Eps.24 - Hangout

983 159 396
                                    

Di antara aku, Decha, Vinny dan Erin, tidak ada yang memiliki kendaraan pribadi seperti motor ataupun mobil. Jangankan punya, menyetir saja kami masih belum bisa. Ya, selama kami masih belum memiliki Surat Ijin Mengemudi, kami dilarang oleh orangtua masing-masing untuk memiliki dan mengendarainya ke sekolah maupun ke tempat-tempat lain. Tak bisa dipungkiri, hal itulah kadang membuat kami dicap sebagai anak-anak manja dan tidak gaul. Pasalnya, di era milenial seperti sekarang ini, hampir semua manusia berbagai usia sudah memiliki minimal motor untuk keperluan mereka sehari-hari.

Dan di saat-saat kami akan hangout bareng, kami selalu mengandalkan jasa ojek online maupun taksi online. Seperti malam ini tentu saja. Malam cerah yang dipenuhi berjuta planet bersinar yang disebut bintang. Membuat cahayanya terang dalam kegelapan, seolah menyempurnakan orang-orang yang hendak bermalam mingguan.

Seperti biasa, aku turun dari boncengan motor Mbak Jenny yang sudah menjadi ojek langgananku. Sky Kafe tampak ramai oleh pengunjung yang pastinya kebanyakan adalah para muda-mudi yang sedang menghabiskan waktu.

"Ngomong-ngomong, Mbak Ayya mau kencan ya sama pacar barunya?" Percakapan basa-basi sebelum kami berpisah terlontar dari mulut Mbak Jenny.

Mendengar kata 'kencan', mendadak mengingatkanku akan cinta yang tertolak. Tapi sudahlah, aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak patah hati terlalu dalam.

Aku mengulas senyum sebelum menjawab, "Enggak kok, Mbak. Aku mau hangout aja sama temen-temen."

Mbak Jenny mengerutkan kening. Selanjutnya, dia mengembangkan senyum samar. "Menghabiskan waktu bareng teman-teman emang lebih asik, Mbak."

"Ya," balasku singkat. Lalu mengambil dompet untuk membayar biaya ojek ke Mbak Jenny.

"Ya sudah deh, have fun."

Aku bersyukur Mbak Jenny tidak mencurigai perubahan wajahku yang mendadak sendu, tapi aku bisa melihat raut keingintahuan di wajahnya, namun dia sadar diri bahwa setiap orang memiliki privasi yang tak sembarangan dikulik, sehingga Mbak Jenny memilih untuk diam.

Setelah menyerahkan uang kepada Mbak Jenny dan dia sudah berterima kasih banyak, aku hendak berbalik badan ketika mataku menangkap Decha yang juga sedang turun dari ojek. Aku berjalan menghampirinya seraya menepis pikiran-pikiran galau yang menyergapku.

"Cha, hei ... syukur deh gue nggak perlu nunggu sendirian di dalam kafe."

Decha tersenyum sopan kepada driver ojek, sebelum pandangannya beralih ke arahku. "Ay, kayaknya gue deh yang mesti ngomong gitu." Decha menyeringai.

"Loh ... kenapa?"

Decha tertawa. "Biasanya kan kalau kita kumpul gini lo yang paling sering telat."

Benar juga. Astaga, aku jadi bertanya-tanya sudah berapa lama kami tak menghabiskan waktu bareng di luar sekolah. Sampai-sampai aku lupa bahwa kadang aku selalu telat datang dengan alasan kendaraan yang sulit didapat.

"Ya elah, Cha. Gue yang ngajak masa gue juga yang telat?" tukasku, sengaja menekuk wajah. Decha tertawa lebar, wajahnya putih bersih. "Ya sudah yuk, kita ke dalam aja, Cha." Aku cepat-cepat menggandeng lengan Decha sebelum diriku merasa terlalu iri berlebihan kepada sahabat sendiri.

Tak menunggu waktu lama, akhirnya Vinny dan Erin gabung bersama kami, di sebuah meja dengan empat kursi. Aku lupa, aku kan mengajak Miko juga. Dan akhirnya aku meminta salah satu orang pramusaji untuk menambah satu kursi di meja kami. Namun alih-alih menurutiku, si pramusaji justru menyarankan kami untuk pindah tempat duduk di ruangan VIP yang tersedia beberapa formasi bangku. Setelah kami bersepakat, akhirnya kami setuju dan memilih bangku empat kursi berhadapan dengan empat kursi.

Be My Miracle Love [End] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang