PS - 23

2.6K 147 0
                                    

Jangan lupa berjejak!

Hepi Ridingsss!

***

Justica daritadi tidak berhenti berdecak lantaran telat bangun. Padahal, ia berencana mau menjemput sang ayah di bandara. Setelah menghabiskan delapan jenis film, Justica dan teman-temannya baru bisa tertidur pada jam lima subuh. Serempak, melantai dengan dibatasi guling saja antara laki-laki dan perempuan. Lagian hal ini juga sudah biasa bagi mereka. Intinya bahwa mereka memang hanya tidur normal, tidak melakukan hal-hal aneh yang merugikan.

Kalau saja ponsel Migo daritadi tidak berdering, mungkin kelimanya masih tidur dengan nyaman. Namanya hari Minggu, hari yang tepat untuk bermalas-malasan. Sekarang sudah pukul satu siang. Sahabat-sahabatnya sudah pulang satu jam yang lalu. Sebenarnya, mereka terbangun pada pukul sebelas aslinya. Ya, memang kumpulan kaum pemalas, satu jam terbuang hanya untuk berleha-leha di lantai. Katanya sambil ngumpulin niat buat bangun dari rebahannya.

Setelah Justica sudah merasa rapi, ia segera bergegas menuju garasi mobilnya. Tak membutuhkan waktu yang lama untuk memanasi mobilnya karena ia dikejar waktu. Kedatangan ayahnya di bandara itu sekitar pukul dua belas siang dan sekarang ia baru menuju ke sana. Terkutuklah ia sebagai anak. Semalam ia sudah berjanji pada ayahnya kalau ia sendirilah yang akan menjemput ayahnya di bandara. Dan apa ini? Semoga ayahnya masih bisa bersabar dan menunggunya di bandara. Kapan lagi ia dinyatakan sebagai anak yang berbakti.

Ia sampai di bandara setelah menghabiskan tiga puluh menit di perjalanan. Ia buru-buru memarkir mobilnya dan menuju pintu kedatangan bandara. Sialan! Ia tak bisa melihat ayahnya dalam keadaan ramai manusia seperti ini. Ponsel. Benda itu ia segera rogoh dari saku celananya. Memang terkoneksi, tapi tidak diangkat.

"Apa ayah sudah ke rumah duluan, ya?" tanyanya pada dirinya sendiri. Ia berjalan ke sana-kemari sambil matanya awas ke mana-mana, tapi ia tak menemukan ayahnya juga. Bahkan panggilannya juga tak kunjung diangkat.

Ia akhirnya memutuskan untuk duduk di salah satu kursi yang kosong di sana. Masih dengan ponselnya yang sementara menghubungi kontak ayahnya. Tak lupa berbagai rutukan juga ia peruntukkan pada dirinya sendiri. Kalau saja ia tak menyayangi ponselnya yang berlogo apel itu, sudah dipastikan ponselnya sudah menjadi sasaran amukannya.

Matanya berbinar begitu ponselnya berdering. Pasti ayahnya. Sayangnya pikiran itu harus ia patahkan saat melihat layar ponselnya. Hanya nomor asing yang entah siapa pemiliknya. Justica segera mengangkat panggilan itu.

"Halo! Siapa?" tanya Justica.

(....)

"Ya, benar. Ini saya sendiri."

Setelah menerima panggilan itu, Justica segera berlari ke arah parkiran lalu mengemudikan mobilnya seperti orang kesetanan. Beberapa kali ia diumpati oleh pengemudi lainnya karena jelas Justica udah melanggar lalu lintas. Termasuk lampu merah yang ia terabas begitu saja tanpa orang bersalah, mengakibatkan beberapa kendaraan hampir bertabrakan. Yang menjadi fokusnya sekarang adalah bagaimana ia bisa sampai di rumah sakit dengan cepat. Justica tidak bisa memaafkan dirinya kalau saja sesuatu terjadi pada ayahnya. Bagaimanapun, ini adalah salahnya. Karena kecerobohannya.

Sekuat-kuatnya ia menahan air matanya, tetap saja. Matanya memanas. Emosinya ia salurkan pada setir mobilnya yang sudah ia pegang dengan sangat erat. Untung saja, ia masih bisa selamat sampai di rumah sakit. Namanya diteriaki oleh sekuriti rumah sakit karena asal memarkir mobilnya, tapi Justica tak acuh. Intinya ia harus memastikan kondisi ayahnya lebih dulu.

"Pasien atas nama Yaris Abiyoga di mana? Kecelakaan yang baru-baru ini," ucap Justica di meja resepsionis.

"Masih di UGD, Mbak."

Pak Sekala AstraningratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang