Pluviophile [Tersedia Di Fizz...

By DekaLika

23.4K 1.9K 353

[Tersedia di Fizzo dengan versi baru yang lebih panjang dan banyak plot twist-nya] Bagaimana rasanya terjebak... More

Prolog
Bab1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Diki Wahyudi
Eriska Febri
Epilog

Bab 18

275 33 3
By DekaLika

"Pernah seseorang mengatakan, perasaan nyaman bukan sekedar genggaman tangan semata, namun juga bisik rindu yang nyata."

*

Tahanlah sedikit lagi.

Kata-kata tersebut terus menghantui otak Diki. Laki-laki itu tengah duduk sendiri di meja makan dengan segelas air putih di depannya. Semua anggota keluarganya sudah menyelesaikan makan malam dan melakukan aktivitas mereka seperti biasa. Ia melirik sejenak tangannya yang meninggalkan bekas luka karena kecelakaannya satu minggu yang lalu.

Suara-suara itu terus muncul di kepalanya. Akhir-akhir ini, otak Diki terus dipaksa bekerja untuk mencari jawaban-jawaban yang tak pernah ia temukan. Ia menatap kosong air putih yang permukaannya bergetar karena kaki Diki yang tak sengaja menyenggol kaki meja. Ia menghirup dan menghembuskan napas berkali-kali.

Ibu yang baru saja kembali dari dapur mencuci piring-piring dan peralatan dapur lainnya, melihat Diki duduk sendirian di meja makan. Wanita itu awalnya ingin segera ke kamarnya menyetrika pakaian suaminya yang sudah menumpuk selama tiga hari ini karena Aska, bayi kecilnya berulah manja padanya akhir-akhir ini.

"Mikirin apa, nak?" tanyanya memegangi bahu Diki membuat laki-laki itu menoleh dan membalasnya dengan senyuman. Dilihatnya mata anaknya itu sedang memikirkan sesuatu. Memang, sejak kepulangannya dari rumah sakit membuat ia lebih banyak diam dan mengurung diri di kamar sehabis pulang sekolah.

"Keingat sama anak sekolah yang nganterin aku ke rumah sakit aja, Bu," jawabnya lembut. Matanya kembali tertegun pada meja persegi panjang yang sudah bersih dari satu butir nasipun. Ia kemudian menegak air putihnya sampai habis, dia menggenggam gelas itu agak lama, lalu meletakkan kembali gelas itu di atas meja.

Ibu tersenyum kecut. Ternyata anaknya masih memikirkan hal itu. "Iya, ibu juga pengen ketemu sama dia dan ngucapin terimakasih karena sudah memberitahu kami tentang keadaan kamu," kata ibu tenang kemudian meraba pelipis Diki yang diperban. Ia terlalu bahagia selama ini, sampai ia lupa pada seseorang yang sudah menjadi perantaranya agar bisa bertemu anaknya kembali. Diki membiarkan tangan ibunya yang dingin dan lembab menyentuh lukanya yang diperban. Dia menatap ke dalam mata wanita terkasih itu, menerka-nerka apa yang sedang dipikirkannya.

"Dia kenal aku sama Kevin, tapi dia ngga nyebutin nama pas minta nomor ayah. Kevin juga lupa lagi nanyain nama dia," katanya lagi setelah lama hening di ruangan tersebut. Itulah yang membuat Diki memaksa Kevin datang ke rumahnya saat ia sudah pulang dari rumah sakit, meski sahabatnya sejak kecil itu mengangkat teleponnya dan beberapa kali menguap, namun tak mengurangi rasa penasarannya dan membiarkan Kevin kembali tidur.

"Ibu ngga tidur?" kata Diki kemudian setelah ibunya berhenti meraba pelipisnya dan sekarang mengelus bahunya keibuan. Perlakuan kecil yang selalu Diki rindukan jika di dekat ibunya. Ia akan selalu teringat masa kecilnya ketika ibunya mengelus bahunya sambil menyanyikan sebuah lagu sebelum dia tidur.

"Iya, ibu tidur sebentar lagi. Kamu juga harus tidur. Kamu masih butuh banyak istirahat." Ia menasehati putranya yang hanya membalasnya dengan anggukkan. "Aku tidur dulu ya, Bu," kata Diki singkat yang dibalas oleh wanita yang masih muda di umurnya yang ke tigapuluh tujuh tahun itu dengan senyum keibuan. Tanpa banyak bicara Diki berdiri dan melangkah ke kamarnya diiringi tatapan sendu ibunya. Sampai akhirnya tubuh Diki menghilang di balik pintu barulah ibu bangkit dan menuju kamarnya melakukan pekerjaannya selanjutnya.

Diki rebahan di ranjangnya. Ia menarik selimut hingga sebatas pinggangnya. Dia menerawang menatap langit-langit kamarnya yang terlihat samar-samar karena hanya ada lampu tidur kecil yang menjadi penerangan satu-satunya di kamarnya. Lagi-lagi suara yang pernah ia dengar muncul kembali di kepalanya.

Suara itu terdengar tidak asing, mungkin pernah hinggap di telinganya beberapa kali. Diangkatnya tangan kirinya dan menatap sejenak telapak tangannya. Ia masih merasakan tangan kecil dan halus itu mengenggam tangannya. Ia menghela napas kasar, mencoba mengusir perasaan gusarnya.

Kemudian dia meringkuk ke samping. Tiba-tiba bayangan wajah Tesa muncul di kepalanya dengan berbagai rupanya. Bentuk wajahnya yang oval dan hidungnya yang mancung menambah kesan manis perempuan itu. Diki tersenyum, ia teringat bagaimana rupa perempuan berumur satu tahun di bawahnya itu jika ia menganti gaya rambutnya ke sekolah. Tesa dengan rambut panjangnya yang tergerai atau ia ikat sebagian ke belakang. Walau perempuan itu lebih suka rambutnya yang tergerai, kadang-kadang ia juga pernah mengucir kuda rambutnya dan membiarkan sedikit rambut-rambut kecilnya keluar dari pelipis kiri dan kanannya. Juga bagaimana cara gadis itu tersenyum dan berubah manja padanya, sama seperti saat mereka berdua sore itu.

Kala itu, Diki sedang melaju santai dengan motornya di jalan yang tidak terlalu ramai seperti biasanya. Ada beberapa pejalan kaki berseragam sepertinya, juga orang-orang yang tinggal di sekitar sana, mungkin mereka tengah menikmati sinar matahari sore yang hangat bersama anak-anak mereka.

Tiba-tiba Diki merasakan pahanya geli karena ponselnya bergetar bekali-kali menandakan ada panggilan masuk. Diki sengaja mengganti mode getar ponselnya jika ia sedang di lingkungan sekolah. Karena bagaimanapun juga sekolah melarang siswa-siswinya membawa alat komunikasi tersebut karena dapat mengganggu proses belajar. Meskipun begitu, tetap saja masih ada-hampir seluruh siswa-siswi- membawa benda persegi tersebut. Mereka merasa itu tidak bisa dipisahkan dari diri mereka.

Laki-laki itu meronggoh saku celananya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang stang motornya sebagai kendali. Senyumnya mengembang sempurna kemudian ia menggeser icon berwarna hijau ke kanan dan meletakkan benda tersebut di telinga kirinya. "Aku masih di jalan, sayang. Cepat banget kangennya," kekeh Diki langsung tanpa menyapa si pemilik nomor terlebih dahulu. Tesa yang mendengar itu memasang wajah cemberut. Ia yakin pasti Diki sekarang sedang menertawainya karena menelpon terlalu cepat. Bahkan Diki baru saja mengantarnya pulang sepuluh menit yang lalu dan dia belum berganti pakaian. Tapi kemudian dia tersipu membenarkan perkataan Diki di dalam hati. Sadar bahwa Diki sedang menunggunya bicara, ia menjawab, "Ya, udah. Hati-hati, ya." Lalu dia mematikan telepon setelah Diki menyahutinya. Tesa menghempaskan tubuhnya di ranjang. Dia tersenyum malu mengingat bagaimana kecan mereka hari ini di taman kota, berdua, dengan Diki.

Setelah itu, Diki menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana abu-abunya. Ia menepuk-nepuk celananya yang sedikit kotor karena debu jalan. Laki-laki dengan garis wajah tegas itu mengedarkan pandangannya ke depan. Kedua tangannya kini sudah memegang kembali kedua stang motornya. Dilihatnya tidak ada tanda-tanda kendaraan yang akan melintas di perempatan, Diki segera membelokkan motornya ke kanan. Ia sukses sampai di jalannya. Tidak begitu jauh, sebuah mobil melaju tanpa arah di depannya sejauh 100 meter. Mobil itu berbelok ke kanan dan ke kiri tak menentu membuat laki-laki itu mengerutkan dahinya bingung. Dia mencoba mencari jalan agar dapat melewati pengendara mobil yang ia yakini sedang mabuk. Sebelum Diki sadar ada celah dari sebelah kiri jalan dan menggas motornya kencang, mobil itu sudah meyenggol bagian ekor motornya dan membuat ia terpental ke tepi trotoar. Mobil yang hilang kendali tadi ikut menabrak pembatas jalan dan menghantam tiang lampu jalan.

Jalan yang semula lengang kini mendadak riuh-yang entah dari mana asalnya-mereka berlarian mendekati lokasi kejadian. Diki merasakan tubuh bagian belakangnya sakit karena lebih dulu mengenai ujung tepi trotoar. Dia meletakkan tangannya di wajahnya dan merasakan ada cairan dengan bau khas mengalir dari bagian pelipisnya. Sinar matahari masuk melalui ujung matanya yang sedikit terbuka. Suara dari kerumunan orang-orang tadi mengucapkan kata prihatin dan ada yang berteriak menyuruh memanggil ambulan. Kepala Diki menyentak sakit saat di sekelilingnya orang-orang berbicara dan tertangkap oleh indra pendengarannya. Tiba-tiba Diki merasa ada yang meraba pelipisnya dengan ragu-ragu. Tubuh Diki tersentak menerima sentuhan yang entah sejak kapan suara kecil dan gemetar menyebutkan namanya. Diki kenapa? Otak Diki masih bisa menerima dan mengirimkan sinyal bahwa ada seseorang di dekatnya. Tangan Diki yang tadi juga meraba pelipisnya telah ia jatuhkan ke aspal. Ia merasa tubuhnya sangat lelah untuk sekedar membuka mata.

Sayup-sayup didengarnya serenai ambulan semakin dekat dan berhenti tidak jauh di tempatnya. Beberapa detik berikutnya, ia merasa tubuhnya diangkat oleh beberapa orang hingga ke dalam mobil ambulan. Diki bersyukur dalam hati, ia berharap masih bisa tertolong dan segera di bawa ke rumah sakit. Bunyi serenai ambulan yang memekakkan telinga masih mengisi pendengarannya yang tajam. Diki menarik napas panjang dan menghembuskannya, lelah.

Laki-laki yang sudah merasa semua otot-ototnya lelah. Ia hanya bisa merapalkan doa di dalam hati, semoga ia masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk tetap memiliki nyawanya. Tiba-tiba, sebuah tangan yang sama menggenggam tangan Diki lembut. Begitu lembut hingga takut membangunkan dirinya. Rasa hangat menjalari tubuh Diki, tangannya spontan membalas genggaman itu dan mengeratkannya. Alisnya bertaut samar menerima sentuhan di tangan kirinya. Lalu masih suara yang sama di dengar Diki berucap gemetar di telinga kirinya.

Tahanlah sedikit lagi. Kamu harus kuat, Diki.

Itu membuat Diki ingin segera membuka matanya dan melihat siapa di sana. Namun matanya tak mampu ia kedipkan karena rasa sakit di kepalanya seperti akan pecah menahan rasa sakitnya. Diki menyerah, setelah itu dia tidak tahu apa-apa lagi kecuali langit-langit kamar rumah sakit yang putih polos dan wajah cemas ibunya saat ia membuka mata. Dia melihat kabel infus, alat bantu pernapasan di hidungnya, dan beberapa alat penunjang kehidupan lainnya untuknya.

Diki menyibak selimutnya ke samping kemudian duduk dengan menekuk kedua kakinya dan menyandarkan pipinya di atas lututnya. Dilihatnya langit hitam ditemani beberapa bintang yang bertebaran, juga ada sinar bulan yang tak begitu terang yang entah di bagian langit mana letaknya. Kaca jendelanya terbuka dan dia biarkan angin malam menyentuh kulitnya yang tidak merasakan dingin sedikitpun. Aroma malam memenuhi kamar Diki dan itu membuat laki-laki dengan mata boneka itu merasa lebih baik.

Dia mengambil ponselnya yang ada di atas nakas dan memainkan layarnya secara acak. Dia baru saja mengakhiri telepon dengan Tesa dan menyahut sekenanya pertanyaan perempuan yang satu jurusan dan satu tingkat di bawahnya tersebut. Ia sedang tidak ingin mengajak siapapun berbicara meskipun dia merindukan perempuan itu.

Dia kembali berselonjor dan menarik selimutnya. Ia mengecek daftar panggilan yang ia hubungi akhir-akhir ini. Ada nama Tesa, sahabat-sahabatnya, panggilan dari ayahnya dan beberapa teman sekelasnya yang sudah nyinyir menanyakan kapan ia masuk sekolah kembali untuk menyelesaikan tugas kelompok mereka yang terbengkalai selama seminggu ia tidak sekolah dan memberikan mereka ceringai ala Diki.

Matanya berhenti pada sebuah nomor yang memiliki sebelas angka. Awalnya, Diki berpikir nomor tersebut palsu karena nomor telepon pada umumnya terdiri dari duabelas angka genap. Namun, melihat bagaimana cara Kevin meyakinkannya bahwa nomor itulah yang menghubunginya waktu itu membuat Diki pasrah dan menganggukkan kepala setuju saja.

"Buat apa lagi lo minta nomor yang udah selama seminggu lebih itu ngga aktif itu," kata Kevin waktu itu. Ia sudah melakukan segala cara untuk membuat sahabatnya yang keras kepala itu percaya bahwa nomor dengan sebelas angka itulah yang menelponnya.

"Ngga apa-apa. Siapa tahu nanti datang keajaiban dan bisa gue hubungin," jawab Diki sambil menatap HPnya dan HP Kevin bergantian menyalin nomor ganjil itu ke HPnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 12.25 a.m. tapi mata Diki belum mengantuk sama sekali. Dia bergerak ke kanan dan ke kiri dengan gelisah. Perasaanya tidak menentu. Entah kenapa akhir-akhir ini dia berubah sensitif dengan berbagai hal yang biasa ia lakukan. Dia tidak lagi nyinyir seperti biasanya lagi di kelas. Laki-laki itu merasa selalu membutuhkan tempat untuk menyendiri dan pergi dari keramaian. Bahkan Tesa juga ia abaikan begitu saja. Diki kembali bertanya-tanya tentang hubungannya dengan perempuan tersebut.

Mereka bertemu saat sekelas di lokal kursus bahasa inggris. Ketika Diki tahu gadis itu punya trauma dalam hidupnya membuat ia iba. Namun yang membuat Diki penasaran, trauma Tesa ada hubungannya dengan Dwira, sepupu yang paling dekat dengannya. Terkadang Diki ingin sekali bertanya pada cowok berambut bergelombang pada ujung-ujungnya itu, bila dia tahu Tesa memiliki trauma dan kadang bisa melukai dirinya sediri karena laki-laki itu. Ia ingin melihat respon Dwira secara langsung seperti apa jika mengetahui ada seseorang yang rela melukai dirinya sendiri karena dia. Namun Diki mengurungkan niatnya untuk menjaga perasaan Tesa yang tidak mau lagi membahas bahkan menyebut nama Dwira lagi.

Kejadian tersebut sudah lebih dari enam bulan yang lalu sampai akhirnya dia memiliki hubungan dengan gadis itu baru-baru ini. Meski terkadang Diki lupa bahwa dia memiliki seorang pacar, namun Tesa tetap memperhatikannya. Bahkan Diki tidak tahu, entah bagaimana perasaanya pada perempuan itu, mungkin hanya sebatas simpatik karena merasa iba-gadis itu selalu pergi sekolah dengan wajah lelah dan kusut-lalu memikirkan untuk menjaganya dengan cara yang salah. Diki masih mempertanyakan tentang hal itu, sampai sekarang.

Diki menatap ragu icon bergambar telepon berwarna hijau di layar ponselnya. Namun tak urung dia menekan icon tersebut dan meletakkan ponselnya di telinga kanannya. Tak ada terdengar apapun, tidak seperti biasanya jika ia menelpon nomor tersebut langsung disambut oleh suara operator yang menyebalkan. Diki menyapu pandangannya ke setiap sudut kamarnya sambil menunggu. Ia ketukkan jemarinya di atas lututnya.

Sunyi. Sama seperti di kamarnya. Ia tidak mendengar apapun. Kemudian Diki menjauhkan ponselnya dari telinga namun cepat-cepat kembali ia menempelkan ponsel tersebut saat ia mendengar sebuah suara serak khas bangun tidur menyahut di seberang sana.

"Hallo?"

♥~♥

Continue Reading

You'll Also Like

9.8M 886K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...
30.9M 1.8M 67
DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 3 SUDAH TAYANG di VIDIO! https://www.vidio.com/watch/7553656-ep-01-namaku-rea *** Rea men...
9.8M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
8.6M 526K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...