Fortunately

By CaptainBeaver

225K 11.5K 207

Hera merupakan salah satu mahasiswi dari Dosen yang bernama Leo yang memiliki sebuah usaha konseling bahasa... More

LEO [1]
HERA [2]
LEO [3]
HERA [4]
LEO [5]
HERA [6]
LEO [7]
HERA [8]
LEO [9]
HERA [10]
LEO [11]
HERA [12]
LEO [13]
HERA [14]
HERA [16]
LEO [17]
HERA [18]
LEO [19]
HERA [20]
LEO [21]
HERA [22]
LEO [23]
HERA [24]
LEO [25]
HERA [26]
LEO [27]
HERA [28]
LEO [29]
HERA [30]
LEO [31]
HERA [32]
LEO [33]

LEO [15]

6.7K 352 6
By CaptainBeaver

Ampun! Sudah jam sembilan malam seperti ini dan Hera belum pulang juga? Kemana anak ini? Tidak mengabari Mama bahkan tidak mengabariku. Aku baru saja pulang dan dia membuat aku dimarahi oleh Mama. Mama sangat panik ketika ia tau bahwa Hera tidak bersamaku. Kemana dia pergi?

"Leo kok kamu diam aja sih?!"

"Iya Mah bentar, Leo lagi cari kontak temennya Hera dulu. Mama jangan panik dong."

"Gimana Mama gak panik? Mama baru punya mantu masa udah ilang?!"

Aku pusing, benar-benar pusing.

"Yo cepetan!" Kali ini Mama menggoyang-goyangkan lenganku.

Ah ketemu, nomer Shilla.

"Bentar Ma."

Aku menghubungi kontak Shilla dan ketika nada sambung berbunyi tiga kali, telepon diangkat.

"Halo..."

"Halo selamat malam, ini dengan Ashilla benar?"

"Iya benar. Ini siapa?"

"Saya Leo, suaminya Hera."

"Oh iya Pak, ada apa ya?"

"Hera lagi sama kamu?"

"Ah, enggak Pak."

"Kamu tau Hera di mana?"

"Wah saya kurang tau Pak. Memangnya ada apa?"

"Ini, dia belum pulang ke rumah sampai jam segini. Mama saya khawatir sama dia."

"Oh iya Pak saya lupa. Dia bilang mau pulang ke rumah Bunda."

"Yang benar?"

"Tadi sih dia bilang begitu. Tapi saya kurang tau Pak jadi atau enggak."

"Oh begitu ya, ya sudah terima kasih Shilla atas infonya. Maaf menganggu."

"Iya sama-sama Pak."

Aku menutup telpon.

"Di mana? Hera ada di mana?"

"Di rumah Bunda, Ma."

"Ayo kita ke sana!"

"Ini sudah jam sembilan Ma."

"Kan kita belum tau dia benar ada di sana atau enggak. Mama mau memastikan dengan mata dan kepala Mama sendiri kalau dia ada di sana."

"Gak enak sama Bunda dan Ayah Ma."

"Gak mau, pokoknya ayo sekarang ke sana!"

"Oke, oke, Leo ambil kunci mobil dulu sebentar."

- - - - - - -

"Sudah saya duga, Hera memang lagi kabur. Maafkan atas kekanak-kanakannya anak kami Nat." Om Bima, em maksudku Ayah, berkata dengan rasa penyesalan.

Aku, Mama, Bunda dan Ayah kini sedang duduk di ruang tamu di rumah Ayah. Aku dan Mama memang ke rumah Ayah dan kami mendapati kalau Hera benar ada di rumah.

"Hera lagi ada masalah sama Nak Leo?" Kini Bunda bertanya kepadaku.

Aku berpikir sebentar dan teringat akan sesuatu. "Sepertinya ada yang salah Leo ucapkan Bun."

"Aduh anak itu, masa kesalahan kecil aja dia langsung ngambek." Komentar Bunda.

"Gak apa Dir, namanya juga masih labil. Jadi wajar dia seperti itu." Kata Mama dengan penuh kemakluman.

"Sekarang Hera-nya ada di mana Bun?"

"Ada di kamar, dia kayaknya udah tidur deh."

"Leo lihat dulu ya Bun, setelah itu pamit."

"Loh, menginap saja Yo. Ini sudah malam, nanti kamu kenapa-napa, kasihan juga Mama-mu itu." Kata Ayah menyarankan.

"Iya, menginap aja ya Nat? Masih ada satu kamar juga di sini."

"Ya sudah gak apa. Kamu juga pasti lelah kalau kita pulang lagi." Tutur Mama.

Aku hanya bisa mengangguk dan kembali melanjutkan perjalananku menuju kamar Hera. Anak tangga demi anak tangga kunaiki, kemudian sampailah aku di lantai dua rumah ini.

"Loh ada Mas Leo?"

Aku menoleh ke asal suara dan mendapati Keano yang berdiri dengan mengenakan celana pendek hitam dan oblong putih.

"Iya No, mau liatin Kakak kamu."

"Kak Hera ada di kamar. Daritadi dia di sana. Gak tau udah tidur atau belum, kayaknya dia lagi galau banget deh Mas. Makan aja sampai ga nafsu gitu." Jelas Keano.

"Dia cerita apa ke kamu?"

"Cerita sih enggak, cuma ngomong katanya dia takut sama Mas Leo."

"Hm, takut?"

Keano mengangguk.

"Ya udah No, makasih ya. Mas ke kamar kakakmu ya."

"Iya Mas."

Keano berlalu dan aku kembali berjalan menuju kamar Hera. Sampai di depan kamar Hera, aku meraih gagang pintu dan membukanya. Tidak terkunci. Segera aku masuk ke dalam dan mendapati sosok Hera yang dibalut oleh selimut berwarna kuning. Ia bergerak membuat wajahnya yang semula menghadap ke arahku kini membelakangiku.

Aku berjalan mendekat ke arah tempat tidur, lalu duduk di pinggir kasur. Aku memandang gadis di depanku ini. Apakah ia tidak tahu kalau dia membuatku pusing karena Mama khawatir akan dirinya? Ya aku akui, aku sedikit mengkhawatirkannya karena suka atau tidak suka dia sekarang adalah tanggung jawabku.

"Shilla.... gue harus gimana?"

Ya ampun. Dia sampai mengigau.

"Gue takut kalau pindah rumah Shil... Gue gamau cuma sama dia doang berdua..."

Tunggu dulu.... dia bicara apa?

"Gimana Shil caranya??? Gue gabisa nolak juga karena ini suruhan Mama, tapi gue gamau Shil...."

Ia sepertinya sangat kelelahan sampai mengigau seperti ini.

"Gue gabisa Shil, tinggal sama orang yang gak gue sayang dan juga ga sayang sama gue. Shilla gue harus gimana?"

Aku mendekat ke arahya, melongok ke arahnya. Astaga, apa itu air mata? Ya ampun benar, dia sedang menangis dalam tidurnya. Sepertinya kehidupan Hera setelah menikah denganku menjadi lebih sulit dari sebelumnya. Lebih tepatnya dia tidak bisa sebebas dulu, ya mungkin saja seperti itu.

"Kangen....."

Oh dia bergumam lagi.

"Gue... kangen bahagia Shil..."

Oh... Ini sepertinya serius. Semua ini salahku dan anak ini yang menanggungnya. Aku merasa seperti ibu tiri, ya ibu tiri yang jahat,  ibu tiri yang selalu menyiksa anaknya. Semua kejadian ini karena ulahku. Ya dia begini karena tindakanku yang asal.

"Hiks.... hiks..."

Aku membaringkan tubuhku tepat di sebelahnya. Perlahan aku mendekapnya dari belakang. Menenggelamkan wajahku di atas pundaknya. Mungkin mulai saat ini, aku harus benar-benar bertanggung jawab atas apa yang telah aku perbuat.

- - - - - -

"Selamat pagi Nona Hera."

Usai menunaikan ibadah sholat shubuh, aku segera membangunkan istri labilku yang masih tertidur ini. Sepertinya dia terlalu nyaman tidur dalam pelukanku sampai bisa tidur selama ini.

"Bangun atau saya cium?" Aku mendekat ke arahnya. Menggoyangkan bahunya pelan. Dia belum bangun juga, oh ya ampun. "Hera wake up. Kamu belum sholat!"

Astaga. Dia belum bangun juga. Baiklah, sepertinya dia memintaku untuk melakukan ini di pagi hari.

Cup. Dengan singkat aku mengecup pipinya. Ohoho dia bergerak. Satu, dua, ti.... "Morning darling!" Sapaku langsung ketika ia baru membuka matanya.

"Kyaaaaaaaaaaaa!"

Sebuah bantal tepat mengenai wajahku bersamaan dengan terdengarnya suara jeritan Hera yang sangat heboh.

"Sst... sstt. Ini saya, Leo. Sadar, sadar, saya bukan orang lain." Aku berusaha menenangkannya yang benar-benar sangat heboh ini.

Perlahan ia tenang, tatapan matanya yang semula waspada kini mulai seperti biasa.

"Benar kan ini saya?" tanyaku perlahan.

"Bapak ngapain di kamar saya sepagi ini?!!"

Astaga. Apa dia tidak sadar suaranya akan mengundang orang rumah untuk ke sini?

"Ssst... tenang-tenang. Jangan berisik, nanti Bunda ke sini."

"Jawab pertanyaan saya dulu!" Dia masih saja berbicara dengan volume suara yang sama.

"Hera tenang. Saya tidak akan menjawab kalau kamu seperti ini."

Perlahan ia mulai tenang. Tatapan yang sudah berubah tadi kembali menjadi tatapan waspada.

"Sekarang Bapak boleh jawab!" Ucapnya lugas.

"Oke. Saya di sini sudah dari semalam... dan saya ke sini untuk bertemu orang yang sedang kabur dari rumah."

"Saya gak kabur dari rumah!"

"Kalau begitu, seperti ini disebut apa? Pergi tanpa izin dengan suami. Kamu pikir itu tidak bisa disebut kabur?"

"Saya bukan pulang ke rumah orang lain, tapi saya pulang ke rumah saya sendiri!"

"Kamu istri saya, dan sekarang sudah menjadi tanggung jawab saya. Ini juga rumah orang tua kamu bukan rumah kamu!"

"Kalau Bapak keberatan dengan hal itu silahkan saja akhiri semua ini!"

Aku terdiam mendengar ucapannya. Aku memandang Hera, nafasnya terlihat memburu, dia terlalu emosi dalam mengatakan hal tadi.

"Lebih baik kamu sholat dulu, saya akan tunggu di ruang makan."

Aku beranjak meninggalkan kamar ini dengan pemiliknya yang masih menatapku galak. Salah memang mengajak berbicara orang yang baru saja bangun dari tidurnya dan tidak mengharapkan kehadiranmu di dekatnya.

- - - - - - -

"Jadi coba jujur sama Ayah. Kenapa Hera ke sini tanpa izin dari Leo." Aku, Hera, Bunda, Ayah dan Mama kini duduk berkumpul di ruang keluarga. Usai sarapan tadi kami semua langsung berkumpul di sini atas permintaan Ayah.

"Karena Hera kangen sama Ayah dan Bunda."

"Bukan karena kamu ngambek gak mau pindah rumah sama Leo?"

Hening sejenak karena Hera terlihat terkejut dengan perkataan Ayah.

"Enggak Yah."

"Lalu? Apa alasan yang sebenarnya?"

"Ayah kan Hera udah bilang. Hera ke sini karena kangen sama Ayah dan Bunda."

"Bukan karena ngambek sama Leo?"

Hera kini hanya menggeleng.

"Hera sayang. Coba Hera jujur sama Mama. Kalau Hera memang gamau pindah rumah gak masalah kok." Mama kini mengangkat suaranya guna membujuk gadis ini untuk bicara sejujurnya.

"Jangan seperti itu Natalie. Kamu sudah berbaik hati memberikan rumah itu kepada mereka berdua. Mereka berdua sudah berumah tangga, sudah saatnya kita sebagai orang tua untuk melepas mereka menjadi mandiri," suara Bunda terdengar menolak ucapan Mama. "Hera. Bunda gak mau kamu berprilaku seperti ini. Kamu sudah besar Nak."

Hera menghela napasnya kemudian menghirupnya kembali dengan perlahan.

"Memangnya ada yang bilang aku menolak niat baik Mama? Sekarang terserah kalian berempat mau percaya atau tidak alasan aku datang kemari. Kalian tidak percaya itu hak kalian dan kalau kalian percaya, ya aku berterima kasih," Hera menuturkan kalimatnya tanpa interupsi dari siapapun.

- - - - - - -

"Ah akhirnya sampai juga."

Akibat dari kata tidak keberatan dari Hera tentang kepindahan kami, yang aku yakini dikatakannya dengan terpaksa, membuat kami akhirnya pindah ke rumahku yang dulu. Sekarang mobilku sudah sampai di rumah ini, diikuti dengan mobil Hera yang berada di belakangku. Mobil itu termasuk syarat yang ia pinta langsung kepadaku untuk pindah rumah. Alhasil aku menyuruh supirku untuk untuk turut membawanya ke sini bersama Hera di dalamnya karena ia tidak mau satu mobil denganku.

Aku rindu rumah masa kecilku. Walaupun sudah di renovasi, keadaan rumah ini tetap sama di mataku.

"Ayo masuk ke dalam." Ajakku kepada Hera. Ia menolak ketika aku baru saja akan membawakan koper miliknya.

Sepertinya sekarang dia benar-benar marah kepadaku.

"Pak Leo saya mohon pamit dulu ya Pak." Pamit supirku.

"Uang taksinya sudah ada Pak?"

Ia mengangguk. "Saya permisi Pak Leo."

Aku balas mengangguk dan menunggunya sampai ia mendapatkan taksi. Setelah Pak Reno pergi. Barulah aku berjalan masuk ke dalam rumah.

"Kenapa masih duduk di situ?" tanyaku begitu melihat Hera yang sedang duduk di ruang tamu bersama dengan kopernya. "Kamar kita ada di lantai dua, biar saya bawakan kopernya."

Kembali ia menahanku untuk membawakan koper miliknya.

"Di lantai bawah ada kamar?" Aku hanya bisa mengangguk menjawab pertanyaannya. "Saya akan tidur di situ."

Hera beranjak berdiri dan kembali menyeret kopernya menuju kamar yang aku maksud. Astaga, baru sekali ini aku mengalami penolakan dari seorang gadis. Biasanya selalu aku yang menolak para gadis sehingga aku masih sendiri di usia yang sudah sangat cocok untuk menikah.

Segera aku mengikutinya sampai masuk ke dalam kamar, membuat ia memandangku dengan tatapan terganggunya begitu aku sampai di dalam kamar ini.

"Bapak ngapain ke sini?"

"Kalau kamu mau ini yang jadi kamar kita, tidak masalah."

"Enggak, saya gak mau satu kamar sama Bapak."

"Tapi...."

"Itu syarat kedua dari saya untuk pindah ke rumah ini. Saya tidak mau sekamar sama Bapak."

Oh baiklah. Tampaknya aku harus mengalah kali ini. Percuma saja jika memaksakan kehendak. Gadis ini hanya akan bertambah rasa kesalnya kepadaku jika aku memaksakan.

- - - - - - -

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam dan Hera belum juga keluar kamar sedaritadi. Ia sudah melewatkan makan siang dan kini sudah masuk waktu makan malam.

Ini tidak boleh dibiarkan berlarut. Dia boleh saja marah padaku, tapi ia tidak boleh melewatkan jam makannya.

Aku menghangatkan nasi goreng yang aku pesan tadi di dalam microwave serta menuangkan air putih ke dalam gelas besar. Begitu microwave telah menyelesaikan tugasnya, aku membawa gelas dan pirig itu menuju kamar Hera.

Aku langsung masuk begitu saja ke dalam kamar Hera. Terlihat sosoknya yang sedang duduk membelakangi pintu masuk. Di hadapannya terdapat banyak buku yang bertumpuk. Di telinganya terselip sebuah pensil dan ia mengenakan kacamatanya.

"Aaaah kenapa aku jadi lupa pelajaran semudah ini sih?" Ia merutuk sambil menggaruk tengkuknya.

Kulihat ia kembali sibuk membuka buku-bukunya sambil berdecak.

"Gak pernah dengar ya, kalau perut kosong tidak bisa diajak untuk belajar?"

Suaraku membuat ia menoleh sebentar, kemudian ia kembali sibuk dengan buku-bukunya. Aku hanya bisa tersenyum. Ternyata ia masih berusaha mengacuhkanku.

"Ini makan dulu." Suruhku.

Ia bergeming dan masih sok asyik dengan bukunya.

"Makan sendiri atau saya paksa makanan ini masuk ke mulut kamu."

Ia masih tetap bertahan dengan posisinya.

"Baik kalau itu yang kamu mau."

Aku bersiap mengambil sendok yang ada di piring dan menyendokkan nasi goreng ini. Aku menahan wajah Hera agar ia mau menghadapku dan agar aku bisa membuat sendok ini masuk ke dalam mulutnya.

"Ah iya Pak saya makan sendiri!" Hera menjerit membuatku menghentikan aksiku. Aku memberikan sendok ini dan piring nasi goreng ini agar Hera bisa memakannya sendiri.

Dengan ogah-ogahan ia menerimanya, lalu memakannya dengan perlahan. Sembari aku menunggu, aku melihat-lihat buku yang sedang dikerjakannya tadi.

"Ini sudah selesai."

Aku memandangnya puas. Nasi goreng itu habis dalam waktu lima menit. Terbukti bahwa istriku ini memang kelaparan.

"Sekarang Bapak boleh keluar." Aku bergeming. "Kenapa masih di sini?"

Aku berdeham. "Sebagai suami yang berwibawa, saya tidak akan mau diperlakukan seperti pelayan yang mengantarkan makanan lalu pergi. Lalu sebagai dosen yang profesional saya mempunyai firasat kalau di sini  ada seorang gadis yang butuh bantuan saya. Jadi saya akan tetap ada di sini."

"Saya gak butuh bantuan Bapak."

"Jelas kamu butuh bantuan dari saya."

"Saya bilang saya gak butuh!"

"Mari kita buktikan. Kerjakan soal-soal ini dalam waktu satu jam. Lalu kita akan tau jawabannya setelah itu. Mulai dari sekarang!"

"Ap... ah!"

Walaupun sambil merutuk. Hera tetap mengerjakan apa yang aku perintahkan. Di menit ke dua puluh, aku melihat dia sudah kebingungan dengan soal yang sedang dikerjakannya. Alhasil di menit ke empat puluh aku menghentikannya.

"Kan belum satu jam Pak!" Protesnya tak terima.

"Saya hanya akan membuang-buang waktu jika menunggu sampai dua puluh menit lagi dan kamu tidak akan mengerjakan soal apapun lagi." Aku menarik buku tadi darinya dan melihat hasil kerjanya. Apa-apaan dia? Hanya menjawab empat, tapi setelah kuperiksa hanya betul satu. Keterlaluan.

"Sudah jelas kamu butuh bantuan saya. Soal yang kamu jawab hanya betul satu."

"Saya gak butuh bantuan Bapak!"

"Jangan menyangkal Hera."

"Bisa gak sih Bapak gak usah ikut campur urusan saya?!!"

Aku terdiam, menatapnya tanpa bicara. Suara tinggi seperti itu lagi yang dikeluarkannya.

"Sudah cukup Bapak mengacaukan hidup saya. Sudah cukup Bapak mengacaukan mimpi saya untuk masa depan. Jadi saya minta Bapak jangan mengacaukannya lagi."

"Ra dengar saya,"

"Saya gak mau deng...."

"Jocelyn Hera dengarkan saya!!!"

Ia terdiam karena mendengar suaraku yang naik satu oktaf. Ia hanya menatapku, menunggu aku untuk berbicara.

"Saya minta maaf," mulaiku. "Saya sunguh-sungguh meminta maaf karena telah mengacaukan hidup kamu. Saya minta maaf karena telah merusak impian kamu. Karena ulah saya kamu tidak bisa bebas lagi. Karena ulah saya kamu tidak bisa menikmati masa muda kamu."

"Saya minta maaf atas semua kesalahan saya kepada kamu selama ini. Biarkan saya bertanggung jawab atas kesalahan saya. Biarkan saya ikhlas bertanggung jawab kepada kamu. Biarkan saya membuat kamu bahagia. Saya memang tidak bisa berjanji untuk bisa jatuh cinta sama kamu, saya juga tidak bisa memaksakan kamu untuk jatuh cinta pada saya. Tapi, biarkan semua ini berjalan sebagaimana mestinya. Kalau kebersamaan memang ditakdirkan untuk kita, biarkan waktu yang membiasakan kita. Tapi jika perpisahan yang menjadi takdir kita, biarkan kita berpisah dalam keadaan baik-baik saja."

Hera diam. Benar-benar diam. Wajahnya yang semula menatapku, kini sudah tertunduk. Aku sendiri tidak percaya bisa mengatakan ini semua. Yah tapi, kalau kami.berdua tidak bisa berbicara satu sama lain untuk mengungkapkan semua perasaan kami. Kami hanya akan terus tetap seperti ini.

Aku mengangkat wajahnya perlahan. Membiarkan ia menatap wajahku. Matanya terlihat sendu, sepertinya dia akan menangis.

"Kita berdua harus saling jujur dengan perasaan kita ya? Baik ataupun buruk itu semua harus diungkapkan, yah walaupun sulit tapi harus diusahakan. Kamu tau kan? Kita berdua menikah tanpa cinta? Dan saya tidak mau itu berlangsung seumur hidup saya."

Aku membawanya ke dalam dekapanku. Sedikit menghirup wangi khas yang dimiliki Hera.

"Jadi kita tetap berusaha dan biarkan waktu yang menentukan apakah kita akan terus bersama atau terpisah. Oke istriku?"

- - - - - -

Malam semua :) Terima kasih untuk teman-teman yang sudah setia membaca, memberikan vomment, serta memasukkan cerita ini ke dalam reading list kalian :)

Continue Reading

You'll Also Like

62.7K 3.8K 28
Apa jadinya jika seorang florist cantik yang lugu melakukan kesalahan besar terhadap CEO tampan yang memiliki kekuasaan dimana - mana? Nicholas yang...
4.6K 472 15
Berawal dari kesalahpahaman di sebuah toko DVD, Airin harus berhadapan dengan Boss yang rewel dan sering mengganggunya. William, laki-laki yang bias...
792K 38.2K 45
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
22.6K 3.4K 38
Ketika SMA, Kinanti Sandyakala duduk sebangku dengan Feby Revano, membuat mereka dekat sehingga temannya berpikir mereka berdua berpacaran. Pemahaman...