161. Menjemput Takdir

Start from the beginning
                                    

Greb

Sumire terperanjat, tubuhnya ditarik paksa masuk ke dalam pelukan Boruto, pria itu benar-benar telah merubah dendamnya menjadi cinta. Mengajarkan kepadanya tentang arti kebersahajaan, bersama Boruto, ia merasa memiliki keluarga.

...

"Kau yakin tak mau ikut ke Tokyo?"

Naruto membuang muka kesal, entah sudah berapa kali sahabat Teme-nya itu mengulang pertanyaan yang sama hari ini. "Kita sudah sama-sama tua Teme, kau tak perlu terus menganggapku seperti anak kecil yang dalam bahaya jika ditinggalkan sendirian di rumah."

"Mintalah pada Kiba untuk menginap di rumah ini saat malam tiba, setidaknya bila kau mati, ada yang akan memberi kabar pada kami, jangan sampai bau bangkaimu menyebar di desa ini." Celetuk Sasuke asal, menutupi ke khawatirannya pada sahabatnya itu.

"Sudah tua tapi terus saja bertengkar..." Sakura menggelengkan kepalanya heran melihat pertengkaran yang selalu terjadi antara dua sahabat ini. "Kita harus segera berangkat Sasuke-kun, Ishihara dan Sarada sudah menunggu kita."

Sasuke menarik nafas pelan, tangannya terangkat dan menyentuh bahu Naruto yang mulai merapuh. "Jangan mati sebelum kami pulang."

"Sial! Kau menyumpahiku!" Tangan berkeriput Naruto menepis pelan tangan Sasuke di bahunya.

...

Senyum tipis terukir di bibir merah kecokelatannya yang mulai mengeriput, ketika kereta yang membawa Sasuke dan Sakura meninggalkan halaman rumah sederhana itu. Ia bersiap untuk berbalik dan masuk ke dalam rumah, angin musim gugur yang begitu menusuk tak lagi mampu di tahan oleh tubuhnya yang sudah termakan usia.

"Naruto-nii..."

Niatan untuk masuk ke dalam rumah ia urungkan ketika suara yang begitu akrab di telinganya menggema. Naruto menoleh, safir birunya mendapati sang adik ipar berdiri di ambang pagar kayu sederhana itu.

...

Suara gemericik teh hijau dari poci yang memenuhi cawan memecah keheningan siang itu, Naruto dan Konohamaru duduk di ruang tamu sederhana kediaman keluarga Namizake itu. "Arigatou..." Ucap Konohamaru sopan usai sang kakak ipar menuangkan teh untuk menjamunya.

"Bagaimana kabar Hitoshi?" Naruto membuka pembicaraan, ia tahu ada niat lain yang ingin disampaikan oleh calon guru besar Shinto Ryu itu, namun suasana yang begitu canggung usai bertahun tak bertemu, membuat Naruto merasa perlu mencairkan suasana agar Konohamaru dengan lancar bisa menyampaikan maksud kedatangannya.

"Hanabi merawatnya dengan baik, menutup semua masa lalunya. Membuat sebuah cerita karangan. Bukankah rantai dendam ini harus diputuskan...? Hitoshi, anak itu sama sekali tak berniat menjadi Samurai Kekaisaran, dia lebih memilih berlatih cara mendidik Samurai muda di Shinto Ryu, seperti Kakashi Sensei, dia ingin mengabdikan hidupnya untuk mendidik generasi samurai baru."

"Yokatta..." Jawab Naruto seraya tersenyum simpul.

"Naruto-nii...., Rantai dendam ini belum sepenuhnya putus." Akhirnya Konohamaru mengawali maksud kedatangannya ke Kawaguchiko.

Alis kuningnya menukik, safir birunya menatap tajam pada sang onix, menuntut sebuah penjelasan.

"Nawaki dan Ishihara sebenarnya melarangku untuk menyampaikan hal ini padamu. Tapi, cepat atau lambat kau harus tahu ini. Karena sekarang puteramu terlibat di dalamnya."

Fox And FlowerWhere stories live. Discover now