Eps.7 - Awal Dekat Dengannya

1.3K 286 252
                                    

Khayalanku tentang dunia fantasi terputus begitu saja ketika cowok yang sering membuat masalah tersebut sengaja berhenti melangkah dan berbalik. Aura pandang matanya begitu menghujam jantungku.

"Oh iya satu lagi. Celananya harus jadi hari ini juga, karena besok mau gue pakai. Lo tinggal kontak nomor yang tadi kalau udah beres."

Terlihat dari beberapa meter di depanku, Arraja menampilkan seringaian senang, pertanda dia cukup menikmati permainan ini.

Aku mengentakkan kaki kesal. Hampir 3 tahun mengenal Arraja dan teman-temannya, baru kali ini aku merasa cowok tersebut berubah menjadi sosok penindas kelas wahid. Padahal sebelumnya dia dan para anggota gengnya bersikap dan berkelakuan kekanakan, tengil serta jahil. Mem-bully pun hanya sewajarnya saja, seperti mengunci pintu toilet saat aku di dalamnya atau meletakkan cicak mati di dalam tasku serta tindakan jahil kekanakan lainnya. Namun akhir-akhir ini, aku merasa akal bulus Arraja semakin tajam tak terkendali.

Matahari menjelang pukul 3 sore bersemburat terang. Teriknya membuat siapa saja merasa perlu sesuatu yang dingin untuk menyegarkan badan. Tak terkecuali aku yang baru saja menghabiskan dua gelas teh manis di Kedai Serba Ada.

Setelah membayar ke ibu penjual, aku berjalan ringan ke luar kedai, tak peduli mendapat lirikan maut dari si ibu lantaran aku tidak memesan makanan dan hanya memenuhi salah satu meja. Dengar-dengar, di kedai tersebut ada larangan tidak boleh sekadar memesan minuman. Namun aku bersikap bodo amat. Mungkin itu hanya larangan fiktif belaka untuk penglaris makanan. Karena nyatanya aku masih bisa pesan walau sekadar minuman.

Di samping kedai itulah, tempat jahit milik Pak Samsuri berada. Sebenarnya aku tahu tempatnya dari dulu jadi tak perlu mencari-cari ke sana kemari seperti mencari alamat yang berujung palsu.

Langkahku sampai ke tempat berbagai jahitan pakaian tersebut. Sebuah banner bertuliskan, 'SAMSURI TAILOR - Menerima jahitan pria dan wanita. Seragam Sekolah, Kantor, Jas, Kebaya, dll', terpampang jelas di dekat pintu masuk.

Seumur-umur aku bisa menghitung menggunakan jari berapa kali aku pergi ke tempat jahit. Biasanya, Mamaku yang selalu mendatangkan orang untuk bertandang ke rumah jika keluarga akan membuat baju seragam untuk lebaran, misalnya.

"Permisi, Pak!" Aku mengangguk sopan kepada seorang pria berusia sekitar 40 tahunan yang berwajah ramah.

Beliau tampak sedang sibuk di depan mesin jahitnya ketika melempar senyum ke arahku sembari berkata, "Oh mari silakan, Neng."

"Iya, Pak," sahutku, berusaha ramah.

"Ada yang bisa Bapak bantu?" tanya Pak Samsuri, segera fokus kembali dengan pekerjaannya.

Dengan cepat aku mengeluarkan kantung plastik dari dalam tas dan meletakkannya di meja yang tersedia, di dekat meja mesin penjahit. "Ehm ... ini, Pak Sam, saya mau ngecilin celana sekolah."

Pak Samsuri tampak melirik sekilas, lalu mengangguk tegas. Aku masih berdiri, merasa bingung harus berkata apa lagi.

"Kecilin ukuran seberapa?" tanya Pak Samsuri, menatapku.

Mendadak aku baru teringat, lalu mengeluarkan celana yang satunya lagi--yang aku yakini milik Heksa. "Eh, ini Pak, disesuaikan sama celana yang ini."

Pak Samsuri mengangguk mantap. "Baiklah, mau ditunggu atau ditinggal saja? Soalnya saya masih menggarap beberapa stel pakaian."

Sejujurnya aku ingin langsung pulang saja dan segera tidur lalu memimpikan pangeran berkuda putihku. Namun aku teringat akan pesan Arraja agar celana tersebut harus selesai hari ini juga.

"Eh ditunggu aja deh, Pak," tukasku akhirnya, dengan memaksakan senyum ramah.

Pak Samsuri kembali mengangguk. "Silakan ditunggu sambil duduk dulu, Neng. Sepertinya nyampai sekitar jam lima nanti."

Be My Miracle Love [End] ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora