My Dad-35

8.5K 805 201
                                    

Baca dengan cermat!

****

Kaki kecil itu melangkah cepat, seperti berlari menyeimbangkan dengan langkah lebar milik ayahnya. Tangannya dicengkram begitu erat oleh sang ayah, tapi empunya tidak mengeluarkan ringisan sedikitpun. Tadi di mobil pun, anak itu hanya diam saat ayahnya memarahinya habis-habisan.

Ini masih jam sembilan pagi, seharusnya ia masih di sekolah. Namun, ia membuat kesalahan yaitu berkelahi dengan teman satu kelasnya, membuat ayahnya terpanggil untuk menyelesaikan masalah yang ia buat. Sudah dipastikan anak itu sebentar lagi dihukum dan ia sudah pasrah. Tujuan ayahnya sekarang adalah kamar miliknya yang berada di lantai dua.

Brak!

Diaz memejamkan mata mendengar bunyi pintu yang dibuka kasar. Anak itu semakin ditarik mengikuti langkah ayahnya yang tak lain menuju kamar mandi. Dimana ia akan menjalani hukumannya.

Diaz Alby Diwantara, anak berusia enam tahun yang sudah duduk di kelas dua SD. Tadi sebelum bel berbunyi ada yang iseng menjahilinya dengan menyembunyikan buku tugas miliknya, saat sudah lewat pelajaran pelakunya baru mengembalikan. Diaz yang biasanya pandai mengontrol emosi, pagi tadi lepas kontrol karena mendapatkan hukuman dari gurunya. Diaz meninju orang yang menjahilinya. So, perkelahian tidak dapat dihindari.

Alhasil orangtuanya terpanggil ke sekolah. Ibram Alby Diwantara harus melemparkan jadwal oprasinya pada rekan dokter yang lain. Gara-gara anaknya yang membuat ulah.

"Duduk!" perintah Ibram saat keduanya tiba di kamar mandi. Diaz yang memang pada dasarnya tak banyak bicara langsung menuruti apa yang diserukan oleh ayahnya.

Diaz memperhatikan ayahnya yang mengambil shower lalu menyalakannya. Air dingin itu langsung diarahkan kepada Diaz, anak itu tidak berkutik sama sekali. "Sudah berapa kali Ayah bilang! Jangan buat Ayah malu! Kamu tuli atau memang tidak mau menurut?!" bentak Ibram menggema di kamar mandi.

"Jawab Diaz!" Gagang shower itu Ibram pukulkan ke dahi anak tengahnya.

"Ayah, Diaz tadi hanya membela diri." Bahkan tak ada getar ketakutan menghadapi sang ayah yang dipenuhi emosi.

"Membantah terus! Kamu jadi anak gak tau diuntung, jawab sejujurnya Diaz!" Ibram terus menekan putranya.

"Jawab! Jangan hanya diam!" Ibram mencengkram kuat dagu putranya.

Mata itu tidak menyiratkan sebuah ketakutan, karena sudah terbiasa menghadapi hukuman dari ayahnya. Namun, kali ini terasa berbeda, Diaz seperti menghadapi kemarahan Ibram yang benar-benar terpendam.

"Diaz cuman tinju dia sekali gara-gara ngumpetin buku PR-ku."

Selanjutnya adalah tangan besar milik ayahnya menapar keras pipi itu.

"Bagus! Gara-gara kamu ikut forum bela diri, semua kamu pukul! Besok Ayah gak mau kamu ikut latihan bela diri itu lagi. Dengar Diaz?!"

Diaz hanya mengangguk dengan mengusap sudut bibirnya. "Belajar seperti Adya, ikut les bahasa Inggris bukan ikut les bela diri! Mau jadi berandal kamu?!" bentak Ibram semakin dikuasai emosi.

"Jangan pernah kamu melukis lagi! Gambara-gambarmu itu hanya sampah! Kamu harus les matematika dan IPA. Jangan membantah!"

Diaz hanya diam.

Telunjuk Ibram ditaruh di pelipis anaknya. "Otakmu!" tekan Ibram. "Jangan terlalu bego! Disuruh ikut akselerasi gak bisa. Malu-maluin aja bisanya. Kamu masih mau jadi anak Ayah, kan?"

My Dad [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang