Fortunately

By CaptainBeaver

225K 11.5K 207

Hera merupakan salah satu mahasiswi dari Dosen yang bernama Leo yang memiliki sebuah usaha konseling bahasa... More

LEO [1]
HERA [2]
LEO [3]
HERA [4]
LEO [5]
HERA [6]
LEO [7]
HERA [8]
LEO [9]
HERA [10]
LEO [11]
HERA [12]
LEO [13]
HERA [14]
LEO [15]
HERA [16]
LEO [17]
HERA [18]
LEO [19]
LEO [21]
HERA [22]
LEO [23]
HERA [24]
LEO [25]
HERA [26]
LEO [27]
HERA [28]
LEO [29]
HERA [30]
LEO [31]
HERA [32]
LEO [33]

HERA [20]

5.5K 304 6
By CaptainBeaver

Otaknya sudah geser.

Ya benar, otaknya sudah geser. Eh apa aku yang udah geser otaknya?!

Aku memukul-mukulkan kamus besar bahasa Indonesia ke wajahku. Aku benar-benar berada dalam situasi yang tidak jelas. Kalian pasti tau siapa penyebab semua ini, iya tersangkanya hanya satu!! TUAN ELEOS CARL. Laki-laki yang sungguh tidak jelas. Dulu dia menolak untuk menikahiku, kemudian akhirnya pasrah dan menyerah karena dia terlalu sayang dengan Mamanya. Setelah menikah dia sangat dingin dan tidak peduli. Lalu entah kenapa sekarang dia jadi menggelikan begitu. Tapi lebih mengesalkannya lagi, aku merasa ada kehangatan saat dia sedang berperilaku menggelikan.

Benar kan? Otakku sudah tidak waras, sudah geser, sudah menguap. Hah! Aku kenapa coba?!

"Nte, pain kaya gitu? Tal cakit mukanya..."

Suara gadis kecil membuatku menghentikan kegiatan memukul kamus ke wajahku. Aku membuka mata, terlihat Iza sedang berdiri menatapku heran.

"Nte napa? Kan cakit itu!" Katanya dengan suara agak kencang. Dengan sok-nya dia mengambil kamus milikku dan melemparnya. Kekuatan Iza yang tidak seberapa membuat kamus itu hanya terlempar sejauh lima langkah kakinya sendiri.

"Bun! Bun! Cini Bun!" Lagi-lagi Iza bersuara, kali ini ia memanggil Mbak Isya.

Tak berapa lama Mbak Isya keluar dari dapur sambil menggendong Idzar. "Ada apa anak Bunda yang pinter?" Mbak Isya menurunkan Idzar dari gendongannya, dan ia bertumpu pada lututnya untuk berbicara pada anaknya.

"Ni Bun, Nte Hela pukul-pukul pakai itu." Iza menunjuk kamus milikku.

Mbak Isya menatapku, aku balas menatapnya. "Kenapa kamu Ra?"

"Hah?"

"Ih bengong! Kamu kenapa? Kata Iza kamu pukul-pukul pakai buku?"

"Ah enggak kok Mbak!"

"Terus?"

"Tadi ada nyamuk, jadi aku pukul aja."

"Lah emang ada nyamuk siang-siang gini?"

"Ada! Iya gak Za?"

Iza hanya diam. Dia malah menampakkan wajah heran. Hei! Belajar dari siapa anak itu?

"Ish kamu tuh Ra. Ya udah, Mbak mau bantu Bunda masak lagi. Kamu jaga Iza sama Idzar ya."

"Ah Mbak! Hera mau belajar..."

Mbak Isya menggeleng. "Jangan belajar mulu, nanti kepala kamu meledak. Udah ya, Iza sama Idzar sama Tante Hera dulu. Bunda mau ke belakang. Jangan bandel ya."

Tanpa menunggu pernyataan setuju dariku lagi, Mbak Isya sudah melenggang pergi kembali ke dapur.

"Nte!!" Kini Idzar yang memanggilku.

"Apa?" Tanyaku malas.

"Ijar mau main kuda-kudaan. Nte jadi kudanya ya!"

Oh God....

- - - - - -

 Ponselku berbunyi. Alhamdulillah! Terlepas dari siksaan ini juga!

"Idzar, Iza, udahan dulu ya.... Tante mau angkat telepon."

Dengan perasaan kecewa, kedua bocah ini turun dari punggungku. Aku capek tau gak. Udah sekitar satu jam aku jadi kuda-kudaan mereka. Mbak Isya dan Bunda juga lama amat masaknya, mereka kayaknya memang sengaja mau nyiksa aku deh.

"Ehm... Halo?"

"Halo Ra, Mas mau kasih tau ke kamu, hari ini ternyata pulangnya agak larut."

"Oh, ehm, ya udah gak apa Nanti saya pulang sendiri aja."

"Jangan!! Kalau mau pulang, minta antar Keano. Tapi lebih baik kamu tunggu di rumah Bunda sampai saya jemput."

"Iya deh iya."

"Bagus... Eh ngomong-ngomong kenapa kamu kaya ngos-ngosan gitu?"

"Habis main kuda-kudaan sama Iza, Idzar."

"Wah? Hahaha, ya sudah sana lanjutkan lagi mainnya. Mas mau makan siang dulu ya, kamu jangan sampai telat makan sayang. Bye."

Aku melepas ponselku dan menatap layarnya dengan heran. Ah! Perasaan hangat itu lagi.

- - - - - -

Sekarang aku berada di dalam kamarku dengan Shilla yang duduk di hadapanku. Dia datang di sore hari dan langsung memberondongku dengan pertanyaan seputar kejadian buruk yang menimpaku di depan Bunda dan Mbak Isya. Alhasil sejam yang lalu aku di introgasi oleh kedua wanita itu dan berakhir dengan telinga kiriku yang dijewer ringan oleh Bunda karena aku tidak memberitahukan kejadian itu kepada keluargaku.

"Tapi pas UAS lo udah bisa masuk kan Ra?" Tanya Shilla sambil mengunyah sebuah cupcake yang dibawa Mbak Isya saat datang ke sini.

"Ya bisalah, gue udah sembuh kok Shil." Jawabku sambil ikutan mengambil cupcake berwarna biru.

"Lo kenapa gak nelpon gue sih Ra? Kan gue bisa balik lagi, atau nelpon suami lo gitu."

"Yah gak enak gue ganggu kegiatan kalian berdua, selama gue masih bisa sendiri kenapa enggak kan?"

"Tapi jadinya lo kayak gini kan?"

Aku mengibaskan tanganku. "Ya gak apalah, pengalaman ini namanya."

"Eh iya, si Althaf nanyain lo terus tuh. Katanya dia nelpon lo gak pernah diangkat."

Aku hanya mengangguk. "Gak boleh diangkat sama Pak Leo."

"Ih kenapa?" Aku hanya mengangkat bahu menjawab pertanyaan Shilla. "Wah! Jangan-jangan Pak Leo tau kalau lo selingkuh sama Al ya?!"

Aku meraup wajah Shilla sehingga membuatnya menggerutu sebal. "Seenak jidatmu aja kalau ngomong. Apanya yang selingkuh."

"Abis kan selama ini lo sering jalan sama Al, Ra."

"Mana jalan sih? Ngawur aja lo Shil!"

Shilla hanya nyengir, ia kembali mengambil cupcake, kini cupcake berwarna cokelat.

"Heraaaa. Ada yang datang nih..." Suara Mbak Isya terdengar dari luar kamarku.

"Siapa Mbak?" Teriakku.

"Gak tau, tapi katanya dia teman kuliahmu! Keluar gih! Udah nunggu dia!"

Aku menoleh ke arah Shilla, sedangkan Shilla hanya menatapku dengan bingung. Aku beranjak dari kamarku diikuti oleh Shilla, kami pun keluar dari kamar menuju ke ruang tamu.

"Hai Kak Riana." Seseorang menyapaku. Langkahku dan Shilla terhenti. Terkejut melihat siapa yang sedang berada di dalam ruang tamuku.

Althaf dengan kaos polos berwarna putih dan dilapisi dengan kemeja motif kotak-kotak berwarna cokelat, juga celana jeans hitam dan sepatu boat warna cokelat. Kacamata kotak terletak sangat pas di wajahnya. Kok dia ganteng ya...

"Kok pada bengong sih?" Tanyanya.

Aku dan Shilla tersadar, sebelum kami melanjutkan langkah kami, Shilla sempat menyikut lenganku pelan.

"Hai Thaf." Sapaku. Aku pun duduk, Shilla mengikutiku dan duduk di sebelahku.

"Hai Kak, gimana kabar Kakak? Udah baikan?"

Aku mengangguk. "Lumayan Thaf."

"Kok lo bisa ada di sini sih Al?" Kali ini Shilla bertanya. Bagus Shilla, kamu mewakili pertanyaanku juga.

"Gue tadi ngikutin lo Shil, sorry ya hehe." Jawabnya membuatku cukup terkejut. Bisa dibilang Althaf ini tipe penguntit ya.

"Bukannya lo tau rumah gue ya Thaf?" Tanyaku heran.

"Tau sih, cuma takut salah aja, hehe."

Tiba-tiba ponsel Shilla berdering membuat kami terdiam, Shilla mengangkatnya tanpa menjauh dari ruang tamu.

"Apa Mah? Oh? Sekarang? Ya udah bentar lagi..."

Shilla meletakkan kembali ponsel ke dalam saku celananya, kemudian ia menatapku dan Althaf.

"Sorry ya Ra, Nyokap minta temenin ke salon. Gue balik dulu ya, bye Ra. Jangan macem-macem lo Al sama Hera!" Shilla pun keluar dari rumahku. Sekarang, aku hanya berdua saja dengan Althaf di ruang tamu.

"Eng Kak, gue gak enak deh kalau gini, lo boleh keluar sebentar gak?" Ucap Althaf.

"Boleh kok, gue ganti baju sebentar ya Thaf. Tunggu di sini."

- - - - -

Taman ini terlihat indah, langit sore sebentar lagi akan menampilkan lembayungnya yang pasti sangat indah. Walaupun sudah beranjak malam, beberapa orang masih berada di taman ini. Ada beberapa pasangan-pasangan yang ada di taman ini, juga ada beberapa Ibu beserta anaknya ataupun babysitter dengan para anak majikannya sedang bermain di sebuah arena bermain di dalam taman ini. Althaf mengajakku untuk berkeliling di taman ini. Taman ini tidak jauh dari rumahku, tapi aku baru tau keberadaan taman ini.

"Kak, lo beneran udah baikan?" Tanyanya. Ia menatapku. Tatapannya membuatku agak risih.

"Iya Thaf, beneran."

"Dari kemarin gue khawatir sama lo Kak, gue telpon gak pernah di angkat sih?"

"Gue baru pegang handphone tadi pagi Thaf."

"Kenapa?"

"Pusing kalau kena cahaya dari barang elektronik."

Tentu saja aku bohong.

"Waktu gue nemuin lo lagi dijahatin sama orang, lo bener-bener bikin gue panik dan khawatir. Gue sampe gak bisa ngontrol diri gue sendiri Kak. Mungkin kalau teman-teman gue gak nahan gue, orang yang pertama kali gue tonjok itu udah di dalam kubur kali,"

Aku menyerngit mendengar perkataanya.

"Terus udah dua hari lo gak masuk, dan gue telpon tapi lo gak angkat, gue sms gak dibales, gue sampai bingung lo kemana. Tapi sekarang gue lega karena gue udah bisa ketemu lo."

Aku tidak merespon. Sepertinya aku bisa menduga kemana arah pembicaraan ini, dan sepertinya aku tidak akan suka mendengarnya.

Althaf menarik napasnya dalam, kemudian menghembuskannya. Ia berjalan kehadapanku dan tak bergerak lagi. Aku berhenti, tak mengerti dengan tatapan yang diberikan olehnya. Ia mengangkat tangannya, menggenggam tanganku.

"Ariana, jangan bikin gue khawatir lagi ya? Gue gak mau lo kenapa-napa. Gue gak mau liat lo terluka lagi. Gue sayang banget sama lo."

- - - - -

Haha gak tau ini part ceritain apa, tapi tangan lagi mau ngetik jadi di post sajalah ya:)

Makasih buat yang udah mau baca.

Maaf buat temen-temen yang komen di ceritaku tapi gak aku balas, soalnya kadang suka bingung mau balas apa hehe.

Keep vote and comment ya!

Makasih :)

Continue Reading

You'll Also Like

648K 8.2K 30
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
16 1 1
Sekedar cerita pendek mereka si tampan Jungkook dan si manis Yerim Manis paitnya kisah mereka mungkin masuk kedakam cerita ini Jika kalian penasaran...
80.5K 15.4K 36
Lakshan Janardana? Mas An? Dia sepuluh, tapi takut sama pernikahan, jadi- gitu. Percuman enggak, sih? Melcia Jahanara. *** Cia sembilan. Alasannya? Y...
581K 19.1K 32
Menikah dengan teman masa kecil? Siapa yang tahu jika setelah berpisah selama belasan tahun, Alea dan Agya kembali dipertemukan oleh garis takdir sec...