ENCHANTED | End

retno_ari tarafından

116K 11K 794

Spin-off CONNECTED Namanya Demas, manusia dingin yang sialnya membuat jantungku kehilangan ritme. Aku jatuh... Daha Fazla

Hai!
01
02
03
04
05
06
07
08. KK || Hidden Part 1
09
10
11
12
13. KK || Hidden Part 2
14
16
17
18. KK || Hidden Part 3
19
20
21
22
23
24. KK || Hidden Part 4
25
26
27
28 + info
29. KK || Hidden Part 5
30
31
32
33. KK || Hidden Part 6
34
35
36. KK || Hidden Part 7
37
38
39
40
41. KK || Hidden Part 8
42
43
44
45 | Giveaway Time!
46. KK || Hidden Part 9
47
48
49
50. KK || Hidden Part 10
51
52
53. KK || Hidden Part 11
54
55
56. KK || Hidden Part 12
Bisik-bisik Extra Chapter
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Info Extra Part [Dunia Pernikahan]
Extra Part 6
Extra Part 7
Extra Part 8 & 9
Extra Part 10
Extra Part 11
Extra Part 12
Extra Part 13
Extra Part 14

15

1.5K 172 6
retno_ari tarafından

Sejak Alya resign, aku merasa kesepian di divisi ini. Pasalnya aku tidak dekat dengan orang lain selain Alya dan Inas, aku sudah cocok dengan mereka walau karakter kami berbeda. Sekarang tak ada manusia yang bisa diajak kongkow di sela-sela jam kerja. Kutatap meja Alya yang lapang, sedih.

Tak ada yang bisa mendengar ceritaku dengan Demas lagi. Aku lebih leluasa bercerita tentang Demas pada Alya, mungkin karena sejak awal aku terbuka padanya, meja kami juga dekat. Sementara Inas duduknya kejauhan, kami juga beda divisi. Aku dan Inas sudah jarang makan siang bersama karena dia sering dipanggil meeting saat jam istirahat tiba. Benar-benar mengecewakan.

Aku membalik agendaku, mencatat hal penting yang harus aku kerjakan siang ini, yaitu report untuk Mas Amran. Tanganku menarik file dari sebelah, membuka jobdesk Alya yang dilimpahkan padaku. Ini mudah, hanya pengawasan dalam perawatan sistem aplikasi yang sudah diluncurkan pada customer. Sebentar lagi rampung, aku bisa duduk tenang dan bernapas lega.

Ting!

Ponselku berbunyi. Aku malas membukanya, paling itu Rio. Siapa lagi yang suka menggangguku dijam kerja begini kalau bukan Rio?

Bruk!

Sebuah benda terjatuh saat aku menarik file dari tumpukan. Aku menunduk untuk mengambilnya di kolong meja, tapi seseorang sudah berjongkok dan mengangkat post it yang tadi terjatuh.

"Rio?" mataku membelalak. Bukannya dia baru saja mengirim pesan? Kok orangnya sudah sampai di sini? Ajaib! Aku menggeleng karenanya.

"Kaget gitu, gue bukan hantu." Selorohnya sambil berdiri, dia meletakkan post it di atas agendaku. "Makan yuk, mau jam dua belas."

"Eng..." Aku bingung sesaat. "Lo tadi WA gue?"

Rio menyender ke mejaku. "Kapan?"

"Tadi!" balasku menuntut.

Rio mengecek ponselnya dan menunjukkan chat terakhirnya padaku, pukul sembilan pagi.

Seketika kuraih ponsel dan membuka password-nya, kutemukan satu pesan dari Demas. Tanpa sadar aku tersenyum.

"Cantik banget kalau gitu," suara Rio kembali terdengar, menyadarkanku dari kegilaan ini. "Makan yuk!" ajaknya lagi, berdiri tegap di sisi kursiku.

Aku menggeleng sekali. "Ada janji."

"Sama Inas?"

Bohong sedikit nggak masalah, kan? "Menurut lo, sama siapa lagi?" ucapku seyakin mungkin, agar dia percaya bahwa aku tidak bisa keluar dengannya.

"Yah." Rio tampak kecepa. "Next time janji ya!" pintanya sebelum berlalu.

Aku tak menggubris dan langsung membuka pesan Demas.



Demas

Gue dekat tempat lo.

Aku

Mau ketemu?

Demas

Bisa keluar, kan?

Aku

Bisa

Demas

Fastfood seberang mau?

Aku

Boleh.



Tidak apa-apa, hari ini aku bisa makan apa saja demi bersama Demas. Lupakan sejenak kalori, karbohidrat, gula dan asupan lainnya yang akan masuk ke lambungku. Aku tidak butuh timbangan, yang aku butuhkan hanyalah waktu bersama Demas.

Demas sudah menungguku ketika aku sampai di restoran cepat saji ini. Tempatnya benar-benar di seberang gedung kantorku. Banyak orang kantoran sudah menempati meja lainnya, sebagiannya lagi diisi para eksekutif muda yang tampilannya benar-benar mencolok.

"Hai," sapaku sambil duduk.

Demas tersenyum tipis.

Aku menatap meja yang sudah dipenuhi pesananku dan dia. Setelah membalas pesannya, dia langsung meneleponku dan menanyakan pesananku di resto ini. Aku tinggal duduk manis dan makan. Ada satu burger, dua nasi dan ayam, satu cola, dan terakhir iced milo yang pastinya milikku.

Demas menatap makanan di depannya, aku kaget ketika melihatnya memesan burger juga sebagai santapan siang ini.

"Makannya banyak banget?" komentarku sambil mengaduk minuman.

"Laparnya nggak ketahan."

Aku tertawa mendengarnya.

"Lagi ngapain tadi?"

"Kerja aja. Lo dari mana? Kok bisa terdampar di sini?" yang kutahu kantor Demas di daerah Kuningan. "On site ya?"

Demas menjawab dengan anggukan, mulutnya penuh dengan burger yang baru digigitnya. Kami mengobrolkan ini-itu sambail makan, sampai ketika mataku menangkap sosok yang sangat kukenal. Inas.

"Lo sama siapa?" Inas sudah berdiri di sebelah kursiku, menunduk dan berbisik di telinga.

Aku tersenyum pada Inas, mengedipkan mata. Dia belum pernah melihat Demas alias Slamet. "Mas, kenalin ini sahabatku dan Alya, namanya Inas." Kataku pada Demas.

Demas mengangguk tanpa ekspresi, masih menatap Inas.

Aku menyenggol lengan Inas. "Ini Demas alias sepupunya Alya!" ucapku ceria.

"Oh, yang Mas Slamet itu?" Inas menekan bahuku agak kencang, seperti sedang meremas dan melimpahkan sesuatu yang dipendamnya.

"Iya." Aku mengangguk dan mengusir tangannya dari bahu. "Lo mau makan? Duduk sini, bareng." Ajakku baik hati.

Inas menggeleng dan menunjuk pesanannya di tangan kanan. Dia pesan untuk take away. "Mau sambil kerja. Gue balik duluan deh!" dia menekan bahuku sekali lagi, meremasnya.

"Iya. Hati-hati." Sahutku tertekan. Inas belalu dari tempat ini.

Demas terlihat anteng di tempatnya, tidak sadar kalau tadi aku sempat mendapatkan serangan dari Inas. Setelah ini, Inas pasti akan mengejarku untuk menginterogasiku habis-habisan.

Aku menunggu Demas menghabiskan potongan ayam terakhirnya. "Mau tambah lagi?" ledekku. "Masih muat, kan?"

Demas mendorong badannya ke belakang, menepuk-nepuk perut dengan senyuman tipis sekali. "Kenyang. Alhamdulillah."

Aku menyesap iced miloku sampai tandas. "Bill-nya tadi berapa?"

"On me." Jawabnya singkat dan jelas.

"Thanks ya."

"My pleasure."

Aku senang sekali dengan kebaikannya hari ini. Aku pikir hubunganku dan dia ada kemajuan, sedikit demi sedikit. Sayangnya kami harus berpisah begitu jam menunjukkan pukul satu. Dia harus kembali ke kantornya, aku juga harus kembali ke mejaku.



---



Pintu kaca terbuka, aku melangkah masuk ke ruangan tim pengembangan, ruang kerja Inas yang super dingin sampai dinding kacanya berembun. Inas fokus menatap monitor lebar di depannya, sudah mengenakan sweater dan bantal leher. Pasti dia sudah tak tahan dengan suhu di sini dan ingin segera pulang ke kost-an.

Setiap sore, di atas pukul tiga, semua suhu di kantor ini serasa menurun dan membuat kami harus selalu menyiapkan jaket, sweater, atau apapun untuk melindungi badan dari paparan suhu tidak baik. Di sudut lain kulihat seseorang sedang mengenakan sarung, melilitkan ke bahunya. Sarung adalah salah satu barang wajib di sini, siapa tahu ada kerja rodi dan tidak bisa pulang ke rumah, sarung bisa berfungsi untuk selimut ketika tidur di meja kerja atau menggelar tikar lipat di lantai. Menurut pandanganku, programmer-lah yang paling sengsara di antara kami semua. Itu dilihat dari seberapa seringnya kami lembur dan jaga malam di kantor, programmer bisa jaga malam sampai berhari-hari selama project sedang berjalan, apalagi kalau sudah mepet deadline dan masih ditemukan kendala. Hidup mereka ada di sini, dunia mereka ya di gedung ini.

Kutarik kursi kosong di sebelah Inas, duduk di sana sambil mengetuk-ngetuk meja.

"Berisik!" gubris Inas, tak mau diganggu.

Aku meletakkan dagu di atas meja, memejamkan mata. Kemarin setelah Inas memergokiku makan dengan Demas, dia langsung meminta klarifikasi tentang hubungan kami. Kubilang bahwa kami tidak ada apa-apa, hanya berteman seperti halnya aku dan Rio. Inas tidak percaya begitu saja, sampai akhirnya dia menelepon Alya hanya untuk menanyakan keberanan itu.

Aku memiringkan kepala, menatap ke samping. "Memang kita kayak lagi dekat, Sis?"

Inas menoleh sebentar sebelum menyimpan file-nya. "Iya dong. Lo jalan bareng dia gitu!"

Aku menegakkan badan, "kayak pacaran?" tanyaku tak percaya.

Inas mengangguk dan menumpuk berkas-berkasnya, sepertinya dia sudah selesai. "Lo ngapain di sini? Nggak balik?" dia menoleh ke kanan-kiri, ruangan ini sudah lumayan sepi, tersisa dua-tiga orang lagi kecuali aku.

Aku mengawasi jam di sudut komputer Inas. Pukul delapan. "Report gue masih sama Mas Amran. Suruh stand by, takut ada masalah atau pertanyaan."

Inas memasukkan semua barang-barangnya ke tas yang cukup padat.

"Bawa apa aja sih lo? Penuh banget tasnya," aku menepuk tas inas, benar-benar tidak ada space lagi untuk meletakkan benda setipis tisu saku.

Inas mengenyir sambil mencabut colokan charger-nya. "Gue kan bawa payung, tumbler, lunch box, buku agenda, kotak kacamata, antiseptik, dompet, kosmetik seadanya. Nggak kayak lo yang tinggal naik mobil, mana ada payung di tas lo?"

"Ini musim kemarau kali."

"Ya, siapa tahu hujan dadakan. Sedia payung sebelum hujan, Sayang."

"Pantes tas lo berat gini, kayak mau pindahan!" aku mencoba mengangkat tas Inas, benar-benar berat. "Sepuluh kilo ya?"

"Mana ada sih?!" dia mendelik tajam. "Paling tujuh kilo kalau sama notebook," imbuhnya.

Aku tertawa, dia cengengesan tidak jelas. Aku harus rela ditinggal Inas yang buru-buru pulang, aku kembali ke meja kerjaku karena harus tetap stand by dan menunggu panggilan project manager-ku. Ketika sedang menggeliat di tempat duduk, Rio menyambangiku dengan wajah lesu dan mata merah.

"Capek ya, Bro?" tanyaku meledek.

Dia tersenyum singkat, meletakkan cangkir kopi di mejaku.

"Lembur hari ini?"

Rio mengangguk kalem. "Lo juga?"

Aku melirik jam dari tangan Rio, sudah setengah jam lebih aku menunggu. "Enggak. Bentar lagi, nunggu Mas Amran oke aja."

"Gue ngopi lima gelas hari ini."

"Buset!" kataku kaget, aku tak sampai tiga gelas dalam sehari.

"Kayaknya nambah lagi kalau sampai jam dua belas belum selesai juga BRD-nya." Jelasnya dengan cengiran kecil.

Aku memicingkan mata, mengawasinya. "Lo nggak ke Senopati dong kalau lembur terus gini?"

Rio menundukkan badannya, tangannya bertumpu pada lengan kursiku dan ujung mejaku, membuat tubuhku tak bisa kemana-mana dan benar-benar terpojok.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tenang. Duh, mana divisi ini sudah sepi sejak satu jam lalu. "Yo..." ucapku gugup.

Sedetik kemudian senyuman nakal Rio muncul kembali, dia segera menjauhkan tubuhnya, membuatku bisa bernapas dengan lega. Dasar kurang ajar! Rutukku dalam hati.

"Nggak usah ikutan nakal," bisiknya di telinga. Dia berdiri tegak, mengambil gelas kopinya. "Lo nggak ke sana lagi, kan?"

Aku menggeleng cepat. Aku tidak akan pernah ke kelab malam lagi, dan pujaan hatiku saat ini adalah cowok yang anti party!

"Joy!" panggilan itu membuatku tenang, Mas Amran muncul di pintu divisiku. "Sudah nih. Balik." Dia berjalan mendekat sambil menenteng file yang tadi sore kusetorkan padanya. "Belum balik, Yo? Kerja apa ngerjain anak orang?" ledeknya pada Rio.

Aku menerima file dari Mas Amran, segera menarik tas dari meja dan pergi tanpa permisi. Aku tidak suka candaan mereka.









RIO ATAU DEMAS?

Alasan kenapa Demas Slamet mulai baik sama Joy ada di Karyakarsa ya man-teman

Bayar 2 ribu aja buat 1 bab

Thanks 😊

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

431K 60.2K 42
Arsyanendra dan Miwa adalah sepasang sepatu yang pas, dengan perpaduan tali yang sempurna, juga harmonisasi warna yang menyenangkan. Dipertemukan dal...
440K 36K 35
Narendra, N nya itu NEKAT meski ditolak Ara berkali-kali dan kena sembur tiap ngajak deket lagi. Mantan yg tiba-tiba datang saat duo admin lambe tura...
15.9K 1.2K 112
Bermula dari Maudi Betari Putri seorang mahasiswa tingkat akhir yang patah hati karena harus merelakan kekasihnya yang harus di jodohkan demi menerus...
497K 45.1K 49
Chicklit - Office Romance - Anak IT Bekerja di kantor IT tidak hanya membuat fisik Kalangi lelah, tetapi otak dan hatinya pun ikut letih. Dia selalu...