My-Dad 22

12.6K 1.2K 82
                                    

"Den Diaz," sapa Pak Mukmin sopan.

"Eh, ah... Pak Mukmin?" tanya Diaz memastikan.

"Iya. Saya ke sini disuruh Nyonya, buat antar bajunya," ujar Pak Mukmin menunjukan koper yang ia bawa. "Mau ditaruh dimana Den?" tanya Pak Mukmin sopan.

"Taruh saja di ruang tamu," intruksi Diaz membawa langkahnya kedalam rumah.

"Makasih, Pak."

"Nyonya mana?" tanya Pak Mukmin.

"Bunda lagi di dapur. Mau saya panggilkan?" tawar Diaz.

"Tidak perlu. Saya hanya mengantar ini saja. Den Diaz gimana kabarnya?" tanya Pak Mukmin basa-basi.

"Alhamdulillah," jawab Diaz sekenanya. "Pak Mukmin gimana?"

"Bapak masih gini-gini aja." Diaz hanya tersenyum tipis menanggapinya.

Pak Mukmin adalah supir pribadi Helma, beliau sudah lama bekerja bersama keluarga Diwantara. Pak Mukmin sudah mengenal Diaz sedari kecil, hingga tahu bagaimana perangai seorang Diaz Diwantara.

"Gak nyangka, ya, umur nggak ada yang tau. Dari dulu Bi Diah itu dikenal sebagai orang sehat, tapi umurnya cuman sampai tadi pagi."

Raut pucat Diaz, berubah murung. Mendengar bahasan Bi Diah, ia selalu merasa bersedih dan bersalah. Andai Diaz mengiyakan Bi Diah untuk tetap di rumahnya, pasti Bi Diah masih bersamanya. Mungkin.

"Iya," sahut Diaz ragu.

Melihat raut Diaz yang sudah muram, Pak Mukmin merasa bersalah. "Kalau begitu saya pamit dulu, Den. Kita sama-sama doakan saja, semoga amal ibadah Bi Diah diterima sama Yang Kuasa," pamit Pak Mukmin.

"Aamiin." Setelahnya Pak Mukmin berlalu dari rumah besar itu, meninggalkan Diaz dan Angga.

"Papa, Aga mau pisang lagi," pinta Angga.

"Udah cukup. Emang belum kenyang? Nanti perut Aa sakit, gara-gara kekenyangan."

"Kenyang, sih, cuman enak aja. Aga mau lagi." Diaz mengangguk lalu menurunkan Angga, karena badannya masih lemas.

"Ayo, ambil pisang dulu di meja."

Angga tersenyum lebar mendengarnya. "Papa, nanti Aga kalau udah gede mau bikin pablik pisang," kata Angga penuh semangat.

"Pisang itu buatan Tuhan."

"Telus gimana Tuhan cala bikinnya? Aga mau belajal juga," tanya Angga.

"Papa gak tau, kan, bukan Tuhan," sahut Diaz ogah-ogahan.

"Telus Papa tau dimana Tuhan? Aga mau ketemu, bial diajalin buat pisang."

Langkah Diaz terhenti, penuturan Angga yang polos membuat dada Diaz menyesak. Diaz berjongkok dihadapan Angga, kembali menggendong anak itu.

"Denger. Aa jangan dulu mau ketemu Tuhan. Aa harus gede dulu, tunggu tua dulu, temenin Papa diusia senja sampai Papa dipanggil Tuhan, terus Aa punya cucu yang banyak. Baru Aa boleh ketemu Tuhan, ngerti?"

Angga mengangguk lesu. "Belalti Aga masih lama, ya, ketemu Tuhannya?"

Diaz tersenyum tipis. "Iya, gak apa-apa Aa gak bisa buat pisang. Yang penting bisa makan pisang." Diaz menyodorkan pisang yang telah dikupas.

"Di, tadi siapa yang datang?" tanya Helma yang baru selesai cuci piring.

"Pak Mukmin. Anter baju Bunda," jawab Diaz.

Helma hanya membulatkan bibirnya. "Mending Bunda pulang," usul Diaz yang duduk kembali di kursi makan.

"Gak mau. Bunda bakal tidur sambil meluk Angga, Bunda itu udah lama enggak manjain anak kecil," kekeh Helma diakhir kalimatnya.

My Dad [END]Where stories live. Discover now