BAB 46 - Lie

152 4 0
                                    


"Maaf, Will. Tadi aku pergi sebentar karena Alex yang lagi merengek ingin ditemani tidur. Aku dengar apa yang tadi kau bicarakan. Hanya saja aku belum bisa memberikan jawaban apa-apa pada dirimu, Will. Karena sebenarnya aku masih mencintai Diego. Tapi kini aku mulai merindukan semua perlakuan manismu dulu. Bagaimana caramu merawat Alex seperti darah dagingmu sendiri. Kau sama sekali tidak pernah mencurigaiku seperti Diego. Hal itu yang membuatku selalu merasa nyaman disampingku. Kau selalu bisa mengerti dan membuat diriku merasa penting, Will. Sesuatu hal yang tak pernah bisa kudapatkan saat bersama Diego." sanggah Ulyssa.

"Aku harap kau segera menyadari perasaanmu pada diriku, Sya. Aku yakin kok takdir akan mengembalikanmu pada diriku bila kita memang berjodoh. Dan Sya... Bukannya bermaksud apa-apa, tapi aku pikir kita sudah lama tidak bertemu dan aku juga sudah merindukanmu dengan Alex, bagaimana jika nanti kau datang ke rumahku? Lagipula Mamaku sedang berlibur ke Seoul dan dirinya sangat merindukan kehadiran kalian." ajaknya.

"Ide yang bagus, Will. Besok malam aku kesana? Bagaimana?" tanya Ulyssa lagi.

"Boleh. Aku beritahu Mamaku dulu ya." jawabnya.

"Kalau begitu aku tutup dulu ya. Sampai besok." ucapku menutup sambungan telepon.

"Kenapa kau berbicara seolah kau dekat sekali William-sih, Sya? Aku-kan jadi cemburu begini." rengekku.

"Bukan itu maksudku, Diego. Aku hanya berusaha untuk menyakinkannya mengikuti kemauan kita. Apa kau tidak ingin keadilan kita dapatkan untuk Alex? Inilah pengorbanan yang harus kita lakukan, Diego. Dengan kau membiarkan aku berdekatan dengan William. Aku tidak tahu apakah William terlibat hal ini atau tidak, tapi kita juga harus memikirkan perasaan William juga, Diego. Kita akan mempenjarakan anggota keluarganya, okay? Dan tanpa sadar dirinya yang akan menjerumuskan Mamanya sendiri dalam hal itu."

"Apa kau setidaknya punya hati begitu sampai tidak mau setidaknya membuatnya merasa bahagia meski hanya sebentar saja? Anggaplah ini balasan kita pada dirinya. Dirinya bisa bahagia berpikir diriku ingin kembali pada dirinya walau semua itu hanyalah scenario yang menjebak. Dan aku butuh kau untuk berkooperatif. Kau tadi hampir menhancurkan rencana kita, Diego. Bagaimana bila nanti dirinya curiga dan mengetahui rencana kita. Kan bisa jadi ribet urusannya nanti." ungkap Ulyssa.

"Tapi aku-kan pacarmu sebentar lagi jadi suamimu. Kau saja tidak pernah seromantis itu pada diriku. Tetapi kau bisa bersikap seperti itu pada dirinya." kataku cemburu.

"Cemburu-nih namanya." ledek Ulyssa.

"Iya, aku cemburu. Kan cemburu itu pertanda cinta. Masa kau tidak cemburu jika aku menggombali wanita lain selain dirimu? Cemburu-kan. Itu juga yang aku rasakan saat kau bersama dengan William." sanggahku manyun.

"Kedua hal itu sangatlah berbeda, Diego. Kita ini sedang ingin berusaha menyelamatkan perusahaan, apa berkorban sedikit saja kau tidak mau? Setelah ini juga aku sepenuhnya milikmu. Jadi kau bersabarlah sedikit menunggu waktu, okay?" tanyanya.

"Pokoknya, kau tetap harus jadi milikku. Aku tidak peduli bila kita sedang berada dalam misi atau tidak tapi kau juga harus bersikap romantic dengan diriku." rengekku.

"Ya sudah, memangnya kau ingin aku ngapain?" ucap Ulyssa pasrah.

"Kau harus bersikap manja pada diriku, menerima semua perhatianku, dan berkencan dengan diriku setiap hari mulai dari hari ini, besok sampai minggu depan." putusku.

"Iya, iya sayang. Aku turuti kemauanmu. Bagaimana kalau sekarang kita movie date sama-sama? Toh Alex sudah tidur sejak tadi." ajaknya yang langsung kutanggapi dengan antusias.

"Duh, kaya anak-anak banget." sindir Ulyssa.

"Ya sudah kalau gitu tidak usah. Aku juga jadinya tidak mood lagi." kataku kembali merajuk.

"Terus sekarang maunya apa?" tanya Ulyssa bingung.

"Maunya kamu elus-elus sambil peluk." jawabku.

"Memangnya kau bayi? Sudahlah jangan bertingkah seperti anak kecil begitu. Toh sudah mau 30-an juga. Ingat! Kamu telah menjadi ayah dari satu anak. Masa masih bertingkah layaknya bocil. Nanti aku malah dikirain punya 2 bayi lagi." tukas Ulyssa.

"Kalau begitu, kita bisa buat anak lagi saja? Kan aku enak, kamu juga enak. Tidak punya bayi besar yang harus diurus. Malah nanti aku mengurus kalian bertiga. Bagaimana? Terdengar seperti kesepakatan yang bagus, bukan?" tawarku.

"Mesum terus yang ada dipikirannya." ejek Ulyssa sambil memukul kepalaku.

"Sya! Sakit tahu! Kamu ini sudah tidak romantis, sekarang malah jadi pacar yang kasar. Belum juga jadi istri, nanti kalau sudah jadi istri, bisa babak belur aku kamu pukulin." ungkapku.

"Ya sudah kalau tidak mau punya istri seperti ini, nikahin saja wanita lain. AKu bisa saja menikah dengan William jika kau tidak mau sama aku." balas Ulyssa.

"Kenapa jawabnya begitu? Aku-kan kepinginnya kau sayang-sayang. Malah sekarang kau memilih laki-laki lain daripada aku. Jadi sedih ini akunya." kataku.

"Kamu yang sembarangan bicara. Kamu itu masih belum menikah denganku, Diego. Jadi kau tidak berhak untuk meminta hakmu sekarang. Kewajibanmu saja belum katu penuhi, malah sekarang sudah mau minta hak." sanggah Ulyssa.

"Kalau kewajibanku menikahimu, sekarang kita ke KUA-pun aku tidak masalah, Sya. Jadi boleh-kan aku meminta hakku? Toh kamu sendiri menolak lamaranku kemarin." sindirku.

"Masalahnya kau melamarku dengan waktu dan saat yang tidak tepat. Bagaimana caranya aku menerima bila tujuanmu melamarku saja masih belum jelas." tukasnya.

"Iya, kamu menang. Cuma mau minta jatah, malah diomelin begini. Pusing kepala barbie sekarang." kataku.

"Ihh! Kamu cara masalah terus ya sama aku, Diego?!" tanyanya marah.

"Tidak, Sayang. Aku-kan maunya kamu peluk dan cium sampai kita bisa ketahap selanjutnya. Aku tidak sedang cari masalah dengan dirimu." jawabku.

"Malas bicara sama orang yang mesumnya tingkat dewa. Mending sekarang aku tidur saja." katanya.

"Jangan tidur dulu, Sayang. Proses pembuatannya bagaimana?" ledekku.

"Memangnya kau pikir aku pabrik? Sudah tidur sana daripada kamu bicaranya ngelantur terus." jawab Ulyssa.

"Ya sekarang pacarnya sudah tidak direcokin lagi. Sedih jadinya. Sudah dimarahin, sekarang tidak dapat lagi momen romantis dengan pacarnya." gumamku lalu berbaring sambil menghela nafas panjang. Tanpa banyak bicara, aku merasakan tangan Ulyssa yang memelukku sambil mencium kepalaku dengan lembut.

"Sebagaimanapun menjengkelkan dirimu, aku tetap mencintaimu, Diego. Kaulah satu-satunya lelaki yang membuat hari-hariku tidak lagi sekedar berwarna abu-abu. Tapi kau mengisinya dengan tawa, tangis dan amarah. Aku tahu kita tidak sama dengan pasangan yang lain dimana banyak momen romentis yang mereka rangkai bersama, namun ingat selalu bahwa kita telah membuat sesuatu yang lebih berarti daripada hanya sekedar kenangan yang cepat berlalu." kata Ulyssa sambil mencium keningku sesaat.

"Kalau begitu bisa-kan kita menambah bukti cinta kita dengan membuat adik untuk Alex?" tanyaku bercanda.

"Kau benar-benar! Menghancurkan momen kita dengan candaan seperti itu?!" geram Ulyssa.

"Aku serius, Sya. Apa kau siap untuk melakukan hal itu bersamaku lagi? Aku tidak akan memaksamu, tapi bila memang kau bersedia, maka aku ingin merasakan bagaimana momen itu terulang kembali." pintaku serius.

"Maaf Diego. Tapi aku masih belum siap untuk kembali berhubungan intim dengan dirimu." jawab Ulyssa yang sontak membuatku kecewa.

"Aku mengerti. Lebih baik kita tidur sekarang. Good night, Sya. I love you." balasku dengan nada sedih sambil tersenyum dan mencium keningnya sebelum berbalik memunggunginya untuk tidur. 

Bound to ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang