Hanami | TELAH TERBIT

By Afnansyhrn

35.2K 6.1K 3.6K

Rantaian kisah berbagai rasa antara dua orang manusia yang dipertemukan karena 'Insiden Buah Talas'. Nada, se... More

Bogor Kota Hujan
Tuan Talas (1)
Tuan Talas (2)
Bantu Aku!
Gugup
Kau Kenapa?
Doclang
Nada, Kau Kenapa?!
Duniamu
Cemas
Keluarga
Tetap Semangat!
Cerita dan Rahasia
Obasan! (Nenek)
Rumah
Halo Cinta!
Kamu
Jelas
Tidak Mungkin
Jatuh
Sudahlah
Kebahagiaan
Nenek (1)
Nenek (2)
Kehabisan Akal
He Said
Doshite? (1)
Lucu
Doshite? (2)
Shut Up!
Stay Here
This is Love, Isn't it?
The Truth
Isshoni
Osaka Jo dan Nenek
Pengumuman!

Cepatlah!

542 116 16
By Afnansyhrn

   "Obasan."

    Nenek berhenti sejenak dari kegiatannya menjahit.

    "Ada apa?"

   "Boleh saya masuk?"

   "Tentu saja!"

     Nada menggeser pintu pelan, lalu masuk ke dalam kamar Obasan.

    "Benar saya boleh masuk?"

     Nada meyakinkan. Karena rasanya Nada sendiri tidak yakin, apakah ia lancang?

    "Tentu saja. Tidak perlu canggung lagi, saya sudah menganggap kamu seperti cucu saya sendiri."

    "Terima kasih."

     Nada duduk di samping Obasan. Kedua matanya melihat ke arah sebuah sweater berwarna hitam yang sedang dijahit. Belum selesai, lengan sebelah kirinya belum jadi.

    Nada takjub, sudah setua itu tapi tetap masih bisa berkarya. Membuat sweater hitam itu, kan, lumayan sulit. Dibutuhkan ketelitian tinggi. Kalau salah-salah bisa diulang kembali. Obasan hebat!

   "Sweater siapa itu Obasan?"

    "Ini? Ini untuk cucu saya."

    Nada terdiam begitu mendengar kata 'cucu saya', tiba-tiba saja Nada menjadi sangat gelisah.

    "Cucu Obasan yang lelaki itu? Obasan, kan, tidak pernah bertemu dengannya."

    "Memang, lalu apa masalahnya?"

   "Tidakkah itu menyakitkan buat Obasan?"

    "Tidak, malah saya merasa lebih baik. Dengan begini saya merasa ia perlahan mau memaafkan saya. Saya hanya bisa berharap, setiap musim dingin datang. Saya memang rutin seperti ini. Menjahit sweater rajutan untuknya, dengan warna kesukaannya."

    Nada semakin gelisah, rasanya mulutnya ini gatal sekali. Ingin memberitahu sesuatu itu pada Obasan.

    "Apa yang akan Obasan lakukan jika bertemu dengannya?"

    "Saya sendiri bingung, yang jelas saya ingin hubungan kami kembali baik seperti dulu."

    "Ya, saya harap juga begitu."

    "Rumah ini adalah rumahnya juga, ketika masih kecil ia sering dititipkan di sini. Dia sangat lucu dan manja sekali, hahaha."

    "Pasti sangat menyenangkan, ya. Saya pernah merasakan kebahagiaan seperti itu, bermain dengan Kakek dan Nenek."

    "Tapi dia tidak pernah melihat Kakeknya sedikit pun, bahkan hingga sekarang usianya menginjak dua puluh delapan tahun. Kakeknya meninggal ketika di zaman perang dulu."

    "Oh, begitu, Kakek dulu pejuang di Jepang?"

    Obasan hanya diam tidak menjawab sama sekali, apakah ada yang salah dengan pertanyaan Nada tadi? Sepertinya iya, Nada pun berniat mengganti bahan pembicaraan.

    "Boleh saya melihat sweater buatan Obasan?"

    "Tentu saja! Baru saja saya ingin memperlihatkannya pada kamu."

     Obasan berjalan menuju sebuah lemari berpintu dua, ia membuka salah satu pintunya. Dan mengambil semua tumpukan sweater.

    "Banyak juga," komentar Nada sambil melihat dan memegang sweater yang berwarna putih, biru dan abu-abu.

    "Saya sudah tidak bertemu dengan cucu saya ya kira-kira tiga tahun lebih, saya membuat sweater itu setiap tahun satu. Ketika musim dingin saja, dan yang keempat ini saya buat warna hitam. Dia juga suka warna hitam."

     Nada sungguh tak percaya, orang sehangat Taka bisa meninggalkan Neneknya sendiri selama tiga tahun lebih. Sedalam apakah luka di masa lalunya? Hingga ia berlari terlalu jauh? Taka, sadarlah.

    "Hm, saya lihat-lihat. Sweater ini bagus sekali, boleh saya tunjukkan pada teman saya? Dia salah seorang desainer baju di Jepang. Bagaimana? Obasan tidak perlu khawatir, saya akan menjaga semua sweater ini baik-baik," tawar Nada.

    "Oh, ya? Boleh, tapi saya akan selesaikan yang warna hitam ini dulu. Sebentar lagi tak apa?"

    "Baiklah, akan saya tunggu, tenang saja."

    "Terima kasih banyak Nada."

     "Tidak perlu berterimakasih, Obasan sudah seperti Nenek saya sendiri."

      Mereka berdua pun tertawa bersama. Kalau seperti ini Nada sama sekali tak melihat kesedihan dalam wajah Obasan. Malah ia melihat ekspresi gembira dari wajah tua Obasan yang mulai keriput.

      Obasan tidak pernah terlihat kesepian atau merasa sedih sedikit pun. Taka benar, Obasan adalah wanita yang mandiri dan kuat. Tanpa sadar Nada memandangi Obasan.

     "Ada apa?"

     Nada menggeleng pelan, lalu memeluk tubuh rapuh Obasan. Obasan hanya diam, tidak bereaksi apapun. Ia sedikit terkejut.

    "Saya sayang Obasan," ucap Nada lirih.

     Dua jam berlalu tanpa terasa, karena Nada dan Obasan terus berbincang-bincang berdua. Nampak akrab dan hangat. Walau begitu rajutan Obasan selesai dengan baik. Tidak ada bagian yang salah sama sekali. Benar-benar hebat.

     "Doakan saya, semoga hari ini berjalan dengan lancar," Nada pamit pada Obasan untuk keluar. Setelah merapikan semua sweater rajutan Obasan Nada segera bersiap-siap untuk berangkat.

    "Iya, jaga diri kamu baik-baik."

    "Eung! Saya pamit dulu."

      Setelah memberi hormat pada Obasan Nada berjalan keluar rumah. Obasan melambaikan tangannya sambil tersenyum, begitu pun Nada. Hari ini hari Sabtu, akhir pekan. Pantas saja jalanan ramai sekali. Nada melihat secarik kertas berukuran kecil yang ia pegang.

     Alamat ini, Taka tinggal di sini. Untuk mendapatkan alamat ini ia berusaha sekuat tenaga. Ia pergi ke tempat es skating waktu itu, untung saja Taka menulis alamat tempat ia tinggal di form pelanggan tetap.

    Taka tinggal di apartemen. Ini pertama kalinya Nada menghampiri seorang pria. Ia malu, dan takut. Tapi begitu Nada ingat Obasan, ia kembali bersemangat. Lagipula mereka kan berteman. Buat apa canggung atau merasa malu, tapi tetap saja harus saling menjaga jarak dengan baik.

     Perjalanan menuju apartemen itu membutuhkan waktu 30 menit dengan bus. Lumayan, tidak apa-apa. Hitung-hitung Nada berjalan-jalan.

     Hanya modal nekat dan semangat yang ia punya. Ini pertama kalinya Nada menginjakkan kaki di Osaka. Tapi ia sama sekali tidak takut, tekadnya sudah bulat. Nada ingin Taka dan Obasan kembali bersama. Memiliki hubungan baik dan normal antara Nenek dan Cucunya.

     Taka begitu baik selama ini terhadap Nada, ia pun ingin membalas semua kebaikan Taka. Nada ingin melihat senyum bahagia Taka ketika bersama Obasan nanti. Dengan begitu Taka maupun Obasan tidak akan merasa kesepian.

      Mereka berdua memang aneh. Mereka tahu, mereka merasa kesepian. Tapi kenapa tidak ingin berbagi bersama?

     Apalagi ditambah hubungan mereka yang erat, Nenek dan seorang Cucu. Bukankah akan lebih mudah? Kenapa tidak melupakan masa lalu bersama saja? Lalu setelah itu menjalani masa yang akan datang dengan kebahagiaan dan semangat hidup yang baru. Bukan dengan rasa penyesalan dan amarah yang masih saja terpendam.

     Mungkin ini terjadi karena masalah yang Obasan katakan waktu itu. Nada tidak tahu apakah yang ia lakukan ini benar atau salah. Terkadang Nada merasa takut, apakah ia terlalu ikut campur?

     Tidak, Nada akan membiarkan mereka berdua menyelesaikan masalah. Apa yang akan ia lakukan sekarang hanyalah mempertemukan mereka berdua, lalu setelah itu Nada serahkan semuanya pada Taka dan Obasan.

     Ya, semoga saja harapan Obasan soal Taka menjadi kenyataan. Hubungan mereka kembali membaik.

     Nada terkejut begitu melihat antrian panjang di depan loket, ia menelan ludahnya. Bagaimana ini? Ia lihat ke arah jam tangannya. Bahkan sebentar lagi waktu maghrib tiba. Dimana Nada bisa menemukan Mushala atau Masjid di sini? Pasti sangatlah sulit.

     Ia buru-buru membuka ponselnya dan membuka salah satu alamat web search engine. Ya! Ketemu, ternyata ada juga. Walau memang sangat sedikit. Nada segera mencari salah satu alamat Mushalla ini. Ia bertanya pada warga sekitar, bahkan orang yang lewat pun ia tanya.

     "Terima kasih."

      Akhirnya ada juga orang yang mau mengantarnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk bertanya. Taka benar, orang Osaka memang ramah-ramah.

    Sesampainya di mushala Nada sengaja berdiam diri hingga waktu Isya datang, ia membaca Al-Quran yang selalu ia bawa kemana-mana. Al-Quran berukuran sedang pemberian seseorang itu. Masih terus ia baca dan rawat dengan baik-baik.

      Setelah selesai melaksanakan Shalat Isya, Nada melanjutkan perjalanannya. Ia lihat ke arah jam tangan. Walau sudah pukul 08.00 malam pun masih ramai, beruntung Nada tidak merasa takut. Ia merapatkan baju hangatnya, bahkan ia hingga memakai tiga lapis pakaian hangat.

      Tapi tetap saja masih terasa dingin. Ditambah angin malam yang mulai berhembus cukup kencang, salju mulai turun. Orang-orang yang tadinya sedang berjalan santai langsung berlarian.

Nada, tenanglah. Kau sudah sejauh ini, jangan menyerah....

      Nada mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia merasakan kedua tangannya seperti kram. Buru-buru ia berlari dan berjalan masuk ke dalam kedai ramen. Di sana ia istirahat sejenak sambil menghangatkan tubuhnya.

Ayo, Nada! Sebentar lagi kau sampai!

     Nada kembali melanjutkan perjalananya. Ia belum pernah seperti ini sebelumnya. Nada sendiri tidak mengerti kenapa ia melakukan ini semua. Ia hanya merasa harus melakukannya.

      Senyum manis Nada terukir begitu melihat sebuah bangunan bertingkat di seberang. Rasanya ingin menangis, ia sangat lelah sekali hari ini. Ia tidak ingin melihat jam tangannya. Biarkan saja, Nada sudah tak peduli. Yang penting ia selamat sampai tujuan.

Kamar 392, jadi Taka tinggal di dalam sini.

Nada memencet bel,

Ia pencet lagi,

Pencet lagi,

Kenapa tidak ada yang keluar juga? Jangan-jangan tidak ada orang di dalam.

      Nada mencoba mengintip dari sela-sela pintu. Benar saja dugaannya, bagaimana ini? Ia melihat kelayar ponselnya. Pukul 21.20 malam. Pantas saja sepi, orang-orang pasti sudah tidur.

     Kenapa juga Taka tak mau menjawab teleponnya? Semua pesannya pun tak ia balas dari tadi pagi. Nada mulai takut, salju turun semakin lebat dan angin berhembus semakin kencang.

     "Agh!"

     Kaki Nada tiba-tiba kram. Sakit sekali, ia akhirnya memilih duduk di samping pintu kamar apartemen Taka.

     Masih sakit, Nada memijitnya dan membalurinya dengan minyak telon yang selalu ia bawa.

Dingin.

     Bahkan kini hembusan angin semakin menjadi-jadi, pot bunga berukuran cukup besar di hadapan Nada terjatuh.

     Ia lihat, langit malam semakin gelap. Bahkan kini keramaian pun mulai tak terdengar. Nada mulai panik, ia takut.

Aku lelah sekali....

     Dengan sisa tenaga yang Nada miliki ia mencoba untuk menelepon Taka. Tidak diangkat. Akhirnya Nada terpaksa mengirimnya voice mail.

     Semoga Taka mendengarnya, kalau tidak. Nada tidak tahu akan seperti apa nasibnya setelah ini. Belum pernah ia sebodoh dan senekat ini sebelumnya.

      Nada memeluk erat kedua kakinya. Berusaha menghangatkan dirinya sendiri, gemeretak giginya mulai terdengar. Pertanda ia mulai sangat kedinginan. Wajahnya terlihat pucat.

    "Astaghfirullah."

     Nada melihat cairan berwarna merah mengalir dari dalam hidungnya. Perih sekali, ia buru-buru mengambil tissue di dalam ransel. Lalu menyumpal kedua lubang hidungnya.

     Kalau sudah sangat kedinginan Nada memang seperti ini, ditambah di Indonesia tidak ada yang namanya musim dingin. Jadi Nada harus membiasakan diri dengan suhu udara yang ekstrim di Osaka.

     Kini Nada mulai bisa merasakan kedua tangan dan kakinya bergetar. Semakin kencang. Ini bahaya, ia ingin bangun. Tapi tidak bisa, sudah terlalu dingin. Seluruh tubuhnya rasanya seperti beku.

Kumohon, cepatlah....

🇮🇩🌺🇯🇵

     Taka tertawa terbahak-bahak begitu mendengar lelucon Satoru, temannya sewaktu SMA. Sekaligus partner dalam membuat Manga ketika ia berada di Osaka.

     Ya, Taka sedang mengadakan pertemuan dengan teman-teman SMA nya dulu. Di salah satu rumah temannya, pertemuan seperti ini memang akan berlangsung lama. Biasanya sampai larut malam, Taka sebenarnya ingin pamit lebih dulu. Tapi ia merasa tak enak dengan teman-temannya yang sudah lama ia tinggalkan.

     Karena ia menghilang begitu saja ketika kedua orangtuanya meninggal. Taka merasa bersalah karena tidak mengabari mereka. Maka dari itu khusus malam ini ia akan menghabiskan banyak waktu bersama.

     Taka berhenti tertawa begitu merasakan ponselnya bergetar di dalam kantung celananya. Ia merogohnya, melihat ponselnya dan menatap dingin, ia sadar sedari pagi Nada mengiriminya pesan dan meneleponnya. Tapi ia tidak mempedulikannya.

      Taka masih menatap ragu ke arah ponselnya, ia menghela napas panjang. Lalu mulai membuka ponselnya. Voice Mail? Ia sempat heran begitu melihatnya. Taka pergi menjauh dari keramaian sejenak.

     Lalu membuka voice mail itu.

Taka, kamu marah sama saya? Kenapa sms saya tidak dibalas? Lalu telepon saya juga tidak dijawab? Kamu marah? Maafkan saya. Saya ... saya sekarang di depan kamar apartemen kamu. Saya tunggu kamu.

    Taka melihat voice mail itu sekali lagi, sudah lewat 20 menit. Ia rasanya benar-benar ingin marah dan memukul wajahnya sendiri.

     Dasar bodoh! Tanpa berbicara apapun Taka berlari keluar rumah Satoru. Ia melihat ke sana ke mari, sudah tak ada bus lagi. Kedua mata Taka mulai terasa panas. Ia lihat ke arah jam tangannya. Pukul 21.50. Taka semakin gusar, sekarang ia sungguh ingin menangis. Bodoh!





Bersambung.

Continue Reading

You'll Also Like

4.8M 177K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
2K 868 24
SELAMAT DATANG DI STORY KE DUA AKU GUYSSS JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM MEMBACA. TINGGALKAN JEJAK DI POJOK KIRI BAWAH DAN TINGGALKAN KOMENTAR DI KOLOM K...
6.4K 458 44
Untaian rasa yang dituangkan lewat sebait kata. Berharap semoga mampu menusuk relung hati. Membuka pikiran dan menjadikannya sebagai motivasi. Collab...
1.1M 55.6K 48
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...