KALIMAT CINTA tak Tertata

By VellaAprilianadefinu

6.6K 7.9K 2

⚠️Wajib folow sebelum baca⚠️ Gaura elyona gadis berusia dua puluh satu tahun, yang memiliki kehidupan keras p... More

PROLOG
BROKEN HOME
BROKEN HOME
BROKEN HOME
BROKEN HOME
BROKEN HOME
PERJODOHAN
PERJODOHAN❌❌🚫
PERJODOHAN
PERJODOHAN
PERJODOHAN
PERJODOHAN
PERJODOHAN
GENGGAMAN KESABARAN
GENGGAMAN KESABARAN
GENGGAMAN KESABARAN
GENGGAMAN KESABARAN
GENGGAMAN KESABARAN
TERTIKAM
TERTIKAM
TERTIKAM
TERTIKAM
TERTIKAM
TERTIKAM
BATIN LUKA
BATIN LUKA
BATIN LUKA
BATIN LUKA
BATIN LUKA
KUNANG-KUNANG MALAM
KUNANG-KUNANG MALAM
KUNANG-KUNANG MALAM
KUNANG-KUNANG MALAM
HADIRNYA LUKA
HADIRNYA LUKA
HADIRNYA LUKA
HADIRNYA LUKA
HADIRNYA LUKA
DI HAMPAS KEKECEWAAN
DI HAMPAS KEKECEWAAN
DI HAMPAS KEKECEWAAN
DI HANPAS KEKECEWAAN
DI HAMPAS KEKECEWAAN
KAPAN BISA TEROBATI
KAPAN BISA TEROBATI
KAPAN BISA TEROBATI
KAPAN BISA TEROBATI
KAPAN BISA TEROBATI
PENGECUT
PENGECUT
SURAT CERAI
SURAT CERAI
SURAT CERIA
SURAT CERAI
SURAT CERAI
DUGAAN?
DUGAAN?✍️

PENGECUT

122 129 0
By VellaAprilianadefinu

Malam-malam gini sebuah panggilan telfon menyeru di balik sana, pada panggilan handphone Gafi.

📞"Dok, ada pasien  darurat di ruang ICU, pasien ini telah terdapat tumor di kepalanya, sepertinya kita harus melakukan tindakan oprasi, jadi tolonglah secepatnya datang, agar proses oprasi bisa di segerakan, pasien saat ini sangat kritis."

📞"Sudah ada persetujuan dari keluarga pasien, untuk tindakan oprasi ini?"

📞"Ntahlah, pasien ini datang dari rujukan rumah sakit tetangga, namun di lihat ia hanya datang seorang diri, dengan hanya di antar oleh para tim medis dari rumah sakit itu, jadi bagaimana?"

"Baik, kita bicarakan lagi nanti, jadi tolong tangani dulu untuk sementara, saya akan segera datang ke sana."

📞"Baik, kami tunggu, matikan."

Gafi mematikan telfon, dengan menghela nafas beratnya, ia mendongak sembari menyugar kasar rambutnya dengan fikiran frustasinya.

Tak ada fikiran apapun lagi selain bertekat.

Pria itu mendapati cepat kunci mobilnya.

Cegrek!
Menutup cepat pintu apartemen, lalu ia melangkah lari melintasi sembuah koridor apartemen, dengan perasaan gugup dan terburu-burunya, membuatnya tak acuh pada jas dokter yang belum sempat terpakai sempurna di tubuhnya, namun ia tetap memaksakan berlari sembari menyempurnakan jas yang ia pakai di tubuhnya.

Mendapati segera, sebuah mobilnya yang terpalkir pada ruangan palkiran apartemen, hingga secepatnya ia masuk, dan segera melajukannya menuju arah rumah sakit.

Hal yang sudah biasa Gafi alami, yang di mana sebuah satu hal yang membuatnya terpingkal  kepanikan dan jatuh dalam kegugupan, adalah satu hal saat mendengar suatu panggilan darurat dari rumah sakit, hal itu sangat membuatatnya jadi terteguk oleh gelimang kerisauan, bahkan yang di mana terkadang  dirinya   pun  bisa sampai meraksaan trauma, dan rasa bersalahnya pada dirinya sendiri,  jika ia telah gagal  menyelamatkan pasiennya, ia selalu merasa bersalah, walaupun semua itu terjadi karena kehendak takdir.

Namun mau bagaimana pun juga inilah tugasnya menjadi seorang dokter, yang di mana dirinya memang harus benar-benar  menekat maju dan siap dalam posisinya, mungkin bisa ia hindari jika hanya dengan  beralasan akan takut untuk melakukan hal itu, namun untuk apa masih beralasan? Lantas untuk apa gunanya  menjadi dokter? Bukankah ini memang sudah  tugasnya menjadi seorang dokter?

Ya mungkin begitulah layaknya menjadi seorang dokter yang di mana tenaganya harus menjadi taruhan demi nyawa orang lain, yang demikian ia juga harus memiliki ketekatan kuat.

Lelaki itu bersiap usai mencuci kedua tangan, dengan berhati-hati Gafi  menghindarkan kedua tangannya dari sentuhan apapun, untuk menjaga dan menetapkan kondisi aseptik pada kedua tangannya selama oprasi, dengan di dampingi oleh seorang perawat yang ikut membantu dan melayaninya memakaikan pakaian medis oprasi pada tubuhnya hingga sampai terbalut rapih.

Kini lelaki bertubuh kekar dan tinggi sudah siap terbalut rapih oleh pakian medis oprasi,"Semuanya sudah di siapkan?" Tanya lelaki itu dalam kondisi wajah tertutup masker medis, dan kepala yang sudah tertutup nurse cap, komplit sudah pakain medis yang membalutnya.

"Sudah dok," Balas ramah sang perawat sembari menunduk hormat.

"Baik,"segeralah Gafi melangkah masuk ke dalam ruangan oprasi.

Setibanya masuk ke dalam ruangan,  suasana dingin tiba menerpanya, membuat Gafi jadi terbenam dari langkahnya, hingga berdiam sejenak menyisir suasana  ruangan, ia menghela nafas panjang untuk melegakan perasaan tegangnya terlebih dahulu.

Baru saja tengah mengatur nafas, tiba-tiba saja ...

Tut tut tut tuutt ....

Sambutan bunyi alat monitor itu membuat Gafi beralih pandangan ke arah pasien yang sudah terbaring diam di atas brankar oprasi itu.

"Dok pasien semakin kritis!" Gugup salah satu perawat, sembari mengandal alat pacu.

Ucapan itu membuat Gafi langsung melangkah gugup dengan secepat kilat ia menghampiri keadaan.

Tanpa berlarut-larut sebuah sarung tangan medis langsung  membungkus rapih pada kedua tangannya.

Segeralah ia melangkah ke arah pasien, dengan kedua tangan yang terpapang dalam balutan sarung tangan.

"Darurat darurat! Cepatlah bergegas! Konsentrasi, jangan sampai gagal!" Seruan jiwa pemimpin salah satu perawat, membuat tim medis lainnya terguncah-guncah.

Grutak grutak jgeraks grek
Para tim medis berawut-awutan mencapai pegangannya masing-masing, untuk menangani pasien.

Gafi yang sudah berdiri siap di dekat keadaan, namun ia masih berdiam terlebih dahulu untuk menunggu para tim medis lainnya yang tengah menyiapkan posisinya.

Usia semuanya tersiapkan, "Silahkan dok," Ucap salah satu perawat, mempersilahkan Gafi sebagai penangan medis utama untuk segera maju berturun tangan.

Gafi melangkah jalan mendekati pasien, dengan tatapan wiranya menyorot dingin, pada pasien itu yang sudah siap terbaring diam di atas brankar, dengan langkah jalannya yang begitu berhati-hati ia melindungi kedua tangannya agar jangan sampai tersentuh benda-benda di sekitarnya.

Gafi tak melihat jelas siapakah pasien itu, yang ia tahu bahwa pasien itu hanya berjenis kelamin wanita, ia tak sempat melihat data indentitasnya tadi, ia pun tak ambil pusing dalam hal itu, tak ada firasat atau pun perasaan yang mencemarinya, jadi ia merasa keadaan akan biasa saja, namun ada sedikit rasa tegang yang memang biasa ia rasakan saat ingin menjalani tindakan operasi.

"Siapkan alat," Atur Gafi.

"Maaf, ini dok," Serah halus sang perawat memberikan klompokan alat bedah.

Segeralah Gafi menerimanya dan meletakannya di tempat khusus, dan sudah saatnya ia akan melakukan tindak pembedahan, dengan tak ada perasaan cemas dan fikiran gundahnya dalam hal itu, kecuali yang ia rasakan hanya ketegangan biasa, namun saat tiba ia membukan sebuah kain hijau yang sempat sedikit menutupi wajah pasien yang tengah terbaring tidur itu, tiba-tiba saja ...

Deg!

Gafi menelan salivanya dengan susah payah, sembari tercengang syok, pandanngannya membulat tajam, dengan tubuh yang sedikit gemetarannya.

Sungguh tidak menyangka akan hal yang ia lihat itu.

G-gaura? Jadi pasien ini Gaura, ucap batin tak percayanya, karena sangkin terkejutnya, membuatnya sergah hingga mundur perlahan menghindar dari dekat pasien.

Mengetahui bahwa ternyata pasien itu adalah istrinya sendiri, membuatnya jadi semakin tertampar kepiluan.

Sebagai suami ia sangat terpukul melihat ketidak terdugaannya itu, sungguh jauh di luar prediksinya.

Terlihat raut khas paniknya dari segi garis tatapannya, dengan bungkaman syok, dan  wajah pucat pasinya yang tersembunyi di balik  kain maskernya.

"Ada apa dok?"

Perilaku Gafi itu membuat para tim medis jadi terpana bingungan, tak hanya itu, dari diamnya pun malah membuat tindakan yang akan  segera di lakukan, seketika terhenti.

Gafi hanya menoleh dan menatap nanar tanpa penejelasan apa yang terjadi , namun rasa terkejutannya itu masih sangat membuatnya jadi terus terdiam kosong tak ada jawaban.

"Ada apa dok? Apakah ada yang sesuat___"

Tut tut tut tuuutttt .... Tiiiitt ....

Bunyi monitor memutus pertanyaan itu, hingga membuat Gafi beralih pandangan, dengan lamunanya yang buyar, hingga membuatnya tak acuh pada pertanyaanya, "A-alat monitor mendeketsi jantung pasien sangat begitu lemah, a-ayok cepatlah bergegas kembali!" Atur lelaki itu mengalihkan pada tugasnya kembali.

"Baiklah dok."

"Baik lah dok."

"Siap, siap dok."

Para tim medis pun langsung bergegas kompak, dan tak mau ambil pusing, lagi pula  mereka harus kembali konsentrasi seperti semula.

Usai terlintasnya suasana ridup dalam beberapa detik tadi, kini suasana pun kembali pada suasana sebelumnya, yang di mana para medis kembali menyekal tugas masing-masing.

Gaura bertahanlah, aku akan berusaha menylamatkanmu sayank, ucap batinnya, walaupun masih dalam perasaan percaya tak percaya, dengan tingkah kegugupannya saat ini ia akan menangani istrinya.

Ntah kenapa di saat suasana sedang terjadi seperti ini, batinnya begitu merasa iba, bukankah rencananya sejak dulu, ia berharap wanaita itu akan pergi dari hidupnya, dan seharusnya ia senang dan bahagia jika ia harus kehilangan wanita itu, yang artinya ia akan bebas, dan bisa menjalin hubungan hidup bersama kekasih tercintanya itu kembali, tanpa adanya halangan, namun mengapa sekarang malah jadi berubah, seakan ia begitu tak rela jika ia harus kehilangan wanita yang sudah menemaninya selama tiga tahun ini.

Gafi memfokuskan diri pada tugasnya, namun fikirannya masih terus begitu tak menyangka jika pasien yang ia tangani saat ini adalah istrinya sendiri.

Ia yang sebenarnya masih merasa tidak yakin, namun yakin tidak yakin, tidak akan menjadikan penghalang baginya, untuk melakukan tindakan itu, karena mau bagaimana pun juga ia harus tetap memaksakan untuk bertindak demi istrinya, karena mau bagaimana pun juga nyawa pasien  yang  ia selamatkan bukanlah nyawa orang lain lagi, melainkan adalah nyawa istrinya sendiri.

Ntahlah mengapa ia begitu bersemangat menanganinya sendiri, mengapa ia tak melemparnya saja penanganan itu pada dokter lain? Kalau begitu kan ia bisa santai, namun sepertinya tidak mungkin, justru ia akan merasa tidak tenang jika seperti itu.

Gafi tolong berkonsentrasilah, selamatkan istrimu, jangan seperti ini, ku mohon! Desis Gafi dalam hati, kesal pada diri sendiri, namun tekatan dirinya tetap menyadarkan untuk terus berusaha berkonsentrasi dalam tindakannya.

Gafi tak ada fikiran lain lagi.

Dengan tatapan fokusnya mengarah pada proses pembedahan yang tengah ia genggami, dengan begitu telitinya ia mengotak-atik bagian pembedahannya.

Salah satu perawat yang diam-diam memperhatikannya cemas ke arah Gafi, terlihat seperti kurang meyakini, "Dok, apakah anda baik-baik saja? Tolong berkonsentrasi lah, jangan gugup, ini nyawa orang lain yang tengah anda genggam," Gumam pelan wanita perawat itu yang berdiri di samping Gafi, berusaha memfokuskannya.

"Tenanglah, saya akan baik-baik saja, jangan khawatirkan hal itu," Lirih lelaki itu sembari tetap fokus membedah bagian kepala istrinya.

"Dokter, saya begitu tak meyakinkan anda, anda kelihatan begitu gelisah sekali rupanya, apakah anda memang benar baik-baik saja? Tolong berhentilah jika anda tidak sanggup,  biar saya turun memanggilkan dokter lain untuk menggantikan posisi anda, saya begitu mengkhawatirkan pasien," Wanita itu terus berbisik cemas melihat tindakan Gafi yang kurang memungkinkan.

"Berhntilah membicarai saya sus, ucapanpu justru malah menggangu konsentrasi saya, dan membuat saya jadi tidak fokus, jadi saya mohon berhentilah berucap, dan biarkan saya bertindak sendiri!" Desis Gafi pelan, namun pandangan tetap fokus pada pembedahannya.

Seketika perawat itu pun bungkam, walaupun masih ada sedikit unek-unek yang belum selesai ia ungkapkan, tapi untuk sementara ia memilih diam, karena ada benarnya juga yang di ungkapkan oleh Gafi tadi.

Aneh sekali, tak seperti biasanya dokter Gafi terlihat gugup seperti ini saat melayani pasien, ada apa? Siapa pasien ini? Mengapa ia seperti terlihat begitu tidak rela jika pasien itu di tangani oleh orang lain, dumel wanita perawat itu, sembari fokus memantau pelayanan Gafi.

Namun perawat wanita itu cukup berharap semoga tindakan oprasi ini bisa berhasil sampai pasien selamat, dan pulih seperti semula.

Ia hanya bisa memantau tindakannya, dan tak lagi-lagi untuk berani berucap seperti sedia kala, karena ia takut jika dokter senior itu akan semakin marah sekali padanya, karena jika sudah marah suasana akan terasa begitu menyeramkan.

Deg! Deg!
Jantung Gafi semakin berpacu begitu cepat, dengan kringat dingin terus berucuran tiadan henti.

"Dokter ku mohon fokuslah, dan tenanglah, jika merasa kurang tenang, cobalah tarik nafas dan atur pernafasan sejenak, hingga suasana kembali tenang seperti semula," Salah satu perawat laki-laki dari sebelah kiri yang ikut bersanding menenangkan seniornya, sembari membantu menyeka keringat yang bercucuran di kening Gafi.

Gafi mengangguk, menghentikan kegitaannya sejenak, untuk meraih alat bedah lainnya.

Dengan kepekaan sang perawat, ia berusaha membantu meraihkannya.

Gafi menerimanya segera, namun sebelum melanjutkan kegiatannya kembali, yang benar saja ia mengikuti arahan perawat tadi, dengan segera ia menarik nafas panjang hingga menghembuskannya perlahan, hingga tiga kali ia mengulangi perkara yang sama, sampai perasaannya benar-benar terkontrol tenang.

Setelah itu kembalilah ia pada bekerjaanya.

Setengah jam ...

Detik-detik Gafi yang hampir saja akan mencapai finis, dengan ia yang sudah berhasil membersihkan benjolan tumor pasa otak istrinya itu.

Darah yang sudah bercucuran dari area kepala Gaura yang terkena bedah, hingga sampai membencak pada sarung tangan Gafi, namun sama sekali tak membuatnya takut ataupun mual, karna hal itu sudah menjadi hal biasa untuknya.

Fi jangan gugup, ini demi istri kamu, tolong tenanglah, jangan gugup, konsetrasilah, kamu lihatkan, ini sudah hampir mencapai finis, kamu yakin kamu akan berhasil dalam proses oprasi ini, jangan sampai oprasi ini gagal, tutur batin Gafi, membangkitkan ketenangan pada dirinya sendiri, ia akan berusaha semaksimal mungkin demi istrinya.

Melihat tindakan sudah hampir mencapai finis,  dirinya sangat percaya dan sudah langsung meyakini bahwa ini pasti berhasil.

Tak terasa tiba-tiba air mata jatuh menetes dengan begitu deras, hingga membasahi kain maskernya.

"Dokter kenapa anda menangis? Tak seperti biasanya anda seperti ini? Ada apa dengan pasien ini? Apa karena memang anda sendiri yang sedang banyak fikiran?" Tanya perawat pria itu giliran yang memberanikan diri.

"Huustt .... Ku mohon berhentilah bertanya-tanya, kefokusan saya terhalang, karena mendengar suara-suara kalian," Lirih Gafi, dengan nada gemetaran.

"Maaf dok, kami hanya khawatir."

Tut tut tut tut ... Tuuuttt ...
Pandangan Gafi bolak-balik melirik ke arah monitor untuk  memastikan keadaan Gaura.

Grutak grutak drek sreeek .... Tket
Gerak gugup para tim medis, mengajar suatu pegangan.

"Tolong ambilkan alat penjahit," Titah Gafi tak butuh waktu lama.

"Siap dok," Seorang wanita perawat bertubuh pendek segera meraihkannya, dan menyerahkannya dengan terburu-buru.

Usai menerima jarum, lelaki itu kembali fokus pada penanganannya, sepertinya ini pucuk terahir lelaki itu akan menindakinya, karena ini sudah di bagian paling akhir, dengan ia yang menutup hasil bedahannya di kepala istrinya dengan jahitan oprasi.

Selesai ...

Gaura, kamu sangat hebat, saya bangga padamu, kamu berani menekat untuk melewati semua ini, saya berhasil menyelamatkanmu, kamu akan sembuh Gaura, Batin Gafi bergumam lega, ntah mengapa ia sangat bahagia sekali saat tau bahwa dirinya telah berhasil melawati proses oprasi istrinya, ia merasa seolah ia tengah berdiskusi senang bersama bayangan istrinya.

Tak kuasa ia menahan bendungan air matanya,  sehingga air mata itu pun kembali melolos deras, dengan batin batin sesaknya yang semakin terasa hipitan kuatnya, hal itu malah membuatnya jadi menangis hingga terisak-isak, "Hiks hiks hiks."

Semua para tim medis membeo tak mengerti dengan menatap bingung ke arahnya pria berawakan tinggi itu, yang di sebut sebagai senior dokter.

"Ada apa dengan dokter Gafi?"

"Iya ya, kenapa dia nangis?"

"Ada apa?"

"Sedari tadi sikap pria itu sangat menganehkan."

Para tim medis malah jadi sibuk berbisik-bisik membicarakan.

Satu jam lebih kemudian.

Usai oprasi habis di selesaikan,"Oprasi berhasil," Tutur terharu Gafi hingga menangis bahagia di hadapan para tim medis yang mengelilinginya, ia begitu sangat bahagia sekali.

"Huuuh ...."

"Waw, huh."

"Anda hebat dok, bisa menyelesaikan oprasi ini, terimkasih atas penangananya."

"Terimkasih dok."

"Maaf, tadi kami sempat tidak meyakinimu, karena sikapmu terlalu mengkhawatirkan, maafkan kami jika telah meremehkanmu dok, kou benar-benar senior yang hebat.

Ujar para tim medis bawahannya secara kompak sembari membungkuk sejenak memberikan terimkasih kehormatan pada Gafi.

Gafi tersenyum bahagia ke arah mereka, di sandingi derasnya air mata yang mengalir hingga membasahi pipinya.






















•••••••••••🌼🌼🌼•••••••••••

Kini Gaura sudah di pindahkan di ruang pasien VIP, dengan ruangan yang tetap dari sebelum menjalani oprasi.

Oprasi sudah berhasil di lakukan, namun ntah mengapa Gafi kini malah masih bersedih, padahal proses oprasi lancar-lancar saja dan tak ada gangguan sedikitpun, apa lagi ini berhasil, namun mengapa dirinya masih tetap bersedih, seperti ada yang membebani perasaannya, dengan merenung menyendiri di sebuah ruang ganti, dengan duduk membungkuk di lantai tak beralas, dalam posisi masih memakai seragam oprasi.

"Hisk hiks hiks," Suara isakan tangisannya yang terdengar di balik wajah yang tersembunyi di sebuah lipatan kedua tangan yang melingkar di atas lutut.

Hatinya serasa ingin meledak, jika di akui sakit jujur saja rasanya mungkin memang benar-benar sakit sekali, seperti ada tusukan-tusukan tajam pada anak panah yang menjuru dalam pelupuk hatinya, tak kalah dengan rasa sakit yang Gaura rasakan selama ini.

Maafkan saya Ra, selama ini saya terlalu abai padamu, bahkan di saat kamu mengalami hal seperti ini saya tidak mengetahuinya sedikitpun, saya tidak sebegitunya pekanya terhadap dirimu, maafkan saya, karena terlalu egois padamu, batin berbincangnya dengan perasaan bersalahnya.

Kesunyian nyata dalam ruangan, membuat Gafi bisa nyaman berlama-lama untuk menyendiri.

Gafi meluruhkan kakinya, hingga terpapang berselonjor, dengan ia yang  menyandarkan letih tubuhnya pada dinding ruangan ganti tersebut.

Tangisan deras semakin membanjir tak beraturan, hingga sedikit membasahi kain hijau pada pakaian medisnya.

Seketika itu pun ia kembali  teringat pada kejadian di masa sebelumnya terjadi oprasi, di kala itu Gaura sempat menghubunginya, dengan bahasa-bahasa penuh perbucinan yang terdengar ceria dari balik telfonnya sana, namun ia tak menanggapinya, wanita itu tak sama sekali menampakan dirinya akan menjalani oprasi, ia pun tak mengatakan pada suaminya bahwa ia akan menjalani oprasi, karena halnya yang ia bicarakan hanya sebuah bentuk alih-alih, di mana ia hanya mengatakan suatu pembicaraan  bahagia, yang sudah jelas artinya ia menunjukan bahwa dirinya akan baik-baik saja di sana, cukup hal yang ia bicarakan hanya suatu ucapan terimkasih dan selamat atas hari ulang tahun pernikahan yang ke tiga tahun dari pernikahan keduanya, begitu terdengar cerianya suara di balik sana, sehingga tak membuat Gafi jadi terfikirkan hal apapun tentangnya.

Namun hal itu tidaklah menjadi kebahagiaan bagi Gaura, yang di mana kebahagiaan itu hanya melintas sekilas, usai mendapatkan respon buruk dari Gafi, di balik telfon itu Gafi mengatakan suatu ujar kebencian dan penuh amarah, bahkan sampai-sampai Gafi pun tega memutus telfonnya secara paksa, padahal di balik sana Gaura masih mengharapkan suaranya yang terdengar di balik telfon.

Bayangan itu lah yang kini terus melintas menghantui fikirannya, hingga sampai meremas kasar perasaannya, ia begitu menyesalinya pada saat itu, tak seharusnya ia melakukan hal seperti itu pada Gaura, mungkin sekarang tidak akan semenyal ini.

Ia merasakan penyesalan seluar biasa ini, setelah tau bahwa selama ini ternyata istrinya menyembunyikan suatu permasalahan besar dari dirnya, ia pun akan sangat merasa bersalah usai melihat dan menyaksikan secara jelas bahwa ternyata istrinya tertimpa masalah penyakin berat seperti ini, yang mungkin selama ini memang benar-benar terus ia pendam, sungguh kali ini ia sangat menyadari bahwa dirinya sangat bersalah sekali padanya, ia merasa dirinya sungguh amat-amatlah tidak berguna untuk istirnya.

"Kamu sangat bodoh! Dasar lelaki brengsek! Suami macam apa kamu ini!" Gertak Gafi dalam ruangan memaki dirinya sendiri, sembari membenturkan keras kepalanya pada dinding ruangan, tak hanya itu ia pun juga meninjau keras-keras dinding tersebut, "BRENGSEK!"















••••••••••🌼🌼🌼•••••••••••

Setelah satu jam lebih kemudian, Gafi mulai memberanikan diri untuk menghampiri istrinya yang tengah di peristirahatkan di ruang pasien mewah itu, sembari di dampingi dua wanita perawat.

Ngreet ....
Gafi menutupi pintunya dengan amat berhati-hati, karena takut akan mengganggu suasana dalam ruangan pasien istrinya.

Para perawat yang mendapati Gafi masuk ke dalam ruangan, mereka pun seketika bangkit berdiri sembari menunduk hormat kepadanya.

"Maaf jika terlalu lama menunggu," Ujar Gafi, dengan wajah lesu dan sembap.

"Tak apa dok," Jawab kompak kedua wanita perawat itu.

"Kalau gitu kalian boleh pergi ke luar, jika kalian ingin beristirahat atau melakukan kegiatan lain," Titah Gafi dengan bijak.

"Baik, terimkasih dok."

"Sama-sama, dan terimkasih kembali," Tuturnya sembari di dasari senyuman ramah.

Kedua perawat itu pun langsung keluar dari ruangan dengan jalannya yang secara berurutan.

Gafi menggunakan ujung matanya yang memperhatikan punggung kedua perawat itu yang  berjalan semakin menjauh dari ruangan.

Grek
Di akhiri pintu yang tertutup, hingga keduanya yang pergi tak terlihat lagi.

Gafi mendiam sekilas menatap pintu, lalu ia kembali beralih menatap ke arah istirnya yang tengah terbaring tidur itu.

Kaki melangkah mendekati ranjang wanita itu, walaupun rasanya masih dalam keadaan tak kuasana menahan pedihnya perasaan, karena rasa penyesalannya sendiri.

Kaki masih terasa lemas, dengan terus bergetar tak bisa di ajak kompromi untuk melawan langkah jalannya.

Lagi-lagi Gafi menangis hingga tersedu-sedan, ntah ada benak rasa yang terenyuh dalam hatinya, hingga tercabik-cabik, dalam duka lara yang bersinggah di benak sana, saat tiba memandang sendu pada wajah pucat  wanita yang terbaring tak sadarkan diri itu.

Perlahan-lahan Gafi mengusap lembut wajah istrinya yang sudah tampak tirus itu.

Maafkan saya Ra, gak bisa jagain kamu, saya gak pantas di jadikan suami untuk wanita baik sepertimu, maafkan saya, saya sangat menyesal, papar batinnya, dengan ia yang sembari mengkecup keningnya dengan begitu lama.

Sembari menyandarkan sedikit wajahnya pada wajah Gaura, Gafi pun tak henti-henti menciumi punggung tangannya, dengan di dasari ribuan kata maaf yang terungkap di hatinya, air mata menetes deras hingga sampai mengaliri wajah Gaura.

Gafi bangkit dari memeluk Gaura, dalam keadaan tubuh yang rasanya ingin remuk karena rasa kelelahannya.

Tak sengaja ia menoleh pandangan pada sebuah buket bunga dan box hampers yang terletak di sebuah nakas.

Gafi mengkerutkan keningnya dengan nanar menatap benda tersebut.

Saat memandang benda itu, lagi-lagi fikirannya kembali  teringat pada kejadian sebelumnya.

Hingga akhirnya berteruslah Gafi memangis hingga menekan kehisterisannya, dengan membungkuk pilu menghadap nakas, sampai-sampai ia jatuh meluruh ke bawah nakas, sangkin tak kuasanya menahan tangis pada duka laranya dalam hati kecilnya itu.



Jangan lupa folow ig@cici_ai_ai






Continue Reading

You'll Also Like

STRANGER By yanjah

General Fiction

296K 33.5K 37
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
My sekretaris (21+) By L

General Fiction

404K 3.7K 23
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra
152K 9.4K 25
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
Istri Kedua By safara

General Fiction

202K 6.6K 39
nadilla di paksa menikah oleh suami orang untuk merawat suaminya yang mengalami kelumpuhan di seluruh badannya dan stroke selama 5 tahun ia di paksa...