BAB 36- Yes

234 11 0
                                    


"Apa? Aku tidak salah dengar, kan? Kau benar-benar mau untuk tinggal bersama denganku lagi, bukan?" tanyaku tidak percaya.

"Iya, Diego. Lagipula merawatmu dari jauh adalah hal yang cukup sulit bagiku. 2 bulan ini, aku merasa seperti nyonya yang menyuruh pelayanmu ini itu dengan seenak perutku. Aku rasa pelayanmu sudah muak dengan sikapku yang terlalu bossy. Daripada aku menyuruh mereka untuk mengawasimu, mending aku saja yang melakukannya sendiri. Toh itu memang sudah kewajibanku." jawabnya tanpa ragu.

Kewajibannya? Itu artinya dia juga siap untuk menjadi istriku, bukan? Apa mungkin ini saatnya aku melamarnya? Bukankah itu akan jauh lebih baik daripada kita hidup tanpa status seperti ini? Aku juga takut bila dirinya tiba-tiba direbut oleh lelaki lain. Tapi aku rasa aku bak bergerak terlalu cepat dan aku tidak yakin apakah Ulyssa siap untuk melangkah secepat diriku ini. Baru saja aku mengajaknya untuk tinggal bersama, bukankah itu tindakan gegabah untuk langsung melamarnya? Apakah dirinya sudah ada pikiran untuk menikah? Lagipula umur kita juga sudah tidak muda lagi. Aku 28 tahun dan dirinya 26 tahun.

Umur kita sudah selayaknya siap untuk masuk ke jenjang selanjutnya. Terlebih aku juga siap secara finansial dan mental untuk menjadi seorang suami Ulyssa. Tapi aku tidak begitu yakin dengan Ulyssa. Apa dia secara mental sudah siap untuk menjadi istriku? Rasa-rasanya pertanyaan itu masih menjadi misteri yang masih harus aku pecahkan sebelum aku mengambil sebuah keputusan.

"Diego? Diego! Kenapa kau melamun sampai menatapku seperti itu? Apa ada yang salah dengan mukaku?" tanyanya salah tingkah yang langsung membangunkanku dari lamunanku.

"Tidak ada yang salah dengan wajahmu hari ini, Sya. Hanya saja kau terlalu cantik hingga membuatku susah untuk tidak menatapmu terus." godaku yang langsung membuatnya semakin salah tingkah sambil memukul pundak.

"Jangan mengombaliku terus, nanti bila aku besar kepala dan tidak bisa lewat pintu. Bagaimana?" candanya.

"Setelah ini, bisakah kau menemaniku ke suatu tempat?" tanyanya tiba-tiba.

"Memangnya ada masalah apa?" tanyaku bingung.

"Bukankah mulai dari sekarang aku akan tinggal dengan dirimu? Jadi aku perlu untuk mengambil beberapa barang dari apartemenku sebelum aku benar-benar pindah ke rumahmu." jawabnya.

"Tentu saja. Aku akan meng-cancel jadwal meeting-ku habis ini untuk menemanimu pergi ke apartemenmu." balasku segera sambil meraih Iphone 11-ku di meja untuk menelpon Ji Min.

"Tidak usah terburu-buru begitu, Diego. Kita masih punya banyak waktu. Mending sekarang kau makan dulu dan aku bantu untuk memeriksa berkas-berkas yang ada di mejamu itu. Lalu kau pergi ke meeting-mu dulu sebelum kita pergi ke apartemenku, okay?" tawarnya.

"Tapi..." bantahku.

"Tidak, Diego. Ingat! Kau punya tanggungjawab di perusahaan ini. Sebagai pemimpin, setiap meeting itu sangat berarti untuk kinerja perusahaan kedepannya. Jangan mencampuri urusan pekerjaan dengan urusan pribadi. Kita bisa pergi ke apartemenku saat sebelum kita pergi menjemput Alex. Jadi kau masih bisa mengikuti meeting-mu dulu." putusnya yang membuatku tidak bisa berbuat apa-apa selain mengangguk lalu mengambil sendok di atas meja dan mulai mencicipi masakannya.

Saat gigitan pertama, aku langsung terkesima dengan rasanya. Bagaimana bisa rasa masakannya lebih enak dari semua chef bintang lima yang aku pekerjakan selama ini? Para koki-ku memasakkanku makanan yang begitu tidak enak menggunakan bahan dasar sayur dan buah. Sedangkan Ulyssa, menggunakan bahan dasar yang sama, tetapi cita rasa, jauh beda sekali. Kurasa koki di rumah harus belajar masak dari Ulyssa.

Karena walau Ulyssa tak memiliki gelar masak sama sekali, masakannya sudah sama seperti makanan Michelin yang dijual oleh restaurant bintang lima sehingga nafsu makanku langsung meningkat begitu saja. Hanya dalam hitungan menit, semua masakan Ulyssa ludes masuk ke perutku. Aku selalu dapat menikmati makan siangku dengan hidangan masakan Ulyssa yang berbagai macam.

Bound to ExWhere stories live. Discover now