My Dad-43

7.3K 819 279
                                    

Diaz meringis saat merasakan punggungnya yang begitu sakit dan kaku, belum lagi matanya yang mengabur. Diaz berkali-kali mengkerejapkan matanya, agar pandangannya terlihat lebih jelas. Hampir dua menit, setelahnya Diaz dapat melihat dengan jelas.

Kasar, lembab, dan gelap, namun suhu dingin yang menusuk kulit begitu terasa. Diaz melihat Angga yang sedang menangis di sisi dirinya yang terbaring. Tangan anak itu memengang lengan Diaz, mungkin bermaksud membuat ayahnya tersadar.

"Aa," ucap Diaz pelan.

"Papa, Aga takut." Angga langsung memeluk Diaz yang sudah duduk. "Di sini dingin, Aga mau pulang."

Bibir anak itu pucat. Memang suhunya begitu rendah, Diaz tak tahu berapa derajat suhunya. Dengan gerakan tergegas Diaz melepas jas besar miliknya, lalu melepas kemeja birunya. Diaz segera memakaikan kemeja dan jas miliknya pada tubuh mungil Angga, hingga menyisakan Diaz yang memakai kaus hitam polos.

"Masih dingin?" Angga mengangguk dengan air mata yang mengalir begitu saja.

Diaz melihat kaki Angga yang hanya terlapis sandal rumahan, hanya bisa menghela napas pelan. Dibuka sepatu di kakinya, lalu melepaskan kaus kaki miliknya. Diaz memakaikan kaus kaki itu pada kaki kecil Angga.

"Masih dingin?"

Angga mengangguk. "Dingin, Aga takut. Mau pulang, soalnya Aga mau beli es klim."

Di saat seperti ini pun Angga masih ingat es krim yang Diaz janjikan, tetapi Diaz tak yakin bisa keluar secepat yang ia inginkan.

Diaz berusaha berdiri, lalu mengamati ruangan yang luasnya tidak lebih dari 2x2 meter ini. Tidak ada jendela, hanya ada pendingin ruangan yang suhunya telah diatur dengan tingkatan rendah. Tangannya meraba jas yang Angga pakai, berharap ada ponsel atau barang yang membantunya keluar.

Pintu kayu kokoh yang tertutup rapat itu, dipandangi dengan lamat. Mampukah Diaz membukanya dengan didobrak? Pada akhirnya setelah pencobaan kelima pun, pintu itu masih tertutup.

"Woy! Buka! Jangan main-main gini!" seru Diaz.

"Woy! Buka pintunya!" Diaz terus menendang-nendang pintu itu, dengan harapan dapat keluar dari sana.

"Papa," panggil Angga lirih.

Diaz mendengus kesal. Rasa-rasanya tak percaya, bahwa ia dan anaknya menjadi korban penculikan.

Dulu saat Diaz dan Jessi kecil, kedua sejoli itu ingin diculik agar mengetahui apakah kedua orangtuanya menyayangi mereka atau tidak? Akan tetapi, sekarang saat Diaz dewasa keinginannya baru terkabul, namun Diaz sudah tidak berminat.

Diaz terduduk dengan Angga yang berada di pangkuannya. "Kenapa bisa ke sini, sih, A?"

"Aga gak tau. Tadi, ada Om-Om tiga olang, telus pukul Papa sampai Papa tidul di jalan. Udah gitu Papa diangkat sama tiga olang ke mobil, telus di kulung di sini," terang Angga.

"Angga kenal Om-nya?"

Angga menggeleng dengan air mata yang jatuh. "Aga mau pulang. Takut. Aga mau es klim."

Di usap pelan kepala anaknya itu, lalu dibawanya untuk bersandar di dada bidang Diaz. "Jangan takut, ada Papa."

"Ya udah, ayo pulang. Aga mau ke Bunda. Ayo pulang, Papa," rengek Angga dengan tangis yang belum reda.

"Iya, bentar lagi. Tunggu aja."

"Aga udah tunggu lama pas tadi Papa bobo. Sekalang kita tunggu apa lagi? Ayo kelual Papa," kata Angga pelan.

"Nanti, ya, tunggu pintunya dibuka."

"Kapan?"

Diaz berusaha bersabar menghadapi setiap pertanyaan putranya. Jujur saja, hatinya mengatakan kemustahilan untuk keselamatan keduanya. "Bentar lagi pintunya dibuka, sabar."

My Dad [END]Where stories live. Discover now