Hanami | TELAH TERBIT

By Afnansyhrn

35.2K 6.1K 3.6K

Rantaian kisah berbagai rasa antara dua orang manusia yang dipertemukan karena 'Insiden Buah Talas'. Nada, se... More

Bogor Kota Hujan
Tuan Talas (1)
Tuan Talas (2)
Bantu Aku!
Gugup
Kau Kenapa?
Doclang
Nada, Kau Kenapa?!
Duniamu
Cemas
Keluarga
Tetap Semangat!
Cerita dan Rahasia
Obasan! (Nenek)
Rumah
Halo Cinta!
Kamu
Jelas
Cepatlah!
Tidak Mungkin
Jatuh
Sudahlah
Kebahagiaan
Nenek (2)
Kehabisan Akal
He Said
Doshite? (1)
Lucu
Doshite? (2)
Shut Up!
Stay Here
This is Love, Isn't it?
The Truth
Isshoni
Osaka Jo dan Nenek
Pengumuman!

Nenek (1)

536 115 14
By Afnansyhrn

    “Kamu juga penasaran dengan ruangan itu?” tanya Taka dengan kedua mata yang tak lepas melihat dua ruangan yang cukup besar di seberang.

    Nada mengangguk mantap dengan kedua matanya yang terus menatap dua ruangan cukup besar di seberang rumah Obasan.

      Ya, dua ruangan di sana itu selalu saja membuat Nada penasaran. Karena ini rumah tradisional Jepang, tentu saja ada banyak ruangan yang saling terpisah satu sama lain. Contohnya dua ruangan itu, bisa dibilang sih rumah kecil.

    “Jangankan kamu, saya saja tidak pernah diizinkan untuk ke sana sejak saya kecil.”

    “Sungguh? Lalu bagaimana dengan kedua orangtuamu?”

     “Mereka juga tidak diizinkan masuk ke sana, bahkan Ibu saya yang memang anak kandung Nenek saja tak ia izinkan. Aneh.”

      “Bagaimana dengan … Kakekmu?”

       “Nah, kalau soal itu saya tidak tahu. Saya bahkan tidak tahu Kakek itu seperti apa, karena begitu saya lahir. Kakek sudah meninggal lebih dulu. Tidak ada cerita menarik yang pernah Nenek ceritakan pada saya. Hanya ada satu yang saya ingat, Kakek saya itu dulu adalah salah seorang pejuang tanah air. Begitu saja, sih.”

    Nada mengangguk tanda mengerti.

      “Bagaimana kalau kita berdua lihat ke sana?”

   Nada langsung menoleh cepat ke arah Taka,

       “Apa?!”

    “Tidak perlu takut. Lagipula Nenek sedang ada di kuil sekarang. Doshite?”

     Nada menggigit bawah bibirnya, terlihat pancaran kecemasan dari wajahnya.

     “Yasudah kalau kamu tidak ingin ikut, saya ke sana saja sendiri.”

  Taka berjalan sendiri ke seberang rumah kecil di sana, ia tinggalkan Nada yang masih terduduk bingung.

    “Taka, jangan! Aduh!”

      Nada berteriak dari seberang begitu melihat Taka mulai masuk. Nada semakin panik.  Akhirnya ia pun berlari menyusul Taka, tanpa keraguan lagi Nada langsung masuk ke rumah kecil itu. Sesampainya di salah satu ruangan yang Taka masuki, Nada benar-benar terkejut bukan main.

      Bahkan Taka yang sudah berada di dalam pun terlihat sangat terkejut, Taka hanya bisa berdiri di tengah-tengah ruangan itu dengan kedua matanya yang tak berhenti memandangi seluruh sudut ruangan.

         “Ini....," Taka tak bisa berkata-kata.

         “Taka, ini.…," begitu pun Nada.

     Mereka berdua takjub, bagaimana tidak? Ruangan ini dipenuhi dengan perabotan, ukiran dan properti asli Indonesia.

     Yang paling membuat Nada dan Taka merinding adalah bendera Indonesia berukuran besar yang menempel di dinding. Bagian dinding kanan, kiri, semua dinding yang berhadapan di ruangan ini dipenuhi dengan bendera Indonesia, ya merah putih.

       Di bagian setiap ujung ruangan ini terdapat bambu runcing. Bahkan ada teko tanah liat khas Indonesia di sini. Meja yang terbuat dari kayu jati Indonesia. Ada lukisan bergambarkan keindahan alam Indonesia.

       Taka berjalan mendekat ke salah satu sudut ruangan yang di depannya terdapat meja kayu jati berukuran sedang.

      Di atas meja itu ada sebuah pas photo yang memuat gambar seorang wanita dan pria. Mereka berdua tersenyum, terlihat sangat bahagia. Si Pria berdiri di sebelah kanan wanita yang duduk di kursi.

     Taka meraih pas photo itu dan melihatnya secara seksama, kedua tangan Taka langsung bergetar kuat. Bahkan hingga pas photo itu ikut bergetar. Keringat dingin mulai berjatuhan dari rambut hitamnya.

      “Kakek....,”

     Nada berhenti memandangi tiap lukisan yang menempel di dinding, ia segera menghampiri Taka.

    “Kakek? Kakek kamu?” tanya Nada tak percaya sambil melihat ke arah pas photo yang Taka genggam.    

       “Jadi ini Kakek, Kakek seorang pejuang dari Indonesia,” ujar Taka mulai mengerti.

      Nada menatap Taka yang kelihatan sangat shock.

   “Bagaimana bisa? Inikah alasan Nenek dulu begitu sulit merestui hubungan Ayah dan Ibu? Dan inikah alasan Nenek melakukan semua itu pada saya? Hanya ini? Tidak ... tidak mungkin!”

      Taka berbicara pada dirinya sendiri. Wajahnya semakin pucat.

    Nada mulai cemas, “Ta—,“

      Taka langsung memberikan pas photo itu pada Nada, ia lalu membuka tiap laci yang ada di sekitar ruangan. Semua ia buka, Taka terlihat seperti pencuri. Tangannya tak berhenti membuka setiap laci sambil mengeluarkan semua benda yang ada di dalamnya.   

      Ia langsung berhenti begitu melihat sebuah buku berwarna merah berukuran sedang di salah satu laci paling bawah. Ia mengambilnya, lalu segera membukanya. Membaca acak setiap halamannya, berharap menemukan suatu petunjuk dari buku berwarna merah ini.

      Namun kini Taka terlihat mulai tenang, ia tidak mengacak-acak halaman buku itu. Tatapan matanya serius. Sepertinya ia sedang membaca, tapi perlahan kedua matanya berkaca-kaca. Dan jatuhlah air matanya.

     “Nenek....,” setelah itu Taka menangis. Ia memeluk buku itu erat.

      “Taka,” ucap Nada khawatir.

      Taka masih saja menangis, ia pun menyerahkan buku itu pada Nada. Nada membacanya, semuanya tertulis dengan bahasa Jepang. Untung saja Nada mengerti.

       Tidak apa, aku mengerti. Aku akan selalu menunggumu.

    Halaman selanjutnya Nada buka lagi,

        Akhirnya, kita bisa bersama lagi. Terima kasih, kalau boleh jujur aku ingin terus berada di sampingmu.

     Nada membuka halaman berikutnya,

      Lagi, aku harus menunggu. Aku tahu ini yang terbaik untuk kau dan aku. Jadi tetaplah semangat di sana!

     Nada nampaknya mulai mengerti,

       Cepatlah pulang! Aku sangat merindukanmu!

     Nada membuka halaman berikutnya lagi,

      Tidakkah kau dengar? Aku sangat merindukanmu, kapan kau pulang?

    Kedua mata Nada mulai berkaca-kaca,

      Benar, sekarang kau sudah pulang. Sungguh pulang, dan tak akan kembali lagi. Kenapa tidak kau ajak aku bersamamu?

    Air mata Nada mulai berjatuhan,

      Aku masih saja memikirkanmu hingga kini, kenapa begitu sulit? Seharusnya aku hidup dengan tenang dan mendoakanmu di sana.

     Itu kan harapanmu untukku? Tapi aku tetap saja tidak bisa. Aku bodoh, tapi kau.

Lebih bodoh dariku.

     Nada melihat Taka yang masih menangis, ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Nada pun menghampirinya.

     “Taka, sudah jangan menangis lagi,” hibur Nada.

       “Nenek jahat,” ujar Taka disela tangisnya.

    Taka tak terlihat seperti pria dewasa sekarang ini. Taka lebih terlihat seperti anak kecil berumur empat tahun yang menangis karena tersesat.

   “Sudah, tenangkan dirimu dulu. Ayo kita keluar dari sini, kalau sampai Obasan tahu bahaya nanti.”

🇮🇩🌺🇯🇵

      Taka menghela napas panjang.  Setelah menenangkan diri Taka dan Nada duduk di tempat mereka biasa mengobrol di taman belakang.

     Taka memeluk kedua kakinya erat. Begitu pun Nada, memeluk kedua kakinya erat. Untuk beberapa saat tidak ada satu pun yang berbicara, yang terdengar hanyalah helaan napas.

       “Kamu sudah siap mendengarnya?” tanya Taka.

       “Iya,” jawab Nada tak sabar.

       “Jadi, seperti ini ceritanya. Semua berawal ketika kecelakaan lalu lintas yang menimpa Ayah dan Ibu. Hingga akhirnya kecelakaan itu menewaskan mereka berdua. Saya ingat ketika itu Nenek yang menyuruh saya untuk menguburkan Ayah dan Ibu di Indonesia.
        Saya bersyukur, karena saya pikir Nenek menyuruh saya seperti itu agar saya dan Nenek bisa terus berkunjung ke Indonesia. Yah, walau pun tidak sering. Setidaknya kami datang menengok ke negeri tempat Ayah saya berasal.”

        Nada mengangguk.

      “Tapi, ternyata dugaan saya salah soal itu. Tepat setelah pemakaman Ayah dan Ibu, Nenek mengatakan kepada saya. Saya tidak boleh berkunjung ke sana lagi. Saya yang pada saat itu tidak tahu hanya bisa marah dan bingung. Apa alasan Nenek berkata seperti itu, tapi kini akhirnya saya tahu alasannya apa.”

     “Lalu?”

      “Tidak hanya berkata sekejam itu, Nenek benar-benar seperti memenjara saya. Saya tidak boleh tinggal di rumah saya. Nenek menyuruh saya untuk tinggal bersamanya, saya mengerti. Karena mungkin Nenek khawatir tentang saya. Akhirnya saya tinggal bersamanya. Dan selama saya tinggal bersamanya, Nenek sama sekali tak ingin mendengar apapun itu tentang Ayah dan Ibu.”

      Nada mengangguk kembali tanda mengerti.

      “Coba saja kamu bayangkan keadaan saya saat itu, saya sedang berduka dan sangat sedih karena kehilangan dua orang yang sangat saya cintai. Tapi Nenek malah keras kepala. Bahkan mungkin semakin menjadi-jadi.”

     “Maksud kamu?”

     “Bisa dibilang puncak permasalahannya ketika saya ingin ke Indonesia, saya ingin berziarah ke makam kedua orangtua saya. Saya sangat merindukan mereka. Tapi apa? Nenek dengan mudahnya mengatakan ‘Jika kamu merindukan mereka, tidak perlu kamu ke sana. Cukup doakan mereka di sini dan hiduplah dengan tenang’ begitu.
       Pada saat itu emosi saya sangat buruk, saya melawan perintahnya. Saya sudah lelah dengan semua perintahnya yang membuat saya malah semakin kesepian dan sakit.”

     “Setelah itu apa yang terjadi?” tanya Nada semakin penasaran dan tak sabar.

   “Saya tetap pergi ke Indonesia, saya tidak peduli dengan ancamannya bahwa Nenek akan menjual rumah peninggalan Ayah dan Ibu. Ya, rumah dimana saya dan kedua orangtua saya tinggal.
      Setelah empat hari di Indonesia, saya kembali ke Osaka. Ternyata Nenek serius dengan ancamannya, Nenek benar-benar menjual rumah Ayah dan Ibu saya. Setelah kejadian itu saya pergi ke Busan, dan bertekad tidak ingin kembali ke Osaka lagi. Hingga akhirnya saya sampai di Bogor, karena saya sudah memutuskan saya akan tinggal di sana.”

      Nada menatap Taka dalam-dalam.

      “Ada apa?” tanya Taka karena heran dengan tatapan Nada. Nada menggelengkan kepalanya. Ia membuang mukanya, tanpa sadar air matanya jatuh lagi.

     “Nada, apakah menurutmu ini semua cukup? Apakah hanya dengan semua alasan ini Nenek melakukan semua itu pada saya? Bahkan hingga sejauh ini. Bukankah kematian pasti akan datang menjemput setiap makhluk yang bernyawa? Lalu sebenarnya ada apa? Antara Kakek dan Nenek? “

     “Entahlah, saya juga tidak mengerti. Akan lebih baik kamu bicarakan hal ini dengan Nenek kamu. Hanya kamu dan Obasan, saya bantu lewat doa. Bagaimana?”

    “Saya takut, jika saya membicarakan hal ini. Itu berarti saya semakin membuka luka di masa lalunya.”

     “Itu tidak masalah, selagi kemungkinan kesembuhan lebih besar. Kamu tahu tidak? Kehadiran kamu di sini sebenarnya sudah menjadi penyembuh paling baik untuk Obasan.”

      Taka mengangguk mengerti,

  “Baiklah, saya akan coba nanti. Terima kasih.”

   Nada tersenyum lebar, “Sama-sama.”

        Nada melihat ke atas langit, ke arah awan, agak sedikit mendung. Obasan belum juga pulang. Nada tak habis pikir,  Obasan yang mandiri dan kuat seperti itu ternyata sangat perasa. Walau ia sungguh keras kepala, tapi hatinya itu sangat lembut. Obasan, sebenarnya ada apa denganmu?

                      

Bersambung.

  

Continue Reading

You'll Also Like

3.2M 175K 38
Siapa yang tak mengenal Gideon Leviero. Pengusaha sukses dengan beribu pencapaiannya. Jangan ditanyakan berapa jumlah kekayaannya. Nyatanya banyak pe...
1.1M 55.6K 48
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
2K 868 24
SELAMAT DATANG DI STORY KE DUA AKU GUYSSS JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM MEMBACA. TINGGALKAN JEJAK DI POJOK KIRI BAWAH DAN TINGGALKAN KOMENTAR DI KOLOM K...
2.4M 266K 47
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...