Eps.14 - Orion : Mianhae

1K 217 268
                                    

Aku menggigit bibir, menahan isak tangis.

Seraya menunggu Orion, segera kualihkan konsentrasi untuk memulai membuat bagian awal sebuah makalah.

Tanpa terasa dalam perasaan yang kacau seperti sekarang membuat jari-jariku menari-nari di atas keyboard dengan lancar.

Aku sendiri bahkan tak percaya saat membaca paragraf yang cukup panjang di bagian pendahuluan. Tersenyum samar, aku kembali mencari-cari artikel tentang olahraga futsal untuk kembali melanjutkan menulis kalimat. Dan bersamaan ketika aku menekan tombol enter di kolom pencarian, sebuah notifikasi pesan masuk berbunyi.

Dugaanku ternyata tepat, pesan tersebut berasal dari Orion yang membalas menggunakan pesan suara. Cepat-cepat aku menekan tombol play untuk mendengarkan apa yang akan disampaikan cowok kece itu.

"Ayya, sorry banget ya, bukannya gue ingkar janji atau gimana, malam ini gue belum bisa datang ke Waroeng Sandaran dikarenakan orderan sedang ramai. Tapi, lo jangan khawatir, gue akan tetap bantuin lo kok, buat bikin makalah. Sekali lagi .... Mianhae."

Aku mendesah berat, tersenyum getir sembari meletakkan ponsel di atas meja. Sepertinya memang aku terlalu berlebihan mengharapkan semua ini terjadi. Orion tak akan mungkin bersedia datang menemuiku sekalipun cowok itu yang mengajak pertama kali. Mendadak, aku merasa kebodohan yang ada di diriku semakin meningkat tajam. Tidak seharusnya aku jatuh cinta kepada Orion yang notabene adalah cowok yang memiliki banyak penggemar itu.

Aku melirik angka 22.45 WIB yang terpampang di layar laptop. Menghela napas panjang dan mengembuskannya pelan, aku bersandar di sofa sembari memejamkan mata sekilas. Rasanya begitu nikmat melepas segala kepenatan pikiran.
Detik berikutnya, sebuah suara tiba-tiba mengejutkanku sehingga membuat mata ini terbuka perlahan.

"Maaf ... semua meja terlihat penuh, apakah saya boleh duduk di sini?"

Pandanganku pertama kali menangkap sepasang sepatu converse yang tampaknya sudah tak asing lagi bagiku. Aku berkonsentrasi penuh dan menatap sepatu tersebut dengan saksama, takut jika salah duga. Dan untuk memastikan bahwa tebakanku benar, aku segera menegakkan tubuh dan menatap seseorang yang sedang berdiri di dekatku.

Duniaku kembali terhenti dan aku seperti terbawa arus kehidupan yang lain. Di saat hatiku kecewa lantaran Orion tak jadi datang, seolah-olah Tuhan menggantikan sosoknya dengan seorang pangeran berkuda putih yang saat ini berdiri tegak di hadapanku sambil membawa laptop dan ransel di bahu kirinya.

Pakaian Pak Arnold dengan setelan kemeja bergaris-garis yang dipadukan dengan celana jeans hitam sontak mengalihkan duniaku. Sinyal-sinyal cinta ternyata masih membumbung tinggi di perasaanku terhadap guruku yang satu ini.

Pak Arnold tersenyum tipis ketika mendapatiku yang ternyata diajak bicara. Tanpa menunggu jawabanku, cowok yang masih belum jelas statusnya itu—apakah masih single atau tidak—segera mendudukkan diri di sofa sebelahku.

Semesta ternyata cukup baik dengan nasibku kali ini. Namun akibatnya jantungku segera berdentum-dentum tak karuan lantaran teringat pertemuan terakhir kami yang sangat memalukan itu. Saat wajahku penuh dengan noda hitam akibat ulah raja jail titisan neraka. Aku benar-benar berharap Pak Arnold sudah melupakan kejadian miris tersebut.

"Ayya ... nggak nyangka ketemu kamu di sini." Pak Arnold berbicara sembari membuka laptopnya. "Saya boleh, kan, duduk di sampingmu?"

Aku gelagapan sekilas, lalu segera mengangguk cepat-cepat. "Bo-boleh kok, Pak."

Jantungku kembali berpacu kencang ketika Pak Arnold mengulurkan tangan agar segera kujabat. Sebagaimana seorang murid kepada guru yang bertemu, aku segera menyambut uluran tangan Pak Arnold dan menciumnya khidmat.

Be My Miracle Love [End] ✔Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt