PS - 24

2.7K 144 3
                                    

Jangan lupa berjejak!

Hepi Ridingsss ....

****

Ruangan yang bernuansa putih itu sangat sepi. Kecuali suara monitor yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi. Ayah Justica sudah dipindahkan ke ruangan perawatan kelas satu rumah sakit ini satu jam yang lalu. Namun, beliau belum juga sadar. Mungkin karena pengaruh obat. Justica dengan begitu sabar menunggu di ruangan itu. Tangannya daritadi menggenggam bagian tangan ayahnya yang tidak dipasangi gips. Jika kamu mencari Sekala, maka jawabannya adalah si bapak itu sedang pergi ke kantin. Mungkin dia lagi kemasukan hati malaikat.

Justica menegakkan tubuhnya kembali saat meyadari pergerakan kecil dari jari-jari ayahnya yang ia genggam.

"Yah ... Ica di sini, Yah."

Kedua mata ayahnya perlahan terbuka. Justica senang tentu saja. Sampai salah satu matanya kembali menjatuhkan tetesannya.

"Ca ...."

"Iya, Yah. Anak Ayah di sini." Justica langsung menempelkan tangan ayahnya pada pipinya.

Walaupun muka Yaris begitu pucat, tapi itu tak bisa menghalau senyuman tipis yang ia berikan pada anak semata wayangnya. Semata-mata untuk memberikan ketenangan pada anaknya yang sudah ia pastikan sedari tadi menangis karena dirinya. Terlihat dari matanya yang sudah bengkak sekali.

"Kenapa nangis, Nak? Ayah baik-baik saja," ucap Yaris.

Justica langsung memeluk ayahnya erat, tapi tak sampai menyentuh bagian luka ayahnya. Ia kembali mengeluarkan kesedihannya di dada ayahnya. Satu-satunya dada yang selalu memberikan ketenangan selama ini. Dada yang tak pernah memberikannya rasa takut. Terkecuali hari ini. Dada itu menyinggahkan rasa takut pada diri Justica sendiri.

"Ini semua salah Ica, Yah. Maafin Ica karena telat."

Sungguh! Ica masih merasa kalau ini semua salahnya. Baru kali ini ia benar-benar tidak becus menjadi seorang anak. Yaris tersenyum tipis saat mendengar perkataan anaknya. Tadi ia memang sempat menunggu Justica. Tapi mengingat Justica pasti masih tertidur, mengingat ini hari Minggu, maka ia memutuskan untuk memesan taksi saja. Sehebat-hebatnya ia dalam dunia kerja, ia tidak pernah memperkerjakan supir pribadi. Semasih ia bisa melakukannya sendiri. Prinsip Yaris dari dulu.

"Ica nggak capek nangis terus? Tuh, mata Ica sudah jelek. Kayak mata kerbau," gurau Yaris yang malah membuat Justica mengeraskan suara tangisannya. Mirip seperti anak kecil yang meraung-raung.

"Cengeng anak Ayah, Ayah sedih kalau Ica nangis, Kalau sedih, sembuhnya jadi lama, Nak."

Ajaib. Justica langsung menghentikan tangisannya. Ia kemudian melepas pelukannya kemudian menatap ayahnya dengan tatapan rasa bersalah yang mendalam.

"Maafin Ica dulu," rengek Justica. Ini benar-benar obat yang paling manjur untuk seorang Yaris, saat melihat anaknya seperti ini.

"Ayah nggak mau maafin Ica. Dimaafin kalau ada salahnya aja. Ica, kan, nggak ada salah."

"Tapi Ayah gini karena Ica telat jemput Ayah. Kalau saja Ica tepat waktu, Ayah nggak mungkin terbaring di tempat ini dalam kondisi seperti ini," ucap Justica sendu.

"Dengar Ayah, Nak. Semua sudah ada jalannya masing-masing. Takdir itu tidak bisa dihindari. Mungkin Tuhan memang pengen Ayah istirahat dulu dari kerjaan," ucap Yaris yang memang tak menganggap kalau ini kesalahan Justica. "Tangan Ayah, kok, besar sebelah, ya, Nak? Apa Ayah bakal berubah jadi monster?"

"Kata dokter, patah, Yah. Tapi masih bisa sembuh, kok. Ica bakal bantuin Ayah sampai sembuh."

"Ohhh ... patah doang. Kirain tangan Ayah bakal diamputasi."

Pak Sekala AstraningratWhere stories live. Discover now