Sebuah Prolog - Penghargaan untuk Sebuah Perpisahan

14.2K 378 43
                                    

Jangan lupa vote dan komen!
Happy Readingssss
―――――――――――

Untuk kali pertama, seorang Justica datang lebih awal ke kampus untuk bertemu dengan dosen pembimbing akademiknya. Pakaian yang sangat  identik untuk perempuan itu. Baju kaos oblong dilapisi kemeja kotak-kotak yang berkombinasi warna hijau dan hitam, celana jins putih dengan sobekan di salah satu lingkaran lututnya, serta sepatu favoritnya yang berwarna hitam dengan logo bintang di sampingnya.

Dengan semangat empat lima, ia memasuki ruangan dosen pembimbing akademiknya. Tanpa salam tentunya karena ia sudah mengintip dari luar dan ruangan masih tampak kosong. Wajar saja, sekarang baru pukul tujuh lewat lima belas menit. Sedang janjinya tepat pukul delapan. Dengan penuh percaya diri, ia duduk di kursi dosen yang beroda itu.

"Belum jam delapan," gumamnya setelah melihat jam tangannya.

"Sepertinya gue akan mendapat penghargaan dari Bu Nurmi setelah ini," sambungnya lagi dengan bangga bermonolog. Ada alasan mengapa ia mengatakan hal demikian. Selama ia menjadi mahasiswi yang dibimbing oleh Bu Nurmi, baru kali ini Justica datang sebelum jadwal janjian. Mungkin memang pantas apabila ia mendapatkan suatu penghargaan, walau cuma kata 'wow' mungkin. Itu sudah cukup bagi Justica.

"Masih ada tiga puluh menit, gue tidur dulu, deh." Ia kemudian menelungkupkan kepalanya di atas meja dan matanya perlahan tertutup.

Dua puluh menit berlalu, seorang wanita paruh baya sudah memasuki ruangan miliknya. Ia hanya menggelengkan kepalanya setelah melihat kelakuan mahasiswi ajaibnya. Dua tahun lebih mengajar mahasiswi itu, sudah cukup bagi Bu Nurmi untuk mendalami karakter seorang Justica.

Ia menaruh tasnya lebih dulu di atas meja sebelum tangannya mengelus rambut Justica untuk membangunkan. Meskipun terkesan urakan, Bu Nurmi selalu yakin kalau sebenarnya Justica itu mahasiswi yang baik. Kemampuan otaknya memang pas-pasan saja di kampus. Tidak terlalu pintar, pun sebaliknya. Namun, Justica masih memiliki sisi baik yang lain. Ia sangat suka menolong teman-temannya, bahkan sekalipun itu juniornya juga. Ia tipe mahasiswi yang tidak takut terhadap senioritas yang ditunjukkan oleh beberapa senior yang memang sedikit tak menyukainya.

"Justica ... bangun, Nak!" ucap Bu Nurmi pelan. Tidur Justica perlahan terusik. Ia membuka perlahan matanya dan langsung tersentak duduk.

"Eh, kampret!" umpatnya kaget saat melihat wajah Bu Nurmi yang sangat dekat dengan wajahnya.

Bu Nurmi tak kalah kaget. Ia mengelus-elus dadanya pelan. "Kebiasaan kamu tidak pernah berubah, Justi."

Justicaa hanya meringis setelah kesadarannya terkumpul. "Saya kaget, Bu."

"Lagian kamu, tumben sekali sudah ada di kelas saya. Ada apa gerangan?" tanya Bu Nurmi.

Justica berdiri membiarkan Bu Nurmi duduk di singgah sananya. Ia mengambil tempat duduk, tepat di depan meja Bu Nurmi.

"Saya, tuh, patut dikasih penghargaan, Bu. Berkat sepuluh alarm saya yang memadukan bunyi berjamaah tadi pagi, saya bisa bangun cepat dan berangkat ke kampus dengan cepat juga. Hebat, kan, saya?" ucap Justica menggebu-gebu. Baginya, ini adalah sebuah prestasi yang sangat hebat. Suatu kemajuan pertama dari kebiasaan buruknya yang suka terlambat dan bolos.

"Iya, kamu hebat. Tapi, akan jauh lebih hebat kalau kamu selalu seperti ini ke depannya. Kamu jangan menyia-nyiakan setiap waktu yang ada. Kalau kamu tidak bolos-bolosan lagi, kamu akan wisuda tepat waktu juga. Itu artinya kamu bisa membuktikan kepada semua orang kalau sebenarnya kamu itu bisa lebih dari yang mereka asumsikan terhadap kamu," papar Bu Nurmi dengan serius.

Mendadak raut wajah Justica berubah. Ia sedikit merengut. "Makanya Ibu harus bimbing saya, biar saya bisa tetap semangat kuliah di sini. Dosen yang mengerti saya, kan, cuma Ibu."

Pak Sekala AstraningratDove le storie prendono vita. Scoprilo ora