Sembilan - Insiden Phobia

3.3K 160 3
                                    

Jangan lupa jejakin!
Happy Reading!

―――――

Justica hanya merengut tatkala kelasnya selesai. Pasalnya, setelah ia ke ruangan Sekala tadi, moodnya yang sebelumnya sudah jelek, semakin jelek. Ia rasanya ingin menenggelamkan dosen resek itu ke rawah-rawah.

"Ngapain Bapak panggil saya ke sini?" tanya Justica langsung.

"Sesuai dengan amanah ayah kamu pada saya. Kamu sekarang dalam aturan saya. Apa pun yang kamu lakukan, wajib melaporkannya pada saya. Saya tidak minta penyanggahan kamu, ini sudah keputusan saya dan ayah kamu. Kalau kamu keberatan, saya akan langsung melaporkan kamu ke ayah kamu, biar ayahmu segera pulang tanpa menyelesaikan pekerjaannya," jelas Sekala membuat mata Justica membelalak.

"Maksud Bapak apa? Oh, jadi Bapak sekarang mau ngatur-ngatur saya?"

"Tak ada yang salah. Semuanya pun masih batas wajar. Ini hanyalah amanah seorang ayah kepada putrinya, dengan saya sebagai perantaranya. Apa kamu mau ayahmu tidak fokus bekerja di sana? Kasus yang dihadapi ayahmu berat, jangan karena kamu, ayahmu jadi tidak fokus. Cukup turuti apa ucapan saya. Lagipula, saya tidak akan aneh-aneh sama kamu," kata Sekala lagi membuat Justica tidak berkutik. Hingga terpaksa ia mengangguk membuat Sekala tersenyum puas. Kena, kan?

Justica tidak mau fokus ayahnya ada padanya di saat kasus yang dihadapi ayahnya begitu berat yang memang membutuhkan perhatian khusus. Kalau saja sidang itu tidak dimenangkan oleh kliennya, maka pamor ayahnya sebagai pengacara terkenal akan menurun.

"Ayo, pulang!"

Justica hanya bisa mengusap-usap jantungnya di saat suara Sekala menyentaknya.

"Nggak usah kagetin, bisa?" decak Justica mengikuti langkah Sekala ke arah parkiran. Ia sudah seperti anak yang mengikuti ayahnya.

"Yang melamun siapa? Salah sendiri."

Ingin sekali Justica melepas sepati konversenya dan langsung menimpuk kepala Sekala dari belakang dengan keras biar dosen resek itu bisa pingsan atau bahkan langsung koma. Hanya saja, Justica pun masih memiliki pikiran yang jernih. Ujung-ujungnya, ia juga yang bakalan terseret kalau hal itu terjadi.

"Mobil saya gimana?"

Sekala menoleh ke belakang. "Nanti sopir saya yang jemput."

"Lagian kenapa harus nganterin saya, sih? Pulang sendiri-sendiri, kan, bisa," kesal Justica.

"Kamu lupa ucapan saya? Atau sudah pikun?"

Bibir Justica mengerucut tanda tak terima. Memang salah satu aturan dari Sekala adalah Justica akan diantar jemput oleh Sekala. Ke mana pun itu selama Sekala bisa.

"Bapak bisa ikutin saya dari belakang gitu," kata Justica lagi mencoba bernegoisasi.

"Saya tidak menerima sanggahan kamu. Cepat masuk!" perintah Sekala. Ia membuka pintu samping kemudi.

Justica sekali lagi menghentakkan kakinya sebelum masuk. Setelah aman, Sekala mengitari mobilnya lalu menyusul Justica.

Selama perjalanan, tak ada percakapan di antara mereka. Ya, bisa dibayangin. Yang satu dingin, yang satu ceplas-ceplos. Pun, Justica lagi sedang dalam mode malas menghadapi Sekala. Untung saja jalanan agak senggang dengan waktu yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Memang perkuliahan Justica sore ini sampai pukul lima. Belum lagi, ia harus menunggu Sekala.

Pak Sekala AstraningratWhere stories live. Discover now