BAB 53 - Aku Belum Siap

141 7 0
                                    

"Aku tahu aku salah, Diego. Tolong maafkan aku." ulangku sambil berjalan ke arahnya dan melihatnya tetap terdiam menunduk.

"Jangan diami aku seperti ini, Diego. Setidaknya bicaralah dengan diriku. Marahlah, atau bahkan bentak aku. Tapi aku tidak tahan dengan dirimu yang mendiami sedari tadi di mobil." bujukku sambil memegang tangannya. Tiba-tiba saja tanpa berbicara apa-apa, dia memelukku dengan erat sambil berkata, "Aku tidak tahu harus berbicara apa, Sya. Aku marah. Aku kecewa. Aku membenci diriku sendiri. Karena ketidakmampuanku untuk mengelola perusahaanku, kau sampai harus mengorbankan dirimu dan Alex demi diriku."

"Maafkan aku, Sya. Demi diriku, kau mau tak mau harus melakukan itu." imbuh Diego.

"Tidak ada yang salah dalam hal ini. Alex juga tidak menyalahkan kita berdua. Akupun juga tidak menyalahkanmu. Karena semua ini aku lakukan atas dasar kemauanku sendiri. Sekarang yang kita perlukan hanyalah berusaha untuk melupakan segalanya, okay?" ujarku.

"Aku minta maaf telah membentakmu tadi. Aku hanya..." balas Diego yang langsung kupotong dengan mencium bibirnya sekilas.

"Shush..... Aku pantas menerima hal itu, Diego. Sudahlah daripada kita terus mengungkit hal itu, lebih baik sekarang kita istirahat. Aku lelah." ungkapku sambil tersenyum.

"Kamu lelah? Tenang saja, aku punya cara untuk memulihkan tenagamu." pinta Diego.

"Caranya?" tanyaku.

"Mungkin dengan mencium bibirmu." jawabnya sambil mencium bibirku dan membaringkanku di atas tempat tidur kami. "Kau tahu aku sangat beruntung mendapatkan pendamping sepertimu." lanjutnya sambil menatap wajahku.

"Kenapa memangnya?" tanyaku bercanda.

"Bila orang akan meninggalkanku pada saat sulit seperti ini, tetapi kau malah rela untuk bersusah payah membantuku tanpa memperdulikan keselamatanmu." jawabnya.

"Diego, kau terlalu memujiku, okay?" candaku.

"Tentu saja semua pujian yang aku lontarkan pada dirimu tidak sebanding dengan perngorbanan yang kau berikan pada diriku. Kau memberikan uang hasil jerih payahmu selama 4 tahun demi untuk membiayai pengeluaran perusahaanku. Kau juga rela membersihkan rumah ini seorang diri karena aku yang tidak lagi bisa membayar pelayan ataupun pembantu. Kau bahkan mau datang ke rumah William untuk mendapatkan bukti yang bisa membantuku padahal kau sendiri tahu bagaimana kau akan akan diperlakukan disana. Kau tak menghiraukan semua itu hanya untuk menyelamatkan perusahaanku, Sya." sanggah Diego.

"Apa yang menjadi masalahmu, itu juga adalah masalahku. Sama seperti apa yang aku miliki, itu juga adalah milikmu. Aku tidak masalah untuk melakukan pekerjaan rumah untuk saat sekarang karena aku juga tahu Diego ini adalah tugasku sebagai wanita di rumah ini. Banyak juga wanita yang harus bekerja sambil mengerjakan urusan rumah tangga, Diego. Aku hanyalah salah satu dari sekian wanita yang seperti itu."

"Kau selalu berpikir hal ini untuk menyelamatkan perusahaanmu, tapi tanpa kau sadari aku juga melakukan ini demi untuk mendapatkan keadilan bagi Alex. Aku rela berkorban demi anakku yang dulu teraniaya. Dan sebagai bonusnya, aku bisa membantumu menyelamatkan perusahaan. Ini seperti sekali mendayung dua tiga pulau terlampui. Jadi jangan memuji seperti itu, Diego. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan." jelasku.

"Apapun yang kau katakan, tidak akan mengubah pandanganku bahwa kau adalah wanita yang luar biasa yang dikirimkan Tuhan untuk diriku, Sya." pujinya lagi.

"Puji terus, nanti kalau aku benar-benar besar kepala bagaimana?" candaku.

"Daripada besar kepala, lebih baik kau besar di perut saja." ledeknya balik.

"Maksudnya kau ingin aku buncit lemak begitu? Supaya aku tidak menarik lagi dimatamu dan kau bisa mencari wanita lain yang lebih cantik." tanyaku curiga.

"Bukan buncit lemak, Sya. Tapi buntal karena ada bayi didalam perutmu. Agar semua orang tahu bahwa kau adalah milikku." jawabnya santai.

"Kenapa kau ingin sekali aku punya anak lagi, Diego? Pasti ada alasan kenapa kau segitunya mau memberikan adik bagi Alex. Apa karena kau menanti proses pembuatannya? Atau ini pure karena kau ingin memenuhi permintaan Alex?" tanyaku menuduh.

"Sebenarnya dua-dua-sih. Tapi ya pastinya karena aku menyukai proses pembuatannya." gumamnya namun masih cukup keras untuk kudengar.

"Benar-benar kamu ini, Diego! Sudah jadi Papa anak satu tapi masih saja pikirannya mesum begitu!" bentakku sambil memukul-mukul tubuhnya.

"Ya, pastinya punya anak tidak langsung membuatku impoten dan endropause-kan, Sya? Dan sekarang aku sedang bernafsu untuk melakukan itu. Memang benar dikatakan orang, habis marah memang enaknya berhubungan intim dengan istri." ujarnya sambil mencengkram kedua tanganku dikiri dan kanan wajahku.

"Diego! Aku masih bukan istrimu!" gertakku.

"Iya memang belum. Tapi sebentar lagi kamu sah jadi istriku. Maka dari itu, aku boleh-kan mencicipi tubuhmu sekarang? Anggap saja ini sebagai tester sebelum productnya benar-benar aku coba." ledeknya.

"Memang kau pikir aku makanan?!" hardikku marah.

"Kau pastinya adalah makanan bagiku, Sya. Makanan yang hanya boleh dibeli dan dicicipi olehku." candanya.

"Ini sama sekali tidak lucu, Diego!" marahku.

"Tidak lucu bagimu? Tapi aku merasa leluconku ini sangatlah menyenangkan. Apalagi kau sedang berada dibawah kungkunganku. Tidak berdaya dan pasrah terhadap apa yang aku lakukan dengan dirimu." gurau Diego sambil mengarahkan tangannya di seluruh tubuhku.

"Jangan lakukan, Diego! Aku belum siap!" teriakku. 

Bound to ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang