PS - 39

2.5K 144 2
                                    

Jangan lupa berjejak ka-one!
Hepi Ridings!

***

"Kalian pada ngeliatin wajah Bu Widi tadi juga nggak, sih? Pas dia keluar kelas?" tanya Arin. Migo, Natan, dan Justica kembali tertawa saat mengingat kejadian yang sebenarnya tidak lucu itu.

"Eh, iya. Marah tapi keselimutan sama rasa malunya. Gue sebagai cewek, ya, pasti malu, sih," ujar Justica dengan tetap melanjutkan  langkah kakinya. Keempatnya berencana mau ke kafe yang baru saja grand opening kemarin.  Lumayan, setiap menu lagi ada promonya dan dekat dari kampus juga.

"Nggak boleh gitu. Kalian ini gibah terus kerjaannya," kata Natan.

"Nggak boleh gitu, nggak boleh gitu, tapi lu sendiri ketawa, njir." Migo yang kali ini berbicara.

"Sumpah, sih. Lupa ngaca kali, ya, sebelum berangkat ke kampus tadi. Bisa-bisanya pakai baju terbalik. Masih syukur, sih, kalau cuma kelas kita yang diajar. Gimana kalau ada beberapa kelas? Malunya sampai ubun-ubun. Gue sendiri mau negor tadi, cuma, ya, namanya Bu Widi kalau ngajar, pasti tegang banget, gila!" ucap Arin sambil mengikat rambutnya setelah tasnya, ia sodorkan kepada Migo untuk dipegang sebentar.

"Yang jadi masalahnya, tuh, Bu Widi pake baju bergambar. Kan, makin nonjol kalau bajunya terbalik. Coba polosan, nggak keliatan-keliatan amatlah," tambah Migo.

"Perlu diancungi jempol, sih, si kutu buku itu. Siapa namanya? Oli―"

"Oli motor," sahut Arin asal memotong ucapan Justica.

"Oliver, Rin," koreksi Natan.

"Nah, itu. Untung aja dia berani negor Bu Widi. Kacau, sih, semisal Bu Widi sampai rumahnya baru sadar. Gila, gila."

"Bukan itu aja, sih, Ca. Lumayan, kan, kita cepat selesai kelasnya. Kuisnya nggak jadi juga. Untung buat gue yang nggak belajar," lanjut Migo penuh kemenangan. Ya, mahasiswa yang termasuk ke dalam sekte seperti Migo pasti sudah paham, bagaimana merdekanya mereka kalau sudah tidak belajar.

Mereka menyeberangi jalan raya yang menjadi pemisah antara lokasi kampus dan kafe yang mereka tuju. Cuaca sore hari itu memang lumayan panas. Apalagi memang sudah beberapa hari ini  hujan tidak turun, padahal sudah musimnya.

"Untung kita nggak bawa kendaraan, coi! Penuh, nih, depannya. Gila, sih. Gede betul kafe ini," decak Migo saat mereka sudah sampai di kafe yang diberi nama Teras Senja itu. Nama yang aneh, tapi sesuai dengan konsep kafenya yang mengusung tema indie itu. Kalau anak-anak senja, sudah pasti betah nongkrongnya di kafe ini. Apalagi lagu-lagu indie seperti yang dinyanyikan oleh Nadin Amizah langsung menyambut kedatangan Justica dan sahabat-sahabatnya.

"Bakal betah kayaknya kita nongkrong di sini," ucap Justica begitu duduk di kursi kayu yang masih tersisa. Untungnya masih ada meja bundar yang tersisa. Migo dan Natan mengambil tiga kursi lagi dari dalam kafe karena mereka memang memilih duduk di luar kafe. Lebih adem, apalagi banyak pepohonan di sekitarnya.

"Ngungsi, nih, kita dari Kafe Banyu?" tanya Natan.

"Ya, enggaklah. Kafe Banyu, mah, tetap jadi idola. Udah kayak rumah sendiri malah," ucap Arin.

"Bener. Lagian itu tongkrongan pertama kita, lho, pas masih jadi bahan percobaan senior resek." Ketiganya langsung memandang Justica.

Pak Sekala AstraningratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang