My Dad-7

15.9K 1.4K 60
                                    

Pagi ini Angga tersenyum, senyum yang begitu manis. Siapapun yang melihatnya akan berpikir bahwa Angga manusia paling bahagia. Angga merasa sangat gembira mengawali hari yang cerah ini, cuaca sepertinya sama dengan suasana hatinya. Dengan begini Angga akan kuat dan menjamin tak akan menangis jika teman satu kelasnya menggangu, menghina bahkan mengerjainya.

Angga benar-benar tak percaya setelah berapa lama ia tinggal bersama sang papa, baru hari ini Diaz akan mengatar Angga ke sekolah. Senang? Tentu saja bahkan saking senangnya ia rela jalan kaki dari rumah ke sekolah asal bersama sang papa. Katakan saja Angga berlebihan, tapi Angga tak perduli.

"Nenek, Papa jadi nganter, kan?" tanya Angga.

"Mungkin," jawab Bi Diah.

"Kok, mungkin?"

"Terus apa dong, Aa?"

"Halus," tegas Angga.

Bi Diah tak menyahuti Angga, bisa panjang jika diladeni. "Nih, habiskan susunya. Biar cepet gede," ucap Bi Diah menyerahkan segelas susu.

"Aga bosen minum susu telus," aku Angga, namun tak ayal meminum susu yang Bi Diah sodorkan.

Bi Diah menggelengkan kepala. Angga mengaku bosan minum susu setiap hari, tetapi kala Bi Diah menyodorkan susu selalu Angga teguk hingga tandas.

"Terus Aa mau minum apa?"

"Teh tawal. Udah lama Aga gak minum teh tawal, telakhil waktu sama Papa minum teh tawal. Itu teh tawalnya enak, beda sama yang di lumah Mama."

"Tapi Papa Aga gak suka teh tawar, gimana?" tanya Bi Diah.

"Masa iya? Waktu itu Papa juga minum teh tawal."

"Iya, Papamu itu gak boleh minum teh, gak baik buat lambungnya. Nanti Papa sakit lagi. Aa yang nangis, kan, Aa cengeng," goda Bi Diah.

Angga cemberut mendengar Bi Diah mengejeknya. "Aa tuh gak cengeng, cuman nangis." Bi Diah terkekeh mendengarnya, sepertinya Angga keceplosan memanggil dirinya sendiri dengan sebutan 'Aa'.

Bi Diah melihat Diaz sedang menuruni tangga dengan tergegas, sepertinya takut terlambat untuk mengantar Angga. Diaz sudah rapi dengan setelan kantornya dengan jas yang ditentang di tangan, membuat Angga ikut menoleh lalu tersenyum lebar melihat sang papa.

Senyum Angga belum luntur, meski tak berbalas apapun dari Diaz. Diaz duduk di kursi ruang makan, hendak memulai sarapan.

"Sarapannya nasi apa roti, Yaz?" tanya Bi Diah sambil menyiapkan piring.

"Apa aja," jawab Diaz apa adanya.

"Papa benelan jadi antel Aga sekolah?" Tak suka didiamkan, Angga bertanya dengan senyuman yang belum luntur.

Bi Diah meletakan piring yang sudah berisikan nasi dihadapan Diaz. "Iya," sahut Diaz singkat.

"Aa mau sarapan roti atau nasi?"

Angga melirik piring milik Diaz. "Sama kayak Papa," jawab Angga.

Terkadang Angga heran dengan sikap ayahnya, jika kemarin-kemarin sedang sakit begitu baik kepadanya. Maka hari ini sudah kembali mendiamkannya, apa Papanya baik saat sakit saja? Jika iya, maka Angga berdoa semoga Papanya sakit terus-menerus. Agar Papanya baik selalu, tapi Angga tak tahu cara berdoanya.

Satu ide terlintas di pemikiran polosnya, Om Kakak Risyad. Orang yang akan mengajari dirinya berdoa.

"Makan." Intruksi dari Diaz membuyarkan pemikiran Angga.

Bi Diah mulai bergabung dengan kedua laki-laki beda usia itu, melihat persis bagaimana kesamaan Angga dan Diaz yang sedang makan dengan cara yang sama. Erlangga Diwantara memiliki paras yang begitu mirip dengan Diaz namun, sikap dan sifat mewarisi dari Dessi, begitu cengeng dan banyak omong.

My Dad [END]Where stories live. Discover now