Pluviophile [Tersedia Di Fizz...

Oleh DekaLika

23.4K 1.9K 353

[Tersedia di Fizzo dengan versi baru yang lebih panjang dan banyak plot twist-nya] Bagaimana rasanya terjebak... Lebih Banyak

Prolog
Bab1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Diki Wahyudi
Eriska Febri
Epilog

Bab 15

320 37 2
Oleh DekaLika

"Lo harus ikut karna lo bakalan rugi walau cuma buat cuci mata doang," tegas Tesa saat ia tiba di kamar Rani dan langsung menghampiri gadis itu dengan gosip seputar barang fashion terbaru di pajangan toko di Mall.

Rani berdecak malas. "Harus ada traktiran," tegas Rani kemudian berdiri dari ranjang dan berjalan menuju lemari untuk memilih-milih baju untuk dipakai. Mungkin dia harus pergi untuk menghilangkan bosan sendirian hari minggu ini di rumah.

"Kok gue ngerasa jadi Emak lo beliin makan terus kalau gue ajak keluar," kata Tesa pasrah. Dia memilih untuk melihat-lihat buku pelajaran Rani yang tergeletak di atas ranjangnya. "Apa enaknya jadi anak IPA?" tanyanya membolak-balik buku biologi Rani.

"IPA itu belajar tentang alam, dan kita menyatu dengan alam," sahut Rani sambil mencocokan beberapa baju di depan cermin.

"Dengan alam?"

"Kehidupan dapat dilihat dengan ilmu alam. Tentang peredaran matahari, pergantian malam, bagaimana waktu berjalan sesuai dengan perputaran bumi, sampai lo bisa kencan malam minggu," gurau Rani di akhir penjelasannya. Dia sudah di depan meja rias dan sedang menata rambutnya.

Tesa berdecak malas sambil memutar bola matanya. "Terus?"

"Gimana makanan yang lo masak bisa jadi enak karena ada tambahan bumbu-bumbu khusus yang sudah diracik sesuai dengan ilmu kimia. Terus lo makan nasi putih doang kenapa bisa jadi manis saat makan sama pacar. Karena IPA itu punya perasaan manis."

Tesa terbahak kemudian merapikan semua buku-buku Rani dan menaruhnya di rak buku. "Gue jadi makin tertarik belajar IPA," tebaknya asal. "Harusnya gue masuk SMA ya dari dulu," lanjutnya kemudian berjalan mendekati Rani yang sedang memasang lipbalmnya yang berwarna pink pudar.

"Ngapain juga ngukur-ngukur kasur dan bersihin kamar orang," ledek Rani.

"Itu salah satunya kenapa gue ngga ngikutin kakak gue yang pintar membual," sahut Tesa tak mau kalah. Ia menyisir rambutnya.

"Pakai nih, ntar gue malu lo bau ketek," kata Rani berdiri dan menggeser kotak parfumnya ke arah Tesa. Dia mengambil tas tangannya di atas meja belajarnya dan bersiap pergi.

Rasanya Tesa ingin mencincang manusia yang satu ini jika saja bukan kakak sepupunya. Dia menyemprotkan sedikit parfum berbau feminim milik Rani dan menyimpannya kembali di atas meja rias Rani kemudian mengikutinya yang duluan keluar kamar.

Rani dan Tesa mengelilingi Mall dengan ice cream yang sudah 3 bungkus mereka habiskan. Dan ini ice cream yang ke 4. Mereka sudah meneteng masing-masing tas belanjaan di tangan mereka.

"Gue duluan, gue duluan.." teriak Rani histeris saat melihat gardigan biru langit polos berjambul-jambul halus hitam di bagian tepi gardigan tersebut. Mereka berebut masuk ke dalam untuk mendapatkan target berkilau.

Rani dan Tesa hampir memiliki selera yang sama soal fashion, walau lebih terlihat glamour untuk penampilannya dan Rani selalu berpakaian simple dan lebih santai. Mereka dilahirkan dan hidup di rumah yang sama sampai keduanya di kelas 2 SMP saat kedua keluara tersebut memilih berpisah rumah dari nenek mereka. Sejak saat itu mereka berpisah dan jarang bertemu karena Tesa harus pindah ke luar kota. Sampai Tesa kembali dan bersekolah di tanah kelahirannya dan kembali bertemu dengan Rani. Mereka berbeda satu tahun, namun mereka sudah akrab memanggil nama saja satu sama lain, Rani pun tidak masalah dengan itu. Dia merasa lebih dekat meski kesan adik-kakak sangat jauh dari mereka.

"Lo curang!" kesal Tesa melihat Rani sudah membawa gardigan tersebut ke meja kasir dan membayarnya. Rani menjulurkan lidahnya meledek.

"Gue yang dulu lihat gardigan itu," bela Tesa tetap kekeuh jika ia yang awal menemukan pemandangan menarik itu dari balik etalase toko.

"Gue yang pertama kaget dan bereaksi," sahut Rani menjinjing tas belanjaannya keluar toko dengan senyum lebar seperti memenangkan lotre.

"Gue lebih cepat persekian detik dari lo."

"Siapa cepat dia dapat," kata Rani acuh sambil terus berjalan dan melihat-melihat apa lagi yang menarik dari jajaran toko di Mall ini. Tesa mengikutinya dengan wajah gemas jika sedang marah. "Tapi gue.."

Kata-kata Tesa terpotong saat Rani menyodorkan tas berisikan barang yang mereka perebutkan tadi. Tesa membulatkan matanya dengan perlakuan gadis yang seharusnya ia panggil kakak ini. "Buat lo," kata Rani mengangkat dagunya.

Tesa menelan ludah. Pertama kalinya Rani mau berbagi hal yang selalu sengit mereka ingin miliki dan Rani mana pernah ingin menyerahkan apa yang sudah ia cap sebagai miliknya. Berkali-kali mata Tesa mengedip tak percaya. Tangannya bergerak akan menerima pegangan tas tersebut, tiba-tiba Rani menariknya kembali. "Dua kali lipat," tantang Rani memasang tampang polosnya.

Mata Tesa yang tadi menatap lemas tangannya yang bodoh seperti meminta-minta pada gadis yang lebih tinggi 5 cm darinya ini beralih menyipit ke wajah Rani. "Nilai lo selalu nol, sial," decak Tesa menggeram memberikan tatapan perang kepada Rani.

Rani tertawa terbahak-bahak sambil memeluk tas belajaan yang berisi barang-barang berharganya. Matanya sampai berair menahan tawanya agar tidak meledak terlalu berlebihan di antara banyak orang ketika ia melihat wajah Tesa yang memerah menahan emosi padanya. Selalu saja Rani tidak pernah jauh dari kata menjahili adiknya yang polos itu. Walau terkadang ia iba, namun mengerjai seolah lebih menarik untuk menciptakan keakraban diantara mereka.

"Gue balas lo nanti," geram Tesa mengepalkan tinjunya. Ia menghirup napas dalam dan menghembuskannya kasar berkali-kali. Tawa Rani masih saja terkikik di balik telapak tangannya yang menutupi mulutnya. "Pulang aja lo sendiri!" teriaknya marah kemudian berbalik dan pergi dari sana.

"Eh, eh, Sa. Jangan tinggalin gue. Tesa love you so much, aku cinta, jangan tinggalin gue, woi tungguin," seru Rani tak jelas mengejar Tesa yang berjalan sangat cepat. Ketika ia berbelok ke kanan sebuah toko kakinya berhenti mendadak saat didapatinya Tesa berdiri kaku di depannya.

Rani berdecak dan mengatur napasnya yang tak karuan karena terkejut. Hampir saja ia menabrak Tesa yang tiba-tiba berhenti."Gila, ngapain berdiri di sini sih lo, hampir aja kita guling-guling kayak sosis.."

"Rani?" panggilan seseorang membuat Rani mengangkat kepalanya dan dahinya megernyit melihat siapa yang ada di sana. Sedetik kemudian ia sadar dan menoleh pada wajah Tesa yang memucat.

"Lo di sini juga?" kata orang itu lagi. "Oh? Habis belanja ya," tebaknya santai saat dilihatnya di tangan mereka dipenuhi oleh tas belanjaan.

"Ngapain lo di sini?" tanya Rani sinis kemudian menatap gadis di sampingnya. Dwira di depannya bersama Riska yang hanya menunduk. Riska tak berniat mengangkat kepalanya untuk melihat Rani sekalipun.

"Gue?" Dwira memiringkan kepalanya. "Harus bilang sama lo dulu ya kalau mau ke sini itu apa aja yang mau gue lakuin?" tanyanya menatap Rani dingin.

"Jadi dia sepupu lo, Sa?" tanyanya lagi beralih menatap Tesa yang sedari tadi diam sejak awal berpapasan dengannya. "Apa urusan lo?" tukas Rani cepat kemudian menarik Tesa ke belakangnya agar Dwira tidak menyentuhnya.

Dwira tertawa mengejek. Ia menghela napas dan membuangnya kasar. "Kasihan aja sih, liat gue kok kaya ketemu hantu di siang bolong gini."

"Lo!" geram Rani menggertakkan giginya. Demi apapun, ia tak pernah suka dengan makhluk bernama di depannya ini. Sementara Tesa hanya diam di belakangnya.

"Sorry Rani, kayaknya lo perlu koreksi kata-kata lo tentang urusan tadi. Karna gue mulai sensi akhir-akhir ini tentang mengurus urusan orang." Dwira menyipit menantang mata Rani.

Emosi Rani semakin memuncak mendapat isyarat peperangan yang dilontarkan Dwira padanya. Dia menggigit bibir bawahnya keras hingga bisa melukainya. Ia menatap Riska yang masih tak bicara sama sekali untuk membelanya.

"Lo!" desis Rani pada Riska. Ia mengeratkan genggaman tangannya pada Tesa agar gadis itu sedikit lebih tenang.

Tesa mempunyai trauma jika bertemu dengan Dwira. Ia masih terlalu syok dengan apa yang pernah ia lakukan dulu. Tesa masih belum benar-benar pulih dengan traumanya ketika ia pernah melukai diri hanya karena memikirkan bajingan seperti Dwira.

Dwira tersenyum licik. Ia menarik tangan Riska untuk pergi dari sana. Dia merasa moodnya hilang untuk mengajak Riska jalan-jalan di sini karena bertemu Rani. Ia tidak akan membiarkan Rani memanfaatkan Riska hanya karena dendam demi sepupunya.

Tiba-tiba Riska menarik tangannya dan berhenti saat mereka sudah melewati dua gadis yang belum bergerak dari posisi mereka. "Kenapa?" tanya Dwira mengernyitkan dahi.

"Bentar," kata Riska melepaskan tangannya dan berbalik mendekati mereka. Dwira menatapnya bingung.

"Tesa," panggil Riska. Gadis itu berbalik dan mendapati Riska dengan keadaan yang tidak cukup baik. Wajah yang pernah ia lihat sebelumnya. "Kalau lo ngga sibuk, sebaiknya lo ke rumah sakit sekarang," kata Riska. Ia agak kelu memulai pembicaraan dari mana untuk menyampaikan kepada gadis itu.

"Kenapa?" Tesa menatap Riska sayu.

"Lo pacarnya Diki, bukan?" tanya Riska sekedar memastikan. Gadis itu mengangguk pelan.

"Hm.. Diki kemaren tabrakan saat pulang sekolah. Lo bisa lihat dia di rumah sakit. Seharusnya dia udah siuman sekarang, jadi lo bisa ketemu dia," jelas Riska.

Mata Tesa membulat sempurna mendengar kabar yang disebutkan Riska. Dia kalap, pikirannya kacau. Detak jantungnya yang tadi sudah mulai stabil kini kembali memacu seiring sesak di dadanya. Dia menggigit jemarinya yang gemetar sambil terus menyebutkan nama Diki.

Rani panik. "Sa, lo ngga apa-apa?" Dipegangnya bahu Tesa yang kini terisak. Ia menoleh pada Riska, bijirnya bergerak akan bicara. Namun ia kembali menutup mulutnya. Ini bukan saatnya untuk membicarakan hal pribadi dengan keadaan Tesa begini. "Kita perlu bicara, Riska." Kemudian Rani segera membawa Tesa keluar dari sana.

Riska hanya menghela napas dalam. Apa yang akan terjadi setelah ini padanya. Riska bahkan tak mau membayangkan itu sedikitpun.

"Kita pergi ke tempat lain aja, yuk," bisik Dwira di sampingnya yang langsung menggenggam tangan Riska. Ia mengaitkan jari-jarinya dengan jari tangan Riska. Gadis yang memasang wajah kusut sedari tadi ini menghembuskan napas pasrah. Ia hanya menurut saja kemana Dwira akan membawanya pergi asalkan itu tidak bertemu dengan siapapun yang ia kenal. Riska selalu berharap jika ia berdua dengan Dwira semua orang menghilang agar tidak melihat mereka berdua.

♥~♥

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

601K 23.6K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
6.9M 293K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
9.8M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...