My Dad-6

16.6K 1.5K 60
                                    

Angga tersenyum melihat Pak Sudi yang sedang menunggunya di depan gerbang sekolah meski ada yang ganjal biasanya yang menunggu di depan gerbang itu Bi Diah, Pak Sudi menunggu di mobil. Angga dengan semangat dan senyum yang semakin dilebarkan mendekati Pak Sudi.

"Pak, mana Nenek?"

Pak Sudi tersenyum. "Kenapa nanya gitu, gak mau dijemput sama Bapak aja?"

"Enggak gitu, tapi Nenek mana?" Angga terus bertanya tentang keberadaan Bi Diah.

"Nenek ada di rumah. Gak ikut," sahut Pak Sudi.

"Kenapa?"

"Aa mau tau?" goda Pak Sudi.

"Iya, kenapa Nenek gak ikut? Nenek udah bosen datang kesekolah Aga?" tanya Angga dengan raut muka tak enak.

"Enggak, Nenek emang lagi gak bisa jemput. Aa jangan ngomong kaya gitu, berburuk sangka itu gak baik," jelas Pak Sudi.

"Tapi Nenek gak jemput Aga," sangkal Angga.

Memang selama bersekolah Angga selalu di jemput oleh Pak Sudi sebagai supir pribadinya, Bi Diah yang selalu menemaninya. Kecewa bila salah satu dari mereka tak ikut menjemput.

"Mau tau gak, kenapa Nenek gak jemput?"

"Kenapa?" Sungguh Angga benar-benar penasaran.

****

"Baru ke kelab, udah sekarat."

Tawa itu lepas di dalam kamar yang bernuansa abu-abu. Tawa yang nyata membuat suasana yang kaku dan kelabu menjadi lebih hidup karena beberapa orang penghuni kamar.

Risyad adalah pelaku dari lepasnya tawa kedua temannya, orang yang begitu mengerti dan baik untuk mengatur dan mencairkan suasana. Dibandingkan Diaz dan Arsel, Risyad orang yang memiliki selera humor rendahan. Suka mengumbar senyum, ketawa keras, dan banyak omongnya.

"Lo pikir gue apaan? Gue sakit perut bukan sekarat, bego," cerca Diaz.

"Ya, tetep aja lo sakit. Udah sakit itu, gampang koid," balas Risyad.

"Temen macam apa lo? Doain temen sendiri cepet mati?"

Hening Risyad memilih mengacuhkan pertanyaan dari Diaz, memang Diaz terlihat acuh pada sekitarnya. Jika saja sudah mengenal lama, maka keluarlah sifat asli Diaz. Yang membuat heran mengapa Diaz terkesan tidak perduli terhadap Angga, karena Diaz merasa sangat canggung berada dekat anaknya.

"Lo juga salah dalam hal ini, Syad," timpal Arsel tiba-tiba.

"Lah, gue salah apa? Jangan ngada-ngada."

"Lo salah bawa dia ke kelab." Arsel menunjuk Diaz dengan dagunya.

"Gue gak minum," elak Diaz.

"Percuma lo gak minum, tapi datang ke tempat itu. Lo rusak citra yang udah susah payah lo bangun sendiri, gimana kalo ada pesaing bisnis lo yang liat? Sama aja bohong," serang Arsel.

Dokter muda tersebut terlihat kesal sekali, jelas tergambar dalam rautnya. Arsel yang sudah menginjak usia 27 tahun sudah menjadi dokter ahli bedah lulusan dari London dengan modal beasiswa, otak yang cerdas dan kegigihan yang tinggi membuatnya bisa hidup baik di Negeri orang.

Diantara ketiganya, Arsel paling dewasa, Diaz paling acuh, dan Risyad paling konyol. Arsel sebenarnya kakak kelas Diaz pada saat masih jaman SMA dulu.

"Iya, tenang aja gue jaga-jaga."

My Dad [END]Where stories live. Discover now