BAB 19- Prove It

360 19 0
                                    

"Kau mengatakan kau mencintaiku tapi dihadapanku kau selalu membawa-bawa nama William dan mengagung-agungkannya layaknya your guardian angel. Apa kau tidak pernah berpikir kalau aku bisa lebih baik daripada dirinya jika saja kau mau memberiku kesempatan untuk membuktikannya selama 8 tahun ini?" ucapku malas sambil memutar mataku.

"Diego, kau tidak perlu waktu 8 tahun itu untuk membuktinya, okay? Kau masih punya berpuluh-puluh tahun yang diberikan Tuhan untuk bisa membalas semua waktu-waktu kita yang hilang itu. Dan kurasa kau tidak perlu untuk membuktikannya karena dalam pikiranku selalu tertanam namamu yang memperlakukan lebih baik daripada semua pria yang diciptakan Tuhan di bumi ini."

"Tapi aku tidak bisa memungkiri kebaikan William, Diego. Dia adalah teman yang selama ini membantuku melewati momen-momen susah selama dirimu taka da disampingku. Dialah orang yang membantuku membiayai kebutuhanku dan Alex pada saat aku tidak mampu untuk bekerja seorang diri, Diego. Bila tidak ada, mungkin Alex sudah tidak ada lagi bersama kita sekarang ini." ungkap Ulyssa berandai-andai.

"Bila saja kau tidak pergi waktu itu, mungkin semuanya akan berbeda, Sya. Kau tidak akan melihat William seperti pribadi yang kau pandang sekarang. Hanya saja sekarang aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena buktinya memang William-lah yang menjagamu dariku dan memastikan kau terlindungi dari bahaya yang aku sebabkan. Karena dalam ingatanmu, aku akan selalu kau sebagai anggap iblis berkulit domba yang selalu menyakiti perasaanmu." kataku dalam hati.

"Kau tidak langsung menilai seseorang hanya berdasarkan pandangan public karena sebagaimanapun manusia, mereka juga pastinya punya hati nurani untuk membantu sesamanya. Mereka tentunya punya sisi lembutnya sendiri-sendiri yang hanya bisa dia tunjukkan pada beberapa orang saja. Sama seperti dirimu."

"Tidak mungkin kau bersikap seperti anak kecil yang merengek pada semua orang-kan. Tentunya hanya pada orang-orang kau percayai dan kau anggap dekat saja. Maka dari itu, don't judge people by their look. Karena penampilan itu bisa menjebak seseorang. Orang yang kau anggap baik secara penampilan belum tentu dalamnya juga sebaik perawakannya. Begitupun sebaliknya." jelas Ulyssa yang membuatku semakin sakit hati.

"Agungkan saja terus dirinya, Sya. Apapun yang aku bicarakan tentang dirinya pastinya akan selalu kau bantah, bukan? Karena kau memang akan selalu menganggap lelaki lain lebih baik daripada diriku." balasku lirih.

"Sebab memang itu kenyataannya, Diego. Kau ingin aku berkata apa tentang William? Bahwa dia adalah orang jahat yang selalu melukaiku? Kau terlalu self-centered, Diego. Kau asyik dengan duniamu sendiri sehingga matamu tidak bisa terbuka untuk orang-orang seperti William. Sebagaimanapun jelek orang memandang William, aku akan selalu menjadi pembelanya nomor satu. Karena aku sendiri yang merasakan kebaikannya. Dan kau tidak bisa berbuat apa-apa selain belajar untuk terbiasa akan hal itu, Diego." geram Ulyssa.

"Ya, aku sadar sekarang, Ulyssa. Dimatamu, kejahatanku akan selalu lebih besar daripada kebaikan yang selama ini aku perbuat pada dirimu. Kasih sayangku yang aku berikan takkan bisa sebanding dengan rasa sakit yang juga aku berikan pada dirimu. Dan kurasa aku takkan bisa menjadi lelaki yang pantas untuk dirimu, seberapa usaha yang aku keluarkan untuk bisa berubah menjadi seorang pribadi yang selama ini kau idam-idamkan sebagai pendamping hidupmu kelak." tukasku sambil menahan rasa sakit yang membuncah dalam diriku.

"Bukan itu maksudku, Diego. Kau bukanlah orang jahat, okay? Aku hanya..." sanggahnya.

"Sudahlah, Sya. Aku mengerti. Aku rasa lebih baik pembicaraan ini kita hentikan saja. Aku rasa setiap kali kita berjumpa sekarang, tidak ada hari dimana kita tidak pernah bertengkar. Aku ingin mencoba kembali bersama dengan dirimu bukan dengan maksud untuk membuat kita setiap bercekcok tentang masa lalu ataupun hal-hal yang menyangkut lelaki dan perempuan lain yang ada dalam hidup kita. Aku hanya ingin untuk memperbaiki kesalahanku dimasa lalu yang dengan bodohnya membiarkanmu lepas begitu saja tanpa berusaha untuk meluruskan kesalahapahaman yang terjadi." potongku.

"Aku juga menginginkan hal itu, Diego. AKu tidak ingin kita terus seperti ini. Aku mau kita bisa memberikan keluarga yang bahagia untuk Alex. Sebuah keluarga yang selama ini belum bisa dia dapatkan. Dan aku juga minta maaf, karena ucapanku seringkali membuatku menjadi berselisih paham dan bertengkar seperti ini." ujarnya.

"It's okay. Aku juga minta maaf karena selalu merusak suasana dan membuat kita terus berkelahi. I just.... Ya sudahlah, tidak usah dibahas. Tidurlah, aku tahu kau pasti masih lemah. Ditambah dengan perdebatan yang aku ciptakan hari ini tanpa memikirkan kondisimu yang masih belum fit."

"I'm sorry, aku bukanlah lelaki yang pengertian. Aku tidak bisa menjadi lelaki yang aku inginkan. I know that I'm not perfect, and no matter how I try, I still cann't be the perfect guy you want. Tetapi satu hal yang harus kau ingat bahwa aku akan selalu mencintaimu, Sya. Dan aku harap kau tahu akan hal itu." kataku sambil membaringkannya kembali dan menyelimutinya. Setelah itu, aku lalu mencium keningnya dan berbalik untuk keluar. Tapi tanganku berhasil ditahan oleh Ulyssa.

"Kemana kau akan pergi, Diego?" tanyanya dengan raut wajah sedih.

"Aku pikir lebih baik untuk membiarkanmu istirahat sendiri, aku akan ke kamar Alex untuk menemaninya belajar dan bermain. Maaf, tapi aku tidak bisa menemanimu sekarang. Sebab aku tidak tahu apa yang aku akan perbuat, jika aku terus melihat wajahmu. So please, just let me go. Aku ingin menenangkan diriku sedikit." jawabku sambil melepaskan gengaman tangannya, memasukkan kembali tangannya di dalam selimut, dan bergerak keluar kamar.

"Apakah kau yakin akan baik-baik saja setelah kau pergi menenangkan dirimu?" tanyanya saat diriku berada di penghujung ruangan.

"Aku tidak bisa bilang bahwa aku akan langsung baik-baik saja, tapi mungkin dengan cara itu, aku nantinya bisa memiliki sedikit muka untuk bisa menatapmu lagi." jawabku sambil lanjut bergerak keluar kamar dan menutup pintu kamarnya, lalu pergi untuk menemani Alex bermain.

Semakin kesini, aku semakin bingung dengan keputusanku ini. Apa keputusan ini sudah tepat? Apakah aku bisa mengembalikan kebahagiaan yang sempat kucuri dari dirinya? Aku menginginkannya, aku juga tidak ingin menjadi penyebab dirinya sedih, tapi disaat yang bersamaan kurasa kebahagiaannya tidak ada di didalam diriku.

Setiap kali aku melihat matanya, mendengar dia berkata-kata tentang diriku, sama sekali tidak kutemukan alasan untuk dirinya terus bertahan dengan diriku. Semua yang dipikirkan tentang diriku membuatku merasa semakin tidak layak untuk dirinya. Apa mungkin melepaskannya akan jauh lebih baik walau nantinya aku sendiri yang terluka? Haruskah aku mengalah sekali ini? Atau haruskah aku menjadi egois terus. Dirinya yang selalu memikirkan diriku. Apa aku juga harus melakukan yang sama untuk dirinya? 

Bound to ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang