PS - 21

2.8K 155 7
                                    

Jangan lupa berjejak!

Hepi Ridingsss ....

***

Justica mulai berprasangka buruk terhadap Sekala begitu mobil yang mereka kendarai sudah terparkir rapi di sebuah basement sebuah hotel. Jelas pikiran itu melintas begitu saja di pikirannya yang masih tergolong otak normal. Malam-malam ke hotel? Jalan-jalan sejenis apa itu? Apakah sejenis orang dewasa?

"Kamu mau turun apa mau di sini terus?"

Lamunan Justica buyar saat Sekala menyentaknya. Laki-laki itu sudah lebih dulu keluar dari dalam mobil.

"Ini ngapain ke hotel? Bapak mau macam-macam sama saya, ya? Bapak lupa kalau saya jago bela diri, huh?"

Sekala malah ikut heran mendengarkan ocehan anak itu. "Macam-macam gimana? Katamu saya cuma satu macam. Cepat keluar atau jam bookingannya hangus begitu aja."

Namun Justica juga tak mengurungkan niatnya untuk tidak keluar dari mobil. Lagian basement ini terlihat angker malam-malam seperti ini walaupun gedung hotelnya menjulang tinggi.

"Tuh, kan, booking. Booking apaan, Bapak ini?"

Sekala karena kesal, ia berjalan duluan meninggalkan Justica. Justica merengut, namun ia tetap mengikuti langkah Sekala. Jantung Justica berdisko ria begitu keduanya memasuki lift. Bukan karena apa, tapi antara takut dan penasaran. Jangan-jangan Sekala memang berniat buruk padanya.

Sekala keluar dari lift begitu sudah sampai di lantai bernomor 51 itu. Anehnya, ini bukan jejeran kamar hotel tapi malah restoran. Justica sebenarnya jarang sekali bepergian ke hotel. Ini sedikit asing menurutnya. Biasanya restoran terletak di lantai paling bawah, atau berada di rooftop sebuah bangunan. Ini malah berada di tengah-tengah bangunan. Setahu Justica, ini salah satu hotel tertinggi di Indonesia. Setahunya, ya. Siapa tahu masih ada yang lain.

"Kamu kenapa mengekor? Di sini di samping saya," ucap Sekala menarik tangan Justica yang daritadi berada di belakangnya.

"Ya, habisnya kenapa ke tempat kayak gini, sih? Mana ini kumpulan-kumpulan orang kaya," ucap Justica menatap sekitar. Restorannya ramai. Walaupun pengunjungnya dominan memakai pakaian kasual, tapi kalau dibandingkan dengan pakaian Justica saat ini, rasanya sangat jauh berbeda. Sepertinya ucapan Sekala tadi patut ia benarkan. Justica cocoknya ikut tawuran saja.

"Memangnya kamu bukan orang kaya?" tanya Sekala pelan. Matanya mengitari sekitar, mencari nomor meja yang sudah ia reservasi.

"Tapi ini tetap aja beda jauh," ucap Justica merengut. Ia hanya pasrah mengikuti kaki jenjang Sekala karena tangannya yang masih digenggam.

"Daritadi itu kamu cuma ngoceh nggak jelas. Nggak capek? Sampai mikir macam-macam pula tentang saya." Sekala menarik kursi untuk Justica duduki. Manis sekali. Meja mereka tepat berada di dekat jendela gedung pencakar langit tersebut. Dari posisi ini, mereka berdua bisa melihat dengan jelas suasana ibukota pada malam hari. Seperti langit malam yang bertaburan dengan banyak bintang.

"Gimana nggak berpikiran aneh-aneh. Bapak, kan, bilangnya jalan-jalan. Ya, saya pikirnya bakal ke mal, atau enggak ke pasar malam. Lha ini malah kesasar ke hotel."

"Saya masih waras, Justica. Di sini, saya cuma mau ngajak kamu makan malam. Bukan ngajak aneh-aneh."

Dua orang pelayan mendatangi meja mereka. Lengkap dengan makanan dan minuman yang dibawa dengan menggunakan nampan. Dari tampilan makanan itu, Justica tak mengenalnya sama sekali. Memang benar kata Justica, hotel ini cuma untuk orang kaya. Ya, walaupun secara materi, Justica tergolong orang itu. Tapi kalau dari segi makanan, Justica tergolong kaum proletar. Sate usus, gado-gado, dan martabak telur kesukaannya bakal menangis melihat makanan seperti ini.

Pak Sekala AstraningratWhere stories live. Discover now