BAB 52 - Guilty

128 4 0
                                    


"Harusnya aku yang berterima kasih, Sya. Kau mau memaafkan kelakuan Mamaku saja aku sudah bersyukur. Anggap saja ini sebagai pemintaan maaf dariku." pintanya.

"Aku akan sangat menghargai kehadiranmu nanti, Will. Sampai berjumpa nanti." sahutku sambil berjalan pergi meninggalkan rumah Will.

Setelah aku berjalan beberapa meter dari rumah William untuk mencari taksi, tiba-tiba aku dikejutkan dengan sebuah mobil Jaguar hitam yang sangat familiar tiba-tiba terhenti di sampingku. Saat aku menoleh kearah mobil itu, aku dikagetkan dengan Diego yang menurunkan jendela mobil dan memanggilku untuk masuk ke dalam mobil.

"Kenapa kau bisa ada disini?" tanyaku tiba-tiba saat aku sudah berada didalam mobil Diego.

"Kau pikir aku bisa tenang membiarkan pacar dan anakku pergi ke rumah keluarga yang dulu menganiaya kalian berdua?" tanyanya sarkas.

"Diego, aku itu hanya pergi ke rumah William bukan sedang pergi untuk masuki goa singa." candaku.

"Aku benar-benar khawatir, Sya. Terlebih kau jarang sekali membalas pesanku. Makanya aku memutuskan langsung kemari untuk menjemputmu pulang." ungkap Diego.

"Lucu sekali kau ini. Bagaimana aku bisa terus membalas pesanmu bila setiap detik setiap menit kau mengirim pesan yang tak ada habis-habisnya." ledekku sambil mencubit pipinya.

"Itu artinya aku khawatir dengan dirimu, Sya. Masa begitu saja kau tidak mengerti?" kesalnya sambil memayunkan bibirnya.

"Sudahlah, Diego. Kekhawatiranmu terlalu berlebihan. Mamanya William tidak mungkin akan membunuh kita berdua, okay? Dan yang terpenting sekarang, aku sudah bersamamu dan aku berhasil mendapatkan bukti yang akan menjatuhkan mereka." balasku.

"Aku tidak butuh bukti itu bila harus membahayakan hidup kalian berdua, Sya." gumamnya yang langsung mendapatkan senyuman dariku.

"Mama, apa pipi Mama sudah tidak sakit lagi?" tanya Alex dengan polosnya. Sebenarnya pipiku terasa agak kebas sekarang, namun pada saat perkelahianku dengan Mamanya William, rasa itu seakan terlupakan begitu saja akibat rasa marah yang membuncah dalam diriku saat mendengar penghinaan Mamanya William.

"Kenapa pipimu, Sya?" tanya Diego yang langsung memegang kedua pipiku memastikan bahwa tidak ada luka atau lebam pada wajahku.

"Mamanya William menamparku dua kali, Diego." jujurku.

"Apa?! Beraninya Nenek Lampir itu menamparmu? Aku saja tidak pernah memukulmu dan dia sudah berani melakukan itu pada dirimu?!" geram Diego.

"Aku tidak apa-apa, Diego. Lagipula sakitnya juga tidak seberapa. Malah aku rela menerima tamparan dirinya berulang kali asalkan sebentar lagi masa kejayaannya juga bakal padam gara-gara bukti yang sudah ada ditanganku ini." sanggahku sambil mengeluarkan recorder berisi percakapanku dengan Mamanya William.

"Baguslah kalau begitu. Jadinya kita tidak perlu lagi berurusan dengan nenek lampir sialan itu." ejek Diego.

"Jangan berbicara seperti itu pada orangtua, Diego." pungkasku.

"Dia itu tidak pantas mendapatkan penghormatan dari kita. Malah harusnya kita caci maki dengan semua umpatan yang ada di bumi ini." kesal Diego.

"Kau ini! Kalau sudah membenci orang, pasti tidak lagi pandang bulu. Semua dihina dengan umpatan." ejekku.

"Biarlah. Memang sepatutnya dia diperlakukan begitu." balas Diego.

"Mama, kita tidak perlu lagi-kan kesana? Alex tidak mau ketemu dengan Mamanya Om William. Dia jahat, Ma. Alex tidak mau dekat-dekat dengan dia lagi." jujur Alex.

"Tentu saja, Alex. Mama janji kita tidak akan kesana lagi. Jadi sekarang lebih baik Alex tidur dan melupakan semua kejadian hari ini. Anggap saja semua ini hanyalah mimpi buruk, okay?" tawarku yang langsung ditanggapi dengan anggukan oleh Alex lalu dirinya sontak menutup matanya untuk tertidur.

"Aku masih marah sama kamu." kata Diego singkat saat setelah Alex tertidur.

"Kenapa kamu marah juga?" tanyaku bingung.

"Kau membawa anak kita dalam bahaya, Sya. Kau juga membiarkan dia mendengar semua pembicaraanmu dengan Nenek lampir itu." jawab Diego.

"AKu tahu, Diego. Aku sudah berusaha untuk mencegah hal itu. Tapi mau bagaimana lagi? Bila aku tidak memanfaatkan momen itu, mungkin sekarang kita tidak bisa mendapatkan bukti konkret yang dapat menjerat Mamanya William." belaku.

"Tapi itu tidak berarti kau harus mengorbankan anak kita juga, Sya!" bentak Diego.

"Diego, aku mohon. Kita bicarakan ini di rumah saja. Aku tidak ingin Alex terbangun dan melihat kita bertengkar." sanggahku menyudahi perdebatan kita yang mulai memanas.

Selang 30 menit akhirnya kamipun sampai di rumah dengan Alex yang sudah tertidur pulas dalam pelukanku, akupun akhirnya bergegas masuk dan menidurkannya di tempat tidur. Aku lalu menganti pakaiannya, menyelimutinya dan mencium keningnya sebelum berjalan keluar untuk menenangkan amarah Diego yang sudah berkobar-kobar.

Aku mengerti ini semua adalah salahku. Akulah yang merencanakan hal ini. Dan rencana yang aku buat tidak sempurna sehingga Alex harus menyaksikan semua pertengkaranku dengan Mamanya William. Aku tahu tidak seharusnya aku menyeret Alex ke dalam masalah ini. Hanya saja aku juga memikirkan, bila aku melewatkan momen berharga ini apa aku bisa menemukan waktu lain untuk bisa memancing pengakuan Mamanya William?

Saat itu adalah saat-saat terbaik dan aku tidak ingin melewatkan begitu saja. Walau sebagian hatiku tidak ingin Alex mendengar ini, tapi sebagian hatiku berusaha menyakinkan untuk melakukannya. Entah apa yang aku lakukan ini salah atau benar, tapi yang jelas tujuan utamaku kesana telah tercapai. Aku telah berhasil mendapatkan bukti itu. Dan aku harus menanggung konsekuensi dari tindakanku ini.

"Aku minta maaf." ujarku gugup saat memasuki kamarku dengan Diego, lalu melihat dirinya duduk disamping tempat tidur dan menghadap kearah jendela membelakangiku.

Bound to ExWhere stories live. Discover now