BAB 6- Siapakah Dia?

816 42 0
                                    


"Pak, untunglah pagi ini, akhirnya anda sudah bisa menerima telepon dari saya." ucap Seung Yeon sambil menghela nafas lega.

"Maaf, telepon saya beberapa hari ini saya matikan demi untuk menghindari gangguan-gangguan yang tidak diinginkan." jawabku datar.

"Tidak masalah, pak. Apa bapak sudah menemukan orang yang bapak cari selama ini?" tanya Seung Yeon.

"Sudah. Memangnya ada masalah apa sampai kau menelpon saya lagi?" tanyaku balik.

"Bukan masalah yang terlalu penting, Mr. Alvito. Hanya saja kemarin saya baru saja menemukan fakta yang mencengangkan mengenai Nona Ulyssa." jawab Seung Yeon.

"Fakta apa?" pekikku bingung.

"Begini Pak. Setelah beberapa hari ini mengikuti Nona Ulyssa, saya bisa menemukan bahwa dia tinggal di salah satu apartemen yang cukup mahal di Korea. Setelah saya selidiki lebih lanjut, ternyata nama pemilik apartemen itu ialah William Theodore, pengusaha sekaligus saingan bisnis anda selama ini. Dan beberapa kali saya juga melihat bahwa Nona Ulyssa menjemput seorang anak laki-laki berumur 7 hingga 8 tahun di sekolahan, Pak." jelasnya.

"Apa? Anak laki-laki?" tanyaku kaget.

Apa benar Ulyssa telah bertunangan dengan William dan telah memiliki seorang anak? Kenapa saat mendengar hal itu, hatiku langsung terasa diliputi oleh rasa marah dan kecewa? Apa ini yang dinamakan sakit tidak berdarah? Rasanya perih seperti tertusuk-tusuk oleh benda tajam tak kasat mata. Mengapa harus dia, Sya? Kenapa kau lebih memilih William daripada diriku? Memangnya sebegitu bencinya kau terhadap diriku sampai kau harus mencari pertolongan pada saingan bisnisku yang selalu ingin menjatuhkanku dengan berbagai cara?

Aku begitu mencintaimu, Sya. Aku telah menunggumu sebegini lamanya. Bahkan saat aku berpikir sudah tidak ada harapan untuk kita berdua, aku masih tetap mengharapkan dirimu untuk kembali. Namun kenapa malah perasaanmu yang begitu mudah berubah? Perasaan yang sedari dulu selalu kuanggap tulus untuk diriku. Wanita yang selalu kupikir takkan mungkin berpaling dariku secepat ini. Berubah pada seseorang yang tidak jauh beda dengan diriku. Sama brengsek-nya dengan diriku yang naif ini.

"Dimana rumahnya sekarang?" tanyaku geram.

"Di alamat XXX." jawab Seung Yeon.

"Terima kasih atas informasinya, Seung Yeon. Kerja bagus." ucapku sambil menutup sambungan teleponnya.

Ingin rasanya aku langsung mendatangi meja Ulyssa yang berada tidak jauh dari ruang kerjaku dan meminta penjelasan darinya. Apa dugaanku terhadapmu itu semuanya benar? Atau ini hanyalah salah paham belaka? "Pantas saja pada saat kemarin aku mengancamnya, dia tidak terlihat takut sama sekali. Tentu saja dia akan bersikap seperti kemarin karena dirinya yang tidak perlu ambil pusing memikirkan biaya hidupnya. Sudah ada William yang telah menjadi penyongkongnya selama ini." batinku mengejek kebodohanku.

Hal itu membuat kemarahanku langsung memuncak naik namun aku juga tidak ingin mengambil langkah yang gegabah dan justru membuat Ulyssa memilih untuk melarikan diri lagi. Rasanya jika aku bisa, aku ingin menghancurkan seluruh kehidupan William sekarang juga. Membuatnya bangkrut hingga menjadi pengemis. Mungkin itu adalah hukuman yang sebanding dengan dirinya yang berusaha untuk menyembunyikan wanitaku.

Sepanjang hari aku tak bisa fokus untuk bekerja. Pikiranku terus saja melayang kemana-mana. Sesekali terbesit dipikiranku untuk melakukan konfrontasi kepada Ulyssa dan bertanya apakah informasi yang aku dapatkan ini akurat? Dengan begitu aku berharap bisa mendengar kata "Tidak" keluar dari mulut indahnya. Lalu aku bisa menyalahkan detektif sewaanku bahwa dirinya telah memberikanku informasi yang salah.

Tapi jauh di dalam relung hatiku, pastinya aku sudah ada perasaan bahwa inilah kenyataan pahit yang harus aku terima. Ulyssa telah menjadi milik William. Dan sebagaimanapun aku berusaha untuk mengubah keadaan, tak bisa aku pungkiri kalau aku sudah kalah telak dengan William. Mereka telah memiliki anak, okay?

Pastinya Ulyssa tidak akan kembali kepada diriku hanya karena perasaan cinta yang bersemu kembali. Terlebih dengan anak itu. Aku-sih tidak masalah menerimanya. Tapi bagaimana dengan kedua orangtuaku? Sudah tentu mereka tidak akan senang saat mengetahui bahwa Ulyssa telah menjadi janda satu anak. Memikirkan hal itu saja sudah mampu untuk membuat kepalaku ingin pecah.

"Permisi, Pak. Maaf menganggu." ujar Ulyssa memecahkan pikiranku.

"Ada apa, Ulyssa?" panggiku.

"Begini, Pak. Apa boleh hari ini saya izin pulang terlebih dahulu?" tanyanya.

"Memangnya ada masalah apa sampai mengharuskanmu untuk pulang lebih awal?" tanyaku.

"Apakah saya harus menjelaskan secara rinci kepada bapak? Masalahnya ini sedikit menyangkut privasi keluarga saya." ujarnya bingung.

"Bila kau tidak menjelaskan alasannya kepada diriku, maka bagaimana caranya aku bisa tahu kalau kau benar-benar serius memiliki masalah atau hanya sedang mencari-cari alasan saja untuk alpa?" tanyaku sinis.

"Saya tidak mungkin membohongi anda hanya untuk mendapatkan hari libur, Pak. Anggota keluarga saya sedang ada yang sakit dan saya harus mengantarkannya ke rumah sakit." jawab Ulyssa kesal.

"Apa tidak ada anggota keluarga yang lain yang bisa mengatarkannya selain kamu?" tanyaku.

"Tidak ada, Pak. Bisakah saya pergi sekarang?" tanyanya malas.

"Iya, iya. Kamu boleh pergi." jawabku datar.

Setelah dirinya terlihat begitu khawatir dan langsung bergegas pergi setelah diriku memberikannya izin, akupun langsung bertanya-tanya siapa yang sedang sakit sampai membuatnya secemas itu. Wiliiam? Kurasa tidak mungkin. Karena baru kemarin aku menerima kabar bahwa dirinya masih sehat walafiat, dan malah masih asyik pergi ke bar untuk bermain dengan wanita-wanita murahan diluaran sana. Terus siapa kira-kira orangnya?

Rasa penasaranku inilah yang akhirnya mendorong untuk ikut mengintai kemana Ulyssa akan pergi? Mengambil coathitam di hook hanger-ku, aku lalu segera mengambil kunci mobil dan memanggil Darren, sopir pribadiku untuk mengantarku. Belum sampai di depan lift, Ji Min yang baru saja ingin menemuiku untuk melaporkan hasil data keuangan perusahaan selama beberapa bulan ini, langsung kaget dan bertanya-tanya kemana akan aku pergi tanpa bantuan dirinya ataupun Ulyssa.

"Kemana kau akan pergi, Diego? Bukankah tadi kau yang memintaku untuk membukukan semua laporan keuangan perusahaan?" tanya Ji Min bingung.

"Nanti saja, Ji Min. Aku ada urusan yang lebih penting." jawabku singkat.

"No, Wait! Beritahu aku kemana akan kau pergi baru tidak akan aku ganggu lagi." hadangnya.

"Minggir, Ji Min. Aku tidak sedang bermain-main disini." kataku malas.

"Tidak sampai kau mengatakan yang sebenarnya, Diego. Kemarin kau bersikap seperti ini dan pada akhirnya kau kecelakaan dan lumpuh. Jadi sekarang, aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi tanpa sepengetahuanku lagi." cegat Ji Min.

"Sudahlah tidak usah pusingkan diriku. Urus saja urusanmu sendiri. Aku sibuk, okay?" tolakku.

"Kenapa kau keras kepala sekali sih? Beritahu aku dulu atau aku tidak akan pernah mengizinkanmu pergi." ancam Ji Min.

"Okay, okay. Aku sedang ingin mengintai Ulyssa. Tadi dia izin pulang karena ada anggota keluarganya yang sedang sakit dan aku ingin mengetahui siapa yang sakit sampai membuatnya sepanik itu saat mendengar berita bahwa orang itu sakit." jawabku pasrah.

"Ulyssa? Untuk apa kau sampai sekhawatir begitu dengan dirinya?" tanya Ji Min bingung.

"Nanti saja aku cerita, okay?" ucapku langsung meninggalkan Ji Min sendiri. 

Bound to ExWhere stories live. Discover now