My Dad-23

10.1K 1K 149
                                    

Sebelumnya mohon dibaca dulu:)
Ada yang DM aku nanya ini mulu:(

-Kak, kapan Angganya gede? Emang aku pernah bilang Angga bakal gede? Dari situ aku males lanjut, sumpah dia desak aku banget:(

****

Helma menyentak tangan Ibram yang masih mencekalnya meski sudah sampai rumah. Helma memandang Ibram dengan penuh amarah.

"Kamu keterlaluan Ibram! Kamu tau? Diaz kecewa karena kamu menghina anaknya. Kamu bener-bener gila!" Helma berteriak lantang dihadapan suaminya.

"Karena Diaz, kamu berani bentak sama mencaci suami sendiri? Kamu terdidik Helma. Jangan sampai tidak tau batasan Helma."

Helma menangis. Sedih melihat Diaz yang menatapnya dengan penuh kekecewaan dan Angga yang memandangnya dengan penuh harap. Helma tahu, Diaz memang menyuruhnya pulang. Namun, lain dengan hatinya yang meminta tinggal.

"Terdidik? Bahkan aku udah jadi sarjana dua kali pun, gak berarti sedikitpun dimata Diaz, dibandingkan dengan Diah. Nur, wanita yang hanya lulusan SMA, tapi bisa banget buat Jessi luluh. Aku? Cuman statusnya saja, kasih sayang mereka bukan buatku!" Helma mengeluarkan beban di hatinya.

"Kamu punya Adya," tekan Ibram mencoba meluruskan.

"Kita punya tiga anak! Tiga! Bukan satu!" Teriakan itu menggema di rumah megah itu.

"Helma!" Tangan Ibram menggantung diatas kepala Helma. Helma gemetar dengan serapat-rapatnya menutup mata, ini pertama kalinya Ibram mengangkat tangan.

"Ayah!" Adya menuruni tangga dengan langkah tergesa-gesa. "Jangan pukul Bunda," peringat Adya yang baru bergabung di ruang keluarga.

Adya menarik Helma kedalam pelukannya. "Kenapa, Yah?" tanya Adya merasa heran, karena ini pertama kali orangtuanya bertengkar hebat sampai-sampai ayahnya hampir menampar istri yang selalu Ibram banggakan.

"Gara-gara Diaz. Bundamu melewati batasan. Istri macam apa yang berani membentak dan membantah suaminya?" tanya Ibram yang masih diliputi amarah.

Helma mendorong dada Adya pelan---melepas rengkuhan anaknya.

"Orangtua macam apa? Yang menelantarkan dua anaknya!" tanya Helma telak.

"Helma dari dulu kamu tak pernah membantah. Kenapa sekarang mulai berontak?" Ibram bertanya dengan suara yang lirih, tidak tega melihat wanita yang dicintanya begitu kacau.

"Karena aku sadar! Sadar. Gelar, pendidikan, dan profesiku sekarang tidak ada artinya di mata anak-anakku. Mereka cuman butuh kasih sayang dan bimbinganku," ucap Helma yang tersentak-sentak oleh tangisnya.

"Aku gak mau tau. Cari Jessi, bawa pulang putriku. Untuk Diaz bujuk agar mau memperlakukanku sebagai ibunya."

Adya bingung untuk memihak yang mana, ia hanya berjaga-jaga jika ayahnya lepas kendali.

"Mimpi kamu Helma! Sampah yang sudah dibuang, jika dipungut kembali itu menjijikan. Jangan mencoba melawan suamimu." Ibram menekan setiap katanya.

"Baiklah. Kalau itu keinginanmu," jeda Helma membuat Ibram merasa puas.

"Kita pisah! Aku muak sama sikapmu yang kekanak-kanakan," putus Helma tegas. "Tunggu pengacaraku mengurus semuanya. Aku mau pergi, jaga Adya baik-baik."

"Bund, jangan ngambil keputusan pas lagi emosi." Adya merasa ini terlalu berlebihan.

Ibram menahan lengan Helma yang akan meninggalkan rumah. "Jangan pergi," ujar Ibram lirih.

"Sakit? Itu yang aku rasain pas anak-anakku pergi tinggalin aku. Sakit." Helma menangis dalam dekapan Ibram.

"Aku mau Diaz sama Jessi. Kalau kamu gak bisa kabulin. Kita cerai," ancam Helma tak main-main.

My Dad [END]Where stories live. Discover now