PS - 41

2.4K 141 2
                                    

Jangan lupa berjejak!
hepi ridings!
Oh, iya, tandai kalau ada typo karena ini saya tulis nggak pake baca ulang sebelum publish!

***

Sekala menatap Justica yang dari tadi hanya sibuk meremas tangannya.

"Harus berapa lama lagi kita menunggu? Kita udah sampai tiga puluh menit yang lalu, tapi belum masuk-masuk juga. Kamu sebenarnya kenapa, Ca?" tanya Sekala greget.

Justica menaikkan pandangannya. Jelas tatapannya penuh keraguan. "Entahlah. Mendadak saya seperti, emh, maksudnya. Gimana kalau kita pulang saja?"

Sekala langsung mengambil sebelah tangan Justica dan mengelusnya lembut, berusaha memberi ketenangan. "Semalam kita udah membicarakan ini, Justica. Kamu tetap bakal kehilangan arah kalau kamu nggak ngadepin ayah. Lagipula, kenapa kamu yang jadi ragu seperti ini? Kalau ditelaah lagi, harusnya kamu yang mendapatkan penjelasan, 'kan?"

Justica mengedarkan pandangannya ke luar mobil. Melepas tangan Sekala, lalu tersenyum masam. "Pasti hasilnya cuma kecanggungan, 'kan?"

"Belum tentu. Kamu aja belum mencoba. Hubungan kamu sama ayah nggak boleh seperti ini, Ca. Kalian itu ayah dan anak. Kalau kamu begini terus, lama-lama kalian menjadi asing. Itu yang kamu mau?"

Justica langsung menggelengkan kepalanya.

"Makanya. Ayo, kaki Mas udah kesemutan kalau berada di dalam mobil lebih lama lagi. Nggak usah ragu, ada Mas."

Sekala keluar dari dalam mobil, mengitarinya, lalu membuka pintu mobil di mana Justica duduk.

"Ayo!" Sekala meraih tangan Justica. Tanpa membuang-buang waktu, Sekala langsung menekan bel pintu. Sudah berapa kali Sekala menekan bel itu, namun pintu tak kunjung terbuka.

"Apa ayah keluar? Tapi biasanya kalau Minggu, ayah hanya akan mengabiskan waktunya di rumah. Apalagi ini juga masih pagi," kata Justica merasa heran, membuat Sekala mengulum senyumnya. Justica masih mengingat kebiasaan ayahnya.

Sekala mendorong pintu itu dan hasilnya pintu itu tidak terkunci.

"Nggak dikunci," ucap Sekala. Ia masuk mendahului Justica. Rumah terlihat kosong. Keduanya celingak-celinguk mencari keberadaan sang ayah, hingga suara gelas terjatuh mengagetkan mereka.
"Dapur!" seru Justica, lalu berlari ke arah dapur.

"Ayah! Ayah kenapa?" tanya Justica panik. Bagaimana tidak panik. Ia mendapati sang ayah sudah terduduk di lantai, bersandar pada lemari es. Bukan hanya itu, sang ayah tengah memegang dadanya seperti orang yang sedang menahan sakit.

"Kamu datang, Nak?" tanya Yaris, mengabaikan pertanyaan Justica.

Justica mengangguk saja.

"Ayah kenapa?" Sekala yang bertanya. Ia membimbing ayah mertuanya itu agar duduk di kursi, sedang Justica sibuk mengisi air hangat ke dalam gelas.

"Nggak papa. Tolong ambilkan inhaler Ayah di depan tivi, Sekala," suruh Yaris yang langsung dituruti.

"Minum dulu, Yah."

Pak Sekala AstraningratWhere stories live. Discover now