah muram. Menyiratkan kecewa, marah atau entahlah. Waldy tidak dapat merasakan emosi apa yang menggelutinya kali ini. Tatapannya yang semula berarti kini hanya bisa memandang bingung sosok di depannya. Mungkin dia butuh beberapa menit lagi untuk mencerna maksud dari kata-kata Riska.

Atau tidak butuh detik sekalipun.

Riska tidak lagi berniat melanjutkan kata-katanya karena laki-laki itu hanya diam. Dipikirannya, laki-laki itu sudah mengerti.

"Ya udah," kata Riska kemudian. "Aku pergi dulu." Dia berbalik dan berlalu dari sana.

Sepersekian detik kemudian, Waldy sadar dari apa yang dilamunkannya. Membuat tubuhnya diberi perintah untuk menarik kembali tangan perempuan yang sudah beberapa langkah pergi dari hadapannya.

"Apa lagi?" Riska mengernyit kesal.

"Kamu ngga bisa seenaknya mutusin ini. Aku ngelakuin ini karna kamu yang mulai. Selama ini aku nunggu kamu.." protes Waldy merasa tidak terima dengan keputusan sepihak yang dibuatnya. Bukankah mereka dulu sama-sama sepakat untuk mengakhiri permainan ini pada waktu yang tepat dan kembali pada janji awal mereka, bersatu.

"Kamu nunggu aku, atau aku yang nunggu kamu?" tanya Riska. Dia memberanikan diri menantang mata hazel itu meskipun dia tahu jantungnya sudah terlalu jauh mengambil resiko di dekat laki-laki ini.

"Aku yang salah mulai permainan ini. Tapi kamu yang salah dalam cara bermain kamu, Waldy! Ngga usah tanya tentang perasaan lagi. Aku udah ngga punya hati buat kamu. Ngga ada!" ucap Riska penuh penekanan. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Sekuat mungkin ia menahan agar butiran-butiran lemah itu tidak lolos dari sana.

"Kalian pelukan di depan aku. Itu yang kamu bilang nungguin aku? Gitu cara kamu buktiin kamu nungguin aku, Waldy," isaknya pilu. "Bilang kalau kamu ngga pernah sayang sama aku.. aku ngga bakal sakit kayak gini.." Dia memukul-mukul dada laki-laki itu dengan tenaganya yang tidak seberapa dibanding sesak yang sudah ia tahan sedari tadi.

Mendengar itu membuat hati Waldy mencelos. Dia melupakan kejadian itu, ketika Nia tidak sengaja terpeleset di jalan basah karena hujan hari itu dan jatuh ke pelukannya. Insiden itu berlangsung selama satu menit sampai akhirnya matanya menangkap ada sesosok berseragam yang melihat mereka berdua. Ia ingin melepaskan pelukan itu, namun Nia menahannya. Dan Waldy dapat melihat punggung Riska yang berlari menjauh dari mereka.

"Ka?" panggilnya. Namun suaranya teredam oleh tangis Riska. "Maafin aku," lirihnya. Namun tidak mengubah apapun selain Riska yang kini memberi jarak di antara mereka dan menggelengkan kepalanya berkali-kali. Mungkin Waldy tidak perlu mengulang panggilannya lagi. Karena perempuan itu sudah pergi. Sama seperti hari itu.

Dia berlari, jauh, dan semakin jauh dari pandangannya.

*

Diki duduk tertegun di tepi ranjangnya. Kejadian beberapa menit yang lalu terus terekam di benaknya. Membuat dirinya uring-uringan sendiri mengingat itu.

Sungguh sebuah teka-teki. Perempuan itu. Mengusik pikirannya sejak pertama mereka bertemu. Setiap tingkahnya, suaranya, dan hubungannya dengan sepupunya--mungkin lebih tepatnya sekarang, kedua orang yang memiliki hubungan saudara dengannya itu.

Bagaimana mungkin perempuan itu bisa mengenal dua orang itu sekaligus. Dan tentu saja pandangan mata Diki masih baik-baik saja melihat perempuan itu menangis di depan Waldy. Pendengarannya, tidaklah rusak sama sekali. Dia mendengar semua itu.

Permainan?.

Apa maksudnya itu. Mereka memainkan sebuah permainan? Dipikiran Diki, seperti sebuah permainan perasaan. Mungkin saja, dilihat dari bagaimana mereka berdua mengatakan itu, insting Diki mengatakan mereka memiliki hubungan.

Siapa yang sebaiknya Diki temui. Salah satu dari laki-laki itu? Atau perempuan itu? Mungkin tidak ada di antara ketiganya.

Tapi kenapa, ketika dia mendengar perempuan itu menangis membuat otaknya memutar sesuatu berulang kali. Diki merasa dia harus mengetahui ini.

Tidak. Protes Diki dalam hati.

Dia bukanlah seseorang yang akan mencampuri urusan orang lain. Diki tidak akan pernah mengurusnya sekalipun itu masalah saudaranya sendiri. Toh, ini masalah sepupunya, bukan dia. Jadi kenapa Diki yang uring-uringan ingin menemui mereka satu persatu.

Benar. Itu tidak perlu.

*

Riska masih setia memeluk gulingnya di dalam selimut. Matanya menatap kosong lemari pakaiannya, tepatnya menatap boneka kelinci besar yang masih dalam posisi yang sama seperti saat ia tinggalkan waktu itu.

Wajahnya sedih. Perasaan gelisah yang ia rasakan belum juga hilang. Semakin malam, semakin larut ia dalam kesedihan. Seolah-olah para jangkrik setuju membuat malam ini menjadi semakin mencekam dengan bersembunyi dan tidak meramaikan malam.

Dwira sudah menelponnya puluhan kali yang ia balas dengan menatap kosong benda layar datar itu. Tidak ada niatnya untuk menyentuh tombol jawab. Memandangnya saja lebih menarik baginya dari pada mendengar suara cerewet laki-laki itu.

Dasar laki-laki mulut ekor ayam. Setiap saat berlebihan menanyakan tentang keadaannya. Memangnya apa gunanya dia nyinyir mengetahui apa yang sedang Riska lakukan, memangnya laki-laki itu mau mengurus rumahnya jika ia mengatakan apa yang dia lakukan di rumah.

Ponsel Riska sudah tenang sejak sepuluh menit yang lalu. Mungkin laki-laki itu sudah bosan melakukan hal bodoh itu tanpa hasil. Membuat Riska benafas lega sekarang.

Ujian semester dua sudah berakhir. Tugas mereka di semester dua juga sudah habis. Besok adalah liburan panjang yang membosankan bagi Riska. Tidak akan ada yang mengajaknya pergi jalan-jalan atau bermain ke rumahnya. Mengingat perang dinginnya dengan Rani. Pastilah perempuan satu itu tidak akan menginjakkan kakinya ke rumah Riska--sementara waktu ini.

Riska menghelas napas. Dia terpaksa berbohong pada mamanya tentang penyebab matanya yang sembab saat pulang sekolah. Tentu saja Riska menghabiskan waktunya untuk bersembunyi dan menangis sebelum dia sampai di rumah. Bagaimana bisa dia meluapkan kesedihannya suasana rumah ramai, apalagi mereka pasti nyinyir menyuruh Riska keluar kamar untuk makan.

Ponsel Riska bergetar lagi. Kali ini hanya sekali.

Riska mengangkat kepalanya untuk melihat notifikasi apa yang mampir ke ponselnya.

New Massage

Dahinya mengerut. Kemudian tangannya mengambil ponsel itu dari atas nakas dan membaca pesan tersebut.

Kalau gue telpon. Lo mau angkat, kan?

Membaca itu membuat Riska menggigit bibir bawahnya ragu.

Pesan itu bukan dari Dwira. Tapi dari nomor baru. Nomor yang masih Riska ingat telah mengganggu tidurnya tengah malam.

Itu adalah Diki.

Ketika Riska masih sibuk berpikir-pikir. Satu pesan kembali masuk.

Gue ngga bakal telpon kalau lo ngga balas. Jadi gue nunggu persetujuan. Gue ngga bakal ganggu.

Kali ini perasaannya kembali ragu. Apa yang harus ia lakukan. Mengangkat telpon Diki dan mengatakan semuanya.

Tentu saja laki-laki itu akan menanyakan siapa dirinya. Dan tentang yang mengantarnya ke rumah sakit hari itu.

Oke.

Satu kata itu. Dalam hitungan detik sebuah panggilan masuk. Riska tertegun menatap nomor tersebut.

Sebenarnya apa yang diinginkan laki-laki itu. Apakah Riska akan menerima sebuah ucapan terimakasih?

Baiklah. Kedengarannya mudah.

Jadi Riska memutuskan mengangkat panggilan tersebut dan meletakkan ponselnya di samping telinga kananya.

"Hallo?" sapanya.

Hening beberapa detik membuat Riska mengerutkan dahi bingung.

"Mau ngomong apa?" tanya Riska setelah beberapa detik tidak ada sahutan.

Lagi, tidak ada jawaban. Riska curiga dengan yang sedang laki-laki itu lakukan di seberang sana.

"Gue tutup.."

"Tunggu!" Akhirnya dia bicara.

"Iya?" kata Riska menanggapi.

"Lo yang ada di ambulan waktu itu, kan? Lo juga yang nelpon Kevin?"

"Iya."

"Gue boleh tahu nama lo? Gue mau ngucapin makasih."

"Sama-sama. Ngga masalah, kok."

"Nama lo siapa?"

Hening. Tidak ada lagi sahutan.

Riska tidak jadi menyahut tapi telepon sudah mati begitu saja. Dia berdecak malas. Kenapa laki-laki itu tiba-tiba memutuskan teleponnya.

Dia meletakkan ponselnya kembali ke atas nakas. Kemudian dia menarik selimutnya dan memejamkan mata.

Riska harus tidur. Besok dia akan bermalas-malasan di hari pertama liburannya.

♥~♥

Ganti yang minggu lalu ngga update ya.

Continue lendo

Você também vai gostar

1.5M 130K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
MARSELANA De kiaa

Ficção Adolescente

1.8M 75.2K 34
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
584K 27.7K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
My Sexy Neighbor De F.R

Ficção Adolescente

1M 16K 27
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+