BAB 38- Tinggal Bersama

206 9 0
                                    

"Papa!" panggil Alex saat dirinya berjalan keluar dari sekolahnya dan melihat diriku dan Ulyssa yang sudah menunggunya dari tadi diluar mobil.

"Anak kesayangan Papa ternyata sudah pulang." ucapku sambil menggendongnya di pangkuanku dan mencium keningnya.

"Alex kangen banget sama Papa. Sudah ada beberapa hari sejak Alex bertemu dengan Papa. Dan Alex punya banyak sekali yang ingin Alex ceritakan pada Papa." ujarnya antusias.

"Benarkah? Kalau begitu bagaimana jika Alex menceritakan pada Papa saat kita di rumah nanti?" tanyaku sambil mengelus-elus kepalanya.

"Di rumah nanti? Berarti kita akan kembali satu rumah lagi?" tanya Alex.

"Tentu saja. Alex dan Mama akan tinggal bersama lagi dengan Papa. Apa Alex senang mendengar berita ini?" tukasku.

"Senang banget, Pa. Alex tidak sabar untuk tidur bertiga lagi dengan Papa dan Mama. Sepi kalau misalnya tidak ada Papa di rumah." ungkap Alex senang.

"Jadi kalau sama Mama, Alex tidak senang gitu?" tanya Ulyssa bercanda.

"Tidak, Ma. Tapi-kan lebih enak kalau sama-sama dengan Papa." jawab Alex.

"Kita lanjutin bicaranya didalam saja, okay? Tidak enak kalau kita terus berbicara disini." pintaku yang langsung mendapat anggukan dari keduanya.

Sesampainya di mobil, aku duduk di ujung paling kanan, sedangkan Alex ditengah dan Ulyssa di ujung paling kiri. Selama diperjalanan, Alex tidak berhenti berbicara tentang kesehariannya selama aku tidak ada. Memang belakangan ini aku jarang mengunjunginya karena masalah pekerjaan yang begitu sibuk. Belum lagi ditambah masalah yang baru-baru ini aku ketahui tentang pengeluaran illegal, itu lantas memperngaruhi waktuku untuk bisa bermain bersama dengan Alex.

Untung saja Ulyssa bisa memberikan pengertian bagi anak kecil itu. Dan Alex-pun syukurlah bukan anak yang suka merengek sehingga semuanya bisa berjalan tanpa kendala. Baik itu urusan pekerjaan maupun urusan rumah tanggaku dengan Ulyssa. Setelah bicara panjang lebar membuat Alex merasa kelelahan dan akhirnya tertidur pulas dalam pelukan Ulyssa. Suasana mobil yang sebelumnya begitu ramai karena suara Alex kini berubah menjadi hening. Hanya ada suara alunan lagu yang terputar pada radio mobil dan satupun dari aku ataupun Ulyssa yang berbicara. Hingga satu pemikiran terbesit dipikiranku yang mendorongku untuk memulai pembicaraan kita.

"Sya, apa yang kau pikirkan tentang pernikahan?" tanyaku tiba-tiba memecahkan keheningan.

"Pernikahan. Aku rasa hal itu ingin sekali realisasikan di hidupku dalam jangka waktu yang dekat ini. Karena umurku juga sudah tak terbilang muda dan aku rasa aku siap untuk membangun bahtera rumah tangga dengan seseorang yang aku rasa cocok." jawabnya.

"Jadi suami seperti apa yang kau inginkan?" tanyaku lagi.

"Sebenarnya saat aku masih SMP dulu, aku pernah membuat draft tentang tipe laki-laki seperti apa yang bakal aku suka. Tapi seiring berjalannya waktu, pandanganku terhadap lelaki juga ikut berubah. Aku rasa untuk sekarang, aku tidak lagi memikirkan tentang tipe yang pas untuk diriku. Karena menurutku hal seperti itu sudah terlalu kekanak-kanakkan untuk dipikirkan oleh seseorang yang sudah ingin ke jenjang yang lebih serius seperti pernikahan."

"Sebab pada kenyataannya, tidak akan ada orang yang bisa memenuhi standar yang telah kau buat. Daripada terus mencari sosok pria sempurna yang tak pernah akan muncul, bukankah lebih baik untuk mencoba menerima kekurangan dari pria yang ada disampingmu sekarang? Maka dari itu, aku cuma ingin bisa menemukan sosok yang bisa membuatku merasa nyaman, bahagia, dan merasa dicintai. Itu-sih yang aku inginkan dari suamiku nanti." pintanya.

"Kau sama sekali tidak memikirkan tentang tampang ataupun perawakan yang sempurna dari pendampingku nanti? Bukan maksudnya aku ingin menyinggung atau apa, hanya saja aku selalu melihat wanita diluaran sana yang selalu berusaha mencari sosok lelaki yang tampan, tidak sakit-sakitan dan pastinya kaya. Jadi aku penasaran saja dengan pendapatmu akan hal itu?" tanyaku penasaran.

"Diego, kalau untuk aku secara pribadi, aku tidak terlalu memusingkan akan hal itu. Lagipula semua yang diinginkan oleh wanita-wanita itu akan juga hilang tergerus oleh waktu. Sebab tampang akan berubah seiring bertambahnya usia, sedangkan sehat atau tidak seseorang semua juga tergantung pada Tuhan, bukan? Bisa saja hari ini dia sehat dan besok dia kritis. Tidak ada yang tahu akan hal itu, okay? Dan untuk kekayaan, menurutku materi bisa kita cari bersama-sama. Lagipula disitulah kesetiaan seorang wanita diuji. Saat suamimu tidak memiliki apa-apa, bisakah kau tetap setia menemaninya melewati masa-masa sulit bersama?" tanyanya yang membuatku terenyuh dan tak bisa berbicara apa-apa.

"Begitupun dengan seorang suami, kesetiaan mereka diuji saat mereka punya segalanya. Bisakah mereka mampu untuk menahan godaan duniawi agar tetap setiap pada istri yang setiap harinya menunggumu untuk pulang dan bisa berkumpul dengan istri dan anak-anakmu? Dan semua itu tidak akan bisa kita lakukan tanpa cinta dan kepercayaan yang kuat, Diego. Cintalah yang menyatukan. Cinta juga yang menghancurkan semuanya. Tapi cinta pula yang memperkuat hubungan yang terjalin antara 2 insan yang berbeda."

"Dari cintalah kita belajar untuk menerima perbedaan yang tercipta diantara kita, Karena cinta juga kita berusaha untuk menepis ego kita demi keharmonisan hubungan. Dan cintalah yang membuat kita akhirnya bisa terus bersama hingga akhir menjemput. Jadi aku rasa aku lebih memilih untuk dicintai oleh lelaki biasa daripada harus mencintai pria sempurna yang mungkin memang sedari awal tak ditakdirkan untuk menjadi milikku." jelasnya yang membuatku semakin mencintai wanita yang ada dihadapanku sekarang.

"Jadi kau ingin dicintai daripada harus mencintai? Aku rasa semua orang seperti itu." kataku.

"Tidak semua orang seperti itu, Diego. Ada orang yang lebih memilih untuk tetap mencintai seseorang yang sudah beristri daripada untuk bersama dengan orang yang begitu jelas mencintainya dengan begitu tulus. Tapi kurasa aku bukanlah tipe wanita yang seperti itu. Mungkin ini terdengar cukup egois namun aku lebih memilih untuk dicintai daripada mencintai.

"Karena mencintai seseorang yang belum tentu mencintaimu juga adalah hal yang paling menyakitkan yang diciptakan Tuhan pada manusia, Diego. Sebab saat kau memutuskan untuk mencintai seseorang, kau hanya disuguhkan oleh 2 pilihan. Antara cinta memberikanmu rasa bahagia atau rasa kepedihan yang membekas di hatimu selamanya. Dan aku rasa aku belum cukup mampu untuk menangani rasa sakit itu." jujurnya.

"Akupun berpikiran hal yang sama denganmu, Sya. Itu bukanlah pemikiran egois. Karena sebenarnya, bila kita melihat dari perspektif yang lain, kita bisa melihat ini adalah bentuk proteksi diri agar kita tidak terluka. Dan aku rasa itu hal yang wajar saja dilakukan." ungkapku.

"Baguslah jika kau berpikir begitu, Diego. Aku takut kau langsung men-capku sebagai wanita egois setelah mendengar ucapanku tadi." jelasnya yang langsung kurespon dengan gelengan kepala dan memeluknya erat sambil berkata, "Tidak usah berpikiran seperti itu, Sya. Lagipula tidak ada jawaban yang salah atau benar dalam pertanyaanku barusan." kataku. 

Bound to ExWhere stories live. Discover now