PS - 35

2.9K 160 4
                                    

Jangan Lupa Berjejak!

Hepi Ridingssss ....

****

Justica mengernyit bingung begitu ia turun dan tidak mendapati siapa-siapa di lantai bawah. Ia melihat jam dinding. Baru jam delapan. Belum telat, kan, buat bangun pagi pada hari Minggu? Ia kemudian mengecek ke dapur, tapi tak ada siapa-siapa juga di sana.

"Pada ke mana, sih? Pagi-pagi udah ninggalin aja," katanya merengut. Ia kemudian duduk di kursi yang ada di meja makan. Udah ada dua lembar roti panggang beserta selai tersaji di sana. Tak lupa teh susu yang masih hangat. Kalau dilihat-lihat, sarapan itu belum lama ditinggalkan. Tapi ke mana si pembuatnya?

Dengan ogah-ogahan, ia membawa sarapan itu ke ruang TV. Masih mending sarapan sambil nonton TV, timbang berada di meja makan sendirian, merenungi kisah hidupnya yang sudah berubah seratus persen. Sarapannya sudah habis, tapi acara TV begitu membosankan menurutnya.

Ia akhirnya merebahkan dirinya di atas sofa, menatap langit-langit rumah. Pikirannya kembali tertuju pada ayahnya. Sampai detik ini, ia belum memiliki keberanian untuk sekadar menelpon ayahnya. Jangankan itu, untuk menelpon ayahnya saja, ia tidak memiliki nyali yang cukup. Entah berapa lama waktu yang ia butuhkan karena di hati kecilnya pun, ia butuh mendengarkan penjelasan langsung dari sang ayah.

Kepalanya jadi pusing jika memikirkan itu semua. Ia kembali duduk dan menatap keluar rumah. Ada baiknya ia mengademkan diri di taman depan. Misalnya gelantungan kayak monyet di pohon mangga. Baru membuka pintu utama, sebuah mobil sudah masuk ke pekarangan yang ia yakini mobil Sekala. Tak lama, pemilik mobil keluar dengan masih menggunakan pakaian semalam.

"Lho? Udah bangun?" tanya Sekala.

"Bapak ... eh, Mas darimana?" tanya Justica hampir salah panggil.

"Anter mama ke bandara."

"Lha? Kok, nggak ngasih tau saya? Bangunin aja enggak," protes Justica lalu mengikuti suaminya masuk ke rumah.

"Mas itu capek, Ca. Ambilin minum dulu coba," suruh Sekala yang sudah nongkrong di depan TV. Meski sedikit mendumel, Justica tetap saja menurut. Atas perintah mamanya semalam, Sekala benar-benar mengubah panggilan. Baik untuk dirinya, maupun kepada Justica. Begitupun Justica, meski masih menggunakan saya-sayaan.

"Mama ngelarang. Kasian katanya. Mana kamu tidurnya nyenyak gitu," ucap Sekala saat Justica sudah kembali dengan sebotol air minum yang ia ambil dari kulkas.

"Kan, nggak enak jadinya."

"Biasa aja. Kamu udah sarapan?" tanya Sekala.

"Udah tadi."

Sekala mengangguk-angguk. "Mas mau mandi dulu. Kamu ada rencana mau ke mana hari ini?" tanya Sekala. Ia sudah berdiri, hendak menuju kamar mandi.

"Rencana mau ke mal, sih. Besok ulang tahun Arin. Rencana mau nyari kado."

"Ohh ... ya, udah. Mas anterin. Udah ganti perban" tanya Sekala menatap tangan kanan Justica.

"Udah, Mas. Udah sembuh juga aturannya ini."

Sekala hanya tersenyum singkat, lalu berjalan ke kamar.

Sepertinya Justica harus membiasakan diri dengan perubahan total yang ditunjukkan oleh Sekala. Meski rasanya masih aneh. Tapi ia akan mencoba. Seperti yang dikatakan oleh mama mertuanya sebelum mereka tidur semalam. Jangan heran, semalam Justica memang tidur bersama mama mertuanya, bukan sama suaminya.

Katanya, hal terbesar yang perlu dilakukan agar kehidupan tetap berjalan dengan normal adalah dengan menerima dan berusaha ikhlas terhadap apa pun. Dan inilah saatnya Justica melakukan itu. Mungkin pula ini akan berlaku terhadap sikapnya pada ayahnya nanti.

Pak Sekala AstraningratWo Geschichten leben. Entdecke jetzt