BAB 10- Knowing

831 40 2
                                    


Diego's POV

Apa maksud dari perkataan anak itu? Papa? Aku? Sejak kapan aku menghamili Ulyssa? Dan kenapa dia tak pernah memberitahukanku tentang kabar ini? Apa memang dia berencana untuk menyembunyikan anak ini dariku? Sampai berapa lama dia akan berencana untuk terus menyimpan rahasia ini? Sampai dia mati? Atau sampai anak ini telah tumbuh besar tanpa mengenal sosok ayahnya.

"Apa ini anakku, Sya?" tanyaku kepada Ulyssa yang sudah mulai menunjukkan raut wajah yang tidak nyaman.

"Bukan, ini anakku dengan pria lain." jawabnya gugup.

"Kalau begitu, kenapa anakmu memanggilku Papa? Apa kau membodohi anak ini dengan mengatakan bahwa aku ayahnya?" tanyaku menuduh.

"Aku tidak pernah membodohi anakku, Diego. Dia hanya rindu dengan ayahnya, makanya dia memanggilmu dengan sebutan "Papa"." jawab Ulyssa.

"Tidak, Ma. Dia benar-benar Papa. Aku melihat foto yang tersimpan di laci samping tempat tidur Mama. Mama dan Papa saling berpelukan layaknya pasangan." tolak anak itu.

Foto? Foto antara diriku dan Ulyssa. Sudah pasti anak ini tidak berbohong. Itu artinya ada kemungkinan bahwa aku memang ayahnya. Itu Ulyssa telah menyembunyikan anak ini selama 8 tahun dariku. Oh My Lord. Aku telah melewatkan begitu banyak momen dengan darah dagingku sendiri. Kata pertamanya, momen dirinya berjalan untuk pertama kalinya, bahkan dia harus tumbuh tanpa sosok ayah.

Apa yang dipikirkan Ulyssa sampai dia rela memisahkan ayah dari anaknya? Apa dia pikir dia bisa memutuskan ikatan batin yang terjalin antara diriku dan anak ini? Dan kenapa dia sampai sejahat itu tidak memberitahukanku keberadaan anak ini? Apa salahku pada dirinya sehingga dirinya bisa mengambil sikap seperti ini?

"Kalau begitu, aku tunggu saja sampai tunanganmu pulang. Sudah pasti kau memberitahu dirinya siapa ayah dari anak ini, kan?" tanyaku sarkas.

"Tidak! Aku tidak mengizinkanmu untuk terus berada disini. Kau dan anak ini sama sekali tidak ada hubungan apa-apa. Kau bukan ayahnya." jawabnya.

"Yakin?" tanyaku sambil mulai mendekati dirinya yang terus berjalan kebelakang.

"Sayang, boleh tidak kasi tahu papa siapa namamu?" tanyaku lembut sambil mengusap-usap kepala anak itu.

"Alexander Bryan Alvito." jawab anak itu polos.

Alvito. Ulyssa memberikan nama belakangku pada anak ini. Jadi sudah pasti anak ini 100% adalah anakku. Fitur-fitur diwajahnya juga sangat mirip dengan diriku yang dulu. Seperti aku melihat diriku pada anak kecil bernama Alex itu. Dan sekarang aku sangat merasa bersalah karena telah menyamakan Ulyssa dengan wanita murahan diluaran sana.

Rasa marahku mendengar dirinya telah bertunangan dengan William langsung membuat semua kata-kata yang terucap dari mulutku terasa sangat pedas hingga sudah pasti sangat menyakiti hati Ulyssa. Hanya saja bila dirinya tadi mengatakan yang sebenarnya, maka aku juga tidak akan berpikir bahwa dia sudah tidur dengan banyak laki-laki hingga tidak tahu siapa ayah dari anak ini.

Aku tidak rela wanita yang selama ini aku cintai ternyata telah berhubungan dengan laki-laki lain. Aku selalu setia kepada dirinya dan aku juga mengharapkan hal yang sama darinya. Tapi aku juga tahu tidak seharusnya aku cepat menilai seseorang. Aku hanya menilai dirinya menurut sudut pandangku dan langsung mencap dirinya sebagai pelacur.

Aku sadar bila aku benar-benar mencintainya, maka aku harus bisa mempercayai dirinya apapun yang orang lain tentang dirinya. Aku harusnya menjadi orang pertama yang yakin bahwa dia bukan orang yang seperti itu. Tapi mungkin cintaku masih belum terlalu kuat untuk tetap tidak goyah saat Ulysanya sendirilah yang mengatakan sesuatu yang memberikanku pengertian yang keliru.

Ini semua masuk akal sekarang. Wiliam yang tidak peduli dengan keselamatan anak ini karena Alex adalah anakku. Sudah pasti saingan bisnis ini ingin anakku mati. Dan pada saat Ulyssa meminta izin untuk pulang, dia benar-benar seperti tidak ingin aku mengetahui alasannya dan berbohong bila anggota keluarganya yang sakit. Tidak mungkin dia dengan santainya mengatakan kepada diriku bahwa anaknya sedang sakit dan butuh pertolongan. Dia saja masih menyembunyikan fakta mengenai anak ini sampai sekarang. Tapi aku ini ayahnya, okay? Aku juga pantas untuk tahu.

"Masih ingin mengelak?" tanyaku sambil menaikkan salah satu alisku.

"Stop! Kita bicarakan ini nanti setelah aku menidurkan Alex di kamarnya. Aku tidak ingin dia mendengar kita bertengkar." ucapnya lalu membawa Alex kedalam salah satu ruangan dekat ruang tamu. Tidak beberapa lama kemudian, dia akhirnya keluar dari kamar setelah menidurkan Alex, lalu berjalan kearahku sambil berkata dan menghela nafas kasar, "Okay, aku mengaku. Ini adalah anakmu. Hasil dari hubungan kita 8 tahun lalu."

Berarti saat itu? Saat itu benihku berhasil tertanam dalam rahim Ulyssa. Saat dirinya memberikan keperawanannya untukku. Kenapa aku bisa sebodoh ini untuk tidak curiga dari awal bahwa anak ini adalah anakku? Malah aku sampai mengira bahwa anak ini adalah anak William. Pemikiran bodoh macam apa itu?

Sudah pasti Ulyssa tidak akan sembarangan memberikan tubuhnya untuk seorang lelaki. Dia saja dulu selalu ingin melakukan itu setelah kita menikah. Makanya pada saat dia mengatakan bahwa dirinya siap untuk melakukan hubungan badan dengan diriku, aku sempat berpikir bahwa dia sedang bercanda dengan diriku. Dan saat itulah kita melakukan untuk pertama kalinya dan terakhir kalinya dengan diriku yang lupa menggunakan pengaman dan akhirnya berjanji akan bertanggungjawab bila Ulyssa hamil.

Bagaimana aku bisa melupakan itu? "Bodoh kau, Diego." rutukku dalam hati. Jadi sekarang aku bagaimana? Aku sudah menghina bahkan merendahkannya. Martabatnya sebagai wanita telah aku injak dan sudah pasti pintu maaf darinya tidak akan lagi terbuka diriku. Rasanya semua ucapan itu ingin sekali aku tarik sekarang juga.

"Kenapa kau tidak memberitahuku tentang ini saat kau bertemu dengan diriku lagi, Sya?" tanyaku. 

Bound to ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang