Pluviophile [Tersedia Di Fizz...

Od DekaLika

23.4K 1.9K 353

[Tersedia di Fizzo dengan versi baru yang lebih panjang dan banyak plot twist-nya] Bagaimana rasanya terjebak... Více

Prolog
Bab1
Bab 2
Bab 3
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Diki Wahyudi
Eriska Febri
Epilog

Bab 4

871 89 15
Od DekaLika

Jika waktu tidak lagi memihak pada kedua rasa yang sudah terbelah. Lalu kenapa kita masih saja mempertahankan lagi rasa sakit yang sama?

*

Ada masanya, dimana kita berada di tempat untuk hal berguna. Ada pula masa kita pergi dengan alasan yang sama juga.

Entah itu berita buruk atau dia harus senang dengan cerita Viska saat mereka bertemu di depan perpustakaan.

"Dia masih nyimpan hadiah dari lo waktu itu. Dia bilang ini kenang-kenangan terindah yang dia punya," begitu tutur Viska. Riska hanya tersenyum tipis mendengar itu. Dia tidak tahu harus senang , bahagia, atau tertawa sakit saat itu.

"Ya, biar gue punya cewek lain yang penting gue masih nyimpan perasaan gue buat Riska rapi-rapi di sini. Di hati gue," tambah Viska lagi mengulang kata-kata Waldy yang disebut padanya.

Riska berjalan malas sambil menendang-nendang batu-batu kecil di jalan. Ada rasa yang lain di hatinya. Haruskah ia kembali pada rasa itu? Mungkin jika ia berlari meraihnya, perjuangannya akan diterima kembali?  Sudahlah. Keterlambatan tetap harus diskors karena kelalaian. Begitupun perasaan. Ia harus rela mengorbankan yang sudah terlepas dari genggaman.

Sebuah motor matic berwarna merah melaju pelan dari arah berlawanan. Riska mengangkat kepala dan melihatnya dengan tatapan datar. Matanya menyipit. Tidak. Memang sipit, tapi sedikit. Ada sarat tersembunyi di matanya, menatap Riska, antara iba, penasaran, atau biasa saja. Tapi bagi Riska, itu hanya tatapan datar yang tak memiliki pengaruh apa-apa padanya.

Hanya lima belas detik aksi tatap-tatapan pertemuan mata mereka di jalan pulang membuat keduanya sama-sama membuang muka dan saling melewati. Motor itu sudah berlalu di belakangnya. Sedetik kemudian langkahnya berhenti, ia baru saja mengingat kejadian yang hampir melenyapkan nyawanya beberapa hari lalu.

Riska berbalik dan tangannya mengepal. "Ck, dia orangnya. Sialan, kok gue lengah, sih!" kesalnya setelah ingat betul wajah malaikat kematiannya hari itu. Dia menghembuskan napas berat. Pikirannya kini terfokus pada batu yang ia tendang tadi.

Kerikil-kerikil kecil berterbangan rendah di atas aspal, berpindah tempat karena terbawa angin yang juga ikut menerbangkan rambut hitam kecoklatan Riska. Dibiarkannya angin menyentuh wajahnya dengan lembut siang ini. Dia tersenyum kecut, menyipitkan mata menantang matahari yang sudah merentang ke barat, searah dengan langkah kakinya.

*
Riska membaringkan tubuhnya yang lelah di kasur. Ia sudah selesai mandi dan membereskan kamarnya yang penuh dengan kertas coretan tangan. Tadinya dia menghabiskan puluhan lembar kertas putih kosong hanya untuk ia coret dengan berbagai garis-garis samar yang tak jelas maksudnya.

Drkk.. Drrk..
Ponselnya bergetar.

Waldy? Dahinya berkerut. Seketika jantungnya berdetak lebih cepat. Ada apa cowok itu meneleponnya, itu membuat otak Riska bekerja beruntun mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan di dalam kepalanya.

"Hallo," sapa suara di seberang sana.

"Ya," sahut Riska enggan.

"Lagi apa, Ka?"

"Tiduran. Kenapa?"

"Nanya aja, sih. Udah makan?"

"Lo ngga salah pencet nomor, kan? Ada apa lo nanya-nanya gue?" Riska mulai curiga. Kenapa cowok ini menanyakan hal yang sudah tidak enak didengar lagi saat keduanya punya perasaan canggung untuk memulai bicara.

Suara itu terkekeh. "Kenapa emang? Ngga boleh gitu?" Ia terdengar biasa saja. Nada suaranya juga datar, tak ada keraguan ataupun kecanggungan.

"Gue ngga butuh perhatian dari lo gini," kata Riska berusaha tak peduli, membuat suaranya terdengar ketus, Waldy tergelak."Oh. Oke, deh. Kalau lo ngga mau terima telpon gue lagi ngga masalah, kok," sahut Waldy santai. "Gue tutup, ya. Bye. Jangan lupa makan."

Sambungan terputus.

Riska menggigit bibir bawahnya, ia gugup. Padahal telepon sudah mati, tapi hatinya masih mendebarkan kecemasan. Dia senang Waldy menelponnya, dia senang bisa mendengar suara cowok itu, sejujurnya dia masih ingin mendengar semua cerita-cerita Viska tentang cowok itu,tapi pikirannya berontak, gengsinya tak mau menuruti hatinya.

Handphonenya masih setia ia taruh di tangannya, ia ingin menelpon cowok itu kembali. Ia mau berbicara dengannya lagi, seperti dulu, menceritakan hal apapun, hal konyol sekalipun.

Riska melempar ponsel tersebut di sampingnya. Dia telentang menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih polos. Kemudian merentangkan tangan dan kakinya membentuk bintang besar selama 30 detik lalu meringkuk ke samping. Perasaannya sedang gusar, ia bertanya-tanya sedang apa Waldy sekarang. Dulu cowok itu selalu mengiriminya pesan setiap sore atau menelpon. Ia akan tahu cowok itu sedang tiduran, menonton, atau melakukan hal apapun, Riska ingin tahu, seperti dulu.

Mungkin sekarang dia lagi nelpon pacar barunya, pikir Riska. Ia jadi iri pada gadis yang sekarang menjadi perhatian Waldy, pastilah ia sebahagia Riska dulu, saat Waldy juga memperhatikannya. Itu membuat Riska berlayar kembali ke dalam masa lalunya bersama cowok bermata hazel yang selalu melelehkan hatinya.

Ia menarik napas dalam hingga memenuhi paru-parunya, lalu menghembuskannya berat. Ia menggelengkan kepalanya berkali-kali. Engga, gue ngga boleh mikirin dia terus. Harus bisa lupa. Tekatnya dalam hati. Walau ia tak sepenuhnya yakin dapat melakukan itu, tapi Riska akan berusaha semampunya.

"Kak, teman kakak nungguin di depan," panggil Zia, adik Riska yang berumur dua tahun di bawahnya. "Iya, bentar,"balas Riska setengah berteriak. Ia bangkit dan segera berlari menuju pintu keluar.

Di depan rumahnya Dwira sedang menunggu dengan kemeja rapi duduk di atas motornya. Mendengar bunyi pintu terbuka, Dwira langsung menoleh dan melempar senyum termanisnya, apa lagi cowok itu punya tahi lalat di dekat hidungnya, itu menambah kesan manis di wajahnya.

"Ngapain?" tanya Riska kikuk. Cowok berkulit sawo matang itu lagi-lagi tersenyum, membuat Riska semakin risih. "Jalan, yuk. Langitnya bagus lagi," ajaknya sembari menatap langit sore hari ini.

Riska mengikuti pandangan mata Dwira. Benar, matahari bersinar oranye di belahan barat bumi. "Kemana?" tanya Riska ragu. Ia tak yakin sedang mood keluar rumah sore ini.

"Ada deh, ikut aja. Pamit dulu sana sama Mama. Aku tunggu di sini," putusnya langsung menatap Riska.

Langkahnya berat, Riska menimbang-nimbang sebentar. Detik berikutnya ia mengangguk, ia butuh sedikit cari angin untuk menghilangkan beban pikirannya. "Bentar, ya." Ia berjalan masuk ke rumah.

Langkah Riska terhenti saat Dwira memanggilnya dan mengatakan sesuatu, "Ngga usah dandan, kamu udah cantik kok." Riska tersenyum simpul kemudian berlari kecil dan masuk ke dalam rumah.

*

"Aku ngga nyangka bakal salah banyak ulangan Matematika kemaren. Tapi makasi ya udah ngajarin aku tugas remedialnya," kata Dwira kemudian menyesap minumannya.

"Iya, sama-sama. Ngga masalah kok," jawab Riska tulus. Sebenarnya dia ngga keberatan meminjamkan remedialnya pada Dwira, karna itu juga bukan dia bikin sendiri semuanya.

Bu Wita, rasanya dia adalah guru ter-killer di sekolah. Ketegangan saat belajar, mereka pasti akan pura-pura mencari jawaban sendiri, takut ditunjuk maju ke depan mengerjakan contoh soal yang sesang dibahas. Ulangan selalu remedial, ngga pernah tuntas satupun tiap semester. Jika sudah begitu, aksi nyontek besar-besaran selalu menjadi tradisi murid Bu Wita jika ada remedial. Oper jawaban dari teman ke teman, dari kelas ke kelas lain. Sangat kompak.

Merasa Riska tak menunjukkan tanda-tanda akan menyahut lebih Dwira sedikit bosan. "Bentar ya, aku mau ke toilet dulu. Sekalian cari makanan. Kamu tunggu aja di sini dulu," katanya sembari bangkit. Riska mengangguk dan membiarkan Dwira pergi, ia sedikit canggung tak bicara banyak dengan cowok itu. Padahal Dwira datang di saat yang tepat untuk menghiburnya, tapi sama sekali itu tak memberi pengaruh banyak bagi Riska.

Riska bangkit dari duduknya, berjalan-jalan sebentar. Ia tak ingin terlalu jauh dari tempatnya tadi, takut Dwira mencarinya. Dilihatnya bunga-bunga yang tumbuh di sekitar taman. Sama saja, perasaannya belum membaik. Pikirannya kembali mengilas balik kata-kata Waldy di wall cowok itu. Apa maksudnya menulis status itu, Riska merasa Waldy membicarakan tentang hubungan mereka yang sudah berkahir, ditambah lagi cara dia membicarakan Dwira pada Riska, membuatnya bingung.

Riska menghembuskan napas panjang, ditatapnya langit cerah sore ini. Sebaiknya ia kembali sekarang, sebelum Dwira benar-benar kebingungan mencarinya. Tampak Dwira sedang berbicara dengan seseorang. Riska tak dapat melihatnya karena terhalang punggung Dwira. Hanya sebentar, mereka menyudahi bicara dengan adu tos ala cowok. Dwira bergerak sedikit saat temannya sudah menyalakan mesin motornya. Alis Riska bertaut samar, matanya menyipit menatap kepergian cowok itu dengan banyak pertanyaan bersarang di otaknya.

"Liatin apa?"

Riska tersentak. Cepat-cepat dipalingkannya wajahnya, Dwira sudah kembali dengan kantong plastik di tangannya. "Engga ada," jawabnya cepat. "Kok kamu lama?" tanyanya mengalihkan pembicaraan, karena Dwira juga mencari apa yang dilihatnya barusan.

Dwira menoleh dan duduk di samping Riska. "Tadi aku ketemu sama teman bentar. Maaf, lama banget, ya?"

Riska menggeleng cepat. "Engga kok." Meski di wajahnya tergambar jelas kegugupan ia tetap memaksakan seulas senyum agar cowok itu tidak terlalu curiga jika ia telah diintip tadi.

Dwira mengganggukkan kepala. "Nih," ia menyodorkan minuman dingin, Riska menerimanya lalu membuka tutup botol tersebut kemudian meminumnya sedikit. Rasa segar mengaliri tenggorokkannya, menghilangkan debar-debar di hatinya karena ketahuan mengintip tadi.

"Pulang, yuk," ajak Dwira saat ia melirik jam tangannya sudah menunjukkan jam 17.45 sore. Sebaiknya ia mengantar Riska sekarang, agar gadis itu tidak kedinginan karena ia memakai baju berlengan pendek.

"Iya." Riska bangkit mengikuti Dwira berjalan ke parkiran tanpa banyak bicara.

"Kira-kira cowok tadi siapa, ya?" Riska mengetuk-ngetuk kepalanya berpikir sejenak. Ia sedang berada di kamarnya sekarang.

"Rasanya gue pernah ketemu dia sebelumnya, deh. Tatapannya sama kayak tadi," pikirnya,sebelumnya ia pernah bertemu dengan orang yang hampir menjadi malaikat kematiannya itu.

"Tepat sekali," katanya kemudian menjentikkan jari. Dia adalah cowok yang pernah Riska lihat sewaktu hari jumat ketika ia pulang sekolah. Saat dia baru saja mendengar berita kalau Waldy jalan sama cewek lain. Benar. Dan di pagi senin akan Ujian Tengah Semester kemaren.

"Bukannya itu dua minggu yang lalu," dahinya mengerut memikirkan itu.

Arrg!! Ngapain gue mikirin itu. Riska membatin kesal. Dia menarik selimutnya dan memilih tidur sore ini.

♥~♥

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

1.7M 121K 48
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
31.1M 2M 103
1# Mavros Series | COMPLETED! MASIH LENGKAP DI WATTPAD. DON'T COPY MY STORY! NO PLAGIAT!! (Beberapa bagian yang 18+ dipisah dari cerita, ada di cerit...
7.4M 227K 46
Beberapa kali #1 in horror #1 in thriller #1 in mystery Novelnya sudah terbit dan sudah difilmkan. Sebagian cerita sudah dihapus. Sinopsis : Siena...