Eps.26 - He Is Shoot Me Now

936 150 277
                                    

Pagi menyapa, fajar menyingsing dari langit timur. Warna oranye tampak memesona dipandang mata.

Sudah menjadi ciri khas Negara Indonesia yang memiliki dua musim. Musim hujan dan musim panas atau kemarau. Dan saat ini musim panas sedang berada di puncaknya.

Sepagi ini setelah subuh, aku sudah bersiap untuk lari pagi mengitari kompleks perumahan atau kalau sempat bisa sampai ke taman kota yang memang selalu ramai di Minggu pagi.

Aku mengucir rambutku menjadi satu bagian di belakang, lalu mengenakan topi warna abu-abu—perlu dicatat ini bukan topi sekolah—untuk melengkapi penampilanku. Sebelum keluar dari kamar, aku sempat menatap hoodie cokelat kebesaran milik Ravenza yang tergantung di handel lemariku. Perkataan Orion selalu terlintas di benakku sampai sekarang. Tentang penampilanku yang lucu saat mengenakan hoodie tersebut. Tanpa sadar, aku jadi senyum-senyum sendiri.

Sepertinya aku sudah mulai ge-er tingkat dewa. Tidak, lupakan saja! Aku segera menggeleng kuat-kuat sebelum keluar kamar menuju lantai bawah. Siap dengan aktivitas Minggu pagiku.

Suasana masih cukup lengang dan lampu ruang televisi masih menyala. Ravenza tentu saja belum bangun dari tidurnya, Mama biasanya sedang mempersiapkan bahan-bahan untuk masak, sementara pintu depan terbuka lebar menandakan Papa sedang melakukan aktivitas mingguan yang rutin dikerjakan.

Embusan angin pagi yang terasa sejuk sayup-sayup menerpa wajah. Aku melangkah santai ke luar rumah dan mendapati Papa sedang menyiram berbagai tanaman di halaman pekarangan.

"Pagi, Papa!" Aku berjalan mendekat ke arahnya.

Papa melirik sekilas, tak menjawab sapaanku. Dia tetap fokus menyiram tanaman di hadapannya.

"Walaah ... primen kiye? Wis ora tau udan. Tanaman-tanaman dedi akeh sing layu," kata Papa dengan logat jawanya. Papaku memang asli keturunan Jawa yang terkadang membuat nada bicaranya begitu khas dari daerahnya.

Aku mengembuskan napas. "Papa mah selalu ngeluh. Kemarin pas hujan apa? Papa pusing kan gara-gara banjir? Terus bilang, 'kapan berhenti hujan? Rumah kebanjiran mulu'." Aku menirukan intonasi ucapan Papa.

"Kamu ini, nggak tahu saja," sahut Papa tanpa melihat ke arahku. Keningku jadi terlipat drastis. Aku tidak tahu apa?

Pusing menghadapi Papa yang tidak jelas maunya, aku lekas mengambil langkah seribu menuju pintu gerbang. Sengaja tak mengindahkan seruan Papa yang memanggil-manggil namaku.

"Mau ke mana kamu pagi-pagi gini?"

Telingaku masih mendengar suara khas Papa. Astaga, Papa pikir ke mana lagi Minggu pagi pakai pakaian olahraga selain joging? Ke salon? Itu tidak mungkin. Aku saja tidak pernah kepikiran untuk ke tempat tersebut—kecuali potong rambut—meski teman-temanku kadang memaksaku untuk ke sana. Ya Tuhan, sekarang aku jadi menyesal selalu mengabaikan saran temanku untuk sesekali mengganti gaya rambutku. Seperti di reboonding, misalnya? Oke baiklah, saat-saat sedang dekat dengan cowok tampan seperti sekarang, rasanya kadar kepercayaan diriku harus meningkat, dan itu harus dimulai dari penampilan yang baik di mata cowok tersebut. Ah, tapi Orion selama bersamaku tak pernah sedikit pun mengomentari penampilanku, jadi aku harus biasa-biasa saja dan kembali menjadi diriku yang seutuhnya.

Tanpa terasa kakiku telah melangkah jauh meninggalkan kompleks perumahan. Dan setelah beberapa lama, aku memutuskan untuk melanjutkan lari pagiku menuju ke Taman Kota sembari mencari minuman. Saat perjalanan menuju ke tempat yang kumaksud, dari arah belakangku seperti ada seseorang yang mengikuti pergerakan lariku. Oke, aku tahu dari tadi banyak yang melakukan aktivitas yang sama pula denganku. Tapi ini rasanya beda, orang itu seolah-olah sedang menguntitku. Aku tak segan-segan meningkatkan rasa waspada, takut jika orang yang memakai pakaian serba hitam plus masker dengan warna senada itu adalah penculik bayaran. Astaga, apa aku sudah terlalu over thinking?

Be My Miracle Love [End] ✔Where stories live. Discover now