My Dad-1

30.8K 2.3K 47
                                    

Siang ini terasa berbeda bagi Angga sedang duduk bersandar dikepala ranjang, sambil memikirkan kejadian beberapa hari yang lalu. Dimana ia melihat kejadian Mamanya sedang berdebat dengan seseorang yang mengaku sebagai ayahnya. Angga benar-benar tak bisa mengerti apa yang terjadi. Di usia Angga yang masih dini, Angga sudah disuruh untuk berpikir dengan dewasa.

"Aa, jangan ngelamun mulu dong," tegur Bi Diah sambil duduk disebelah Angga.

"Bibi udah kenal lama, kan, sama dia?" Pertanyaan Angga membuat ART berusia lebih setengah abad itu tersenyum, Angga belum terbiasa dengan sang ayah. Begitulah perkiraanya.

"Aa tenang aja. Papa Aa itu baik, kok," ujar Bi Diah meyakinkan Angga.

"Kalo baik. Kenapa Aga, dia culik?" Pertanya Angga yang polos, membuat Bi Diah tersenyum.

Tangan Bi Diah terangkat menyisir lembut rambut Angga, Angga yang mendapatkan perlakuan seperti itu tersenyum. Selama ini mamanya tak pernah mengurus Angga, jadi Angga merasa tersanjung atas perlakuan Bi Diah.

"Papa Aa emang baik, kok, kalo Aa diculik masa dikasih makan, dikasih jajan, mainan, kamar bagus, boleh sekolah, ada Bibi yang nemenin. Emang kalo gitu diculik namanya?" tanya Bi Diah.

"Tapikan, Aga gak boleh pulang," tolak Angga untuk percaya.

"Enggak, kok. Kan, sekarang ini rumah Aa Angga, semua yang ada di sini punya Aa. Aa disini juga punya Papa, emang Aa gak mau tinggal sama Papa?" Bi Diah terus mencoba meyakinkan Angga.

"Aga, kan, gak punya Papa," jawab Angga. "Kata Mama, Aga itu enggak punya Papa, jadi Aga gak boleh banyak minta jajan," lanjut Angga.

"Mama Aa itu bohong, coba liat banyak foto Aa dikamar ini," yakin Bi Diah sambil menunjuk beberapa foto yang terpajang di kamar Angga.

Memang di kamar Angga terdapat banyak foto Angga dimulai dari bayi hingga sekarang. Kamar ini memang sudah dipersiapkan Diaz untuk Angga dari sebelum Angga lahir, hanya saja baru sekarang Diaz mendapatkan hak asuh Angga.

Angga mengamati seluruh isi ruangan kamar. "Jadi Aga masih punya Papa? Jadi, dia Papa Aga?" tanya Angga untuk meyakinkan.

"Iya sayang, panggil Papa dong, bukan dia," jawab Bi Diah sambil memeluk tubuh Angga.

"Dulu waktu Aga pengen punya Papa, Mama bilang Aga itu beda. Aga gak punya Papa, jadi Aga suka diledek sama temen sekolah," adu Angga sambil mengeluarkan air mata.

"Tapikan Aa sekarang punya, jadi gak bakal ada yang ledek Aa lagi, kalo ada yang ledek, sini. Biar sentil kupingnya." Jaminan dari Bi Diah membuat Angga terkekeh disela tangisannya.

Dulu saat masih tinggal bersama sang mama, Angga mengadu kepada Dessi bahwa ia diledek temannya karena tak memiliki ayah reaksi mamanya hanya diam dan acuh. Namun, sekarang ada Bi Diah yang akan menyentil jika ada yang meledeknya lagi. Angga tersenyum, bukan karena ia bahagia bahwa yang meledeknya akan disentil Bi Diah, tetapi tersenyum karena ada yang dipihak dirinya.

"Udah jangan nangis, nanti Aa jelek," ujar Bi Diah sambil menyeka air mata di pipi tirus Angga, sambil melepas pelukannya.

Angga hanya menganggukkan kepala. Sejujurnya ia ingin pulang, merasa tak betah dengan keadaan.

"Ini rumah Aa, jadi jangan minta pulang lagi, ya. Besok juga Aa sekolah, nanti Bibi anter. Oke?" pesan Bi Diah.

"Iya, Bi." Angga hanya tersenyum ketika Bi Diah bilang akan mengantar sekolah. selama Angga bersekolah di TK Edelweis, Dessi tak pernah mengantarkan Angga untuk sekolah, Angga hanya berangkat dengan kakak sepupunya yang selalu diantar ke sekolah oleh ibunya.

Di celah pintu kamar yang terbuka sedikit, Diaz diam sambil melihat Angga tersenyum. Diaz merasa lega saat ia meminta bantuan Bi Diah untuk meyakinkan Angga agar ingin tetap tinggal bersamanya. Usahnya tak sia-sia, semoga Angga tak ingin meminta pulang lagi. Karena dari mulai saat ini Angga hanya akan tinggal bersamanya, sampai Angga dewasa.

****

Denting sendok saling beradu, mengisi dengan suara di ruangan yang sunyi. Dengan wajah datarnya Diaz menyuapkan makanan kedalam mulutnya sendiri, Diaz sudah biasa sendiri. Dari mulai merintis usaha, ia lakukan sendiri, ditinggal sang isteri, berpisah dengan orang tua, dan dijauhkan dari putranya. Wajar saja saat Diaz menghabiskan makan malam sendirian, diruang makan rumahnya.

"Lho, kok, sendiri?" Pertanyaan dari belakang membuat Diaz memelankan laju kunyahannya.

Dengan dahi berkerut tipis, Diaz merasa ada yang ganjal dengan pertanyaan Bi Diah. "Emang kenapa, Bi?" tanya balik Diaz.

Bi Diah menghela nafas pelan. Diaz ini masih muda tapi sudah pikunan, pikirnya.

"Angga gak kamu ajak makan, Yaz?" tanya Bi Diah to the point.

"Oh iya, Bi! Lupa," kekeh Diaz

"Jangan dilanjut dulu makannya, tunggu Bibi panggil Angga dulu ya."

Tak lebih dari 5 menit Angga sudah digiring oleh Bi Diah untuk makan malam bersama Diaz. Bi Diah bisa melihat binar bahagia di mata elang papa muda tersebut, meskipun tak begitu kentara tetapi binar itu nyata.

Bi Diah sudah menemani Diaz dari usia Diaz masih balita. kisaran saat Diaz usia 2 tahun, karena sang bunda selalu sibuk dan mengikuti suaminya yang fokus menempuh pendidikan. Jadi, Diaz hanya diasuh oleh pengasuh dan Bi Diah sebagai ART di rumahnya ikut andil dalam membesarkan Diaz. Bi Diah terharu, karena Diaz kecilnya sudah menjadi seorang ayah.

Decitan kursi menyadarkan Bi Diah dari lamunanya. Angga sudah duduk dengan susah payah, karena badannya yang kecil nan pendek harus menjangkau kursi yang sedikit lebih tinggi dari Angga. Langsung saja Bi Diah duduk dihadapan Angga.

"Ayo, Aa mau makan sama apa?" Pertanyaan itu yang melontarkan bukanlah Diaz, mengingat sifat Diaz yang terlalu acuh akan sekitar.

Mata jernih Angga berbinar melihat makanan yang tersaji didepannya, belum pernah Angga makan dengan menu sebanyak ini. Jika dirumah Desi, Angga hanya diberi makan dengan; nasi, mi instan, telur mata sapi, telur rebus, tempe, tahu, kecap, dan kerupuk. Pernah Angga memakan daging itupula bekas kakak sepupunya, Azril. Yang katanya, sudah bosan memakan daging.

Angga tak pernah ikut makan dimeja makan karena larangan sang om dan mamanya. Jadi, Angga hanya makan jika Dessi ingat dan ada sisa makanan. Tak jarang Angga tidak makan dalam satu hari dan hanya makan satu kali sehari. Angga juga tak tahu bahwa makanan yang tersaji di meja makan rumah ini sebanyak yang Angga lihat sekarang, karena kemarin-kemarin hanya Bi Diah membawakan Angga makanan dan susu ke kamarnya.

Dehaman Diaz, menghancurkan kilasan memori kecil Angga.

"Makan," intruksi Diaz terkesan menakutkan bagi Angga. Angga langsung memakan yang sudah tersedia di piringnya yang disiapkan oleh Bi Diah.

"Aa, mau minumnya mau apa? Susu apa yang lain," tanya Bi Diah.

"Teh tawal aja," jawab Angga cepat. Yang mengundang wajah setengah kaget Bi Diah.

Diaz langsung tersedak, kala mendengar permintaan putranya. Apa Angga pikir ini makan di warteg? Harus minum teh tawar segala. Diaz dengan tergegas langsung meminum air yang ada di gelas hingga merasa baikan.

"Di sini tidak ada teh tawar," tolak Diaz. Diaz tidak ingin putranya meminum teh yang terasa pahit itu. Diaz hanya ingin anaknya mendapat masukan yang bergizi, bernutrisari dan bervitamin.

"Susu saja, Bi," suruh Diaz pada Bi Diah yang langsung mengangguk.

Angga mendesah kecewa. Padahal beberapa hari ini Angga tak pernah meminum teh tawar lagi, karena faktor tinggal di rumah Diaz jadi Angga tak pernah mendapat teh tawar.

Bi Diah kembali duduk dihadapan Angga, sambil menyimpan susu putih dihadapan Angga. "Habisin ya, Aa, makannya. Jangan lupa susunya di minum," pesan Bi Diah.

Angga hanya mengangguk, jujur Angga merasa sangat lapar karena melihat banyaknya hidangan yang akan Angga makan. Kapan lagi, kan, Angga makan sebanyak dan semewah ini? Pikir Angga.

Diaz yang hanya melihat dengan diam pun akhirnya tersenyum tipis, melihat betapa lahapnya Angga makan membuat Diaz ingin menambah porsi makannya. Nafsu makannya bertambah karena melihat Angga, sungguh Diaz sangat menantikan hal ini sedari lama. Berkumpul bersama anaknya, meskipun sekarang hubungan Angga dan Diaz terlalu dingin dan beku.

****

Jangan lupa tekan bintang, pojok kiri bawah:)

My Dad [END]Where stories live. Discover now