My Dad-16

12.9K 1.2K 152
                                    

"Langit."

Langit menoleh, memperhatikan Angga yang akan menghampirinya. Anak itu sudah dua hari tak masuk sekolah dengan alasan sakit, namun malah menghampiri Langit di mal.

"Langit lagi apa disini?" Anak yang mengenakan hoodie biru itu bertanya dengan ramah.

"Terserah akulah, mau apa disini. Kan, tempat umum." Langit menjawabnya dengan nada yang ketus.

"Ayo Bunda kita pergi," ajak Langit pada sang bunda, malas meladeni Angga.

"Bunda sama Abun duluan, ya," pamit Bunda Langit kepada Angga.

"Ibu bisa tolongin Aga?" tanya Angga dengan nada memohon.

"Bunda, ih, ayo. Kata Arya, Angga itu gak punya orangtua, anak tukang bohong, sama anak orang miskin."

"Abun jangan gitu, Bunda gak pernah ajarin kamu ngomong yang enggak benar," tegur Bunda Langit begitu halus.

Wanita paruh baya itu berjongkok dihadapan Angga. "Nama kamu siapa? Kamu mau dibantu apa sama Bunda dan Langit?

"Ellangga, panggil aja Angga. Aga tadi lagi main, tapi Aga mau minum. Telus Papa bilang, 'Aa, tunggu sini, jangan kemana-mana.' Aga dali tadi nunggu tapi Papa gak balik lagi," tutur Angga suaranya sedikit melirih.

"Angga mau minum?" tawar Bunda Langit.

"Enggak. Aga udah gak haus lagi, Aga sekalang mau Papa, tolong bantu caliin Papa." Netra Angga sudah digenangi air mata.

"Bunda, ayo. Abun mau main yang lain lagi, Angga itu bohong, dia gak punya Papa. Jangan percaya," kata Langit menghasut ibunya agar meninggalkan Angga.

"Abun, teman susah itu ditolong, Nak. Bukan ditinggal."

"Angga itu bukan teman Abun. Kalo Abun jadi teman dia, nanti Abun dijauhin satu kelas."

Menghiraukan ucapan sang anak, Bunda Langit menatap Angga yang gusar sendiri. "Angga ikut Bunda ke lantai dasar ya, nanti kita laporkan ke informasi pusat."

"Nanti Papa Aga ketemu?" tanya Angga penuh harap.

Bunda Langit mengangguk. "Semoga aja ngebantu. Ayo, Sayang."

"Bunda ih, Abun masih mau main, gak mau ke lantai dasar," tolak Langit, saat tangannya akan digandeng keluar dari area permainan.

"Langit." Teguran itu membuat Langit merasa ibunya mementingkan Angga, dibandingkan keinginannya.

"Abun gak mau," tolak Langit kukuh.

"Langit, tolongin Aga. Aga mohon. Nanti kalo Papa Aga gak ketemu, Aga benelan gak punya ayah," lirih Angga, berharap Langit goyah.

"Emang enggak punya ayah, kan, gak usah bohongin Bunda aku."

"Aga mohon, kali in--"

"Erlangga!"

Angga menoleh, tersenyum melihat Diaz yang menghampiri Angga dengan langkah tergesa-gesa. Angga langsung memeluk kaki Diaz dengan sangat erat.

"Kamu kemana aja sih, A? Papa bilang jangan kemana-mana," kata Diaz dengan napas tersengal-senggal.

Tangan kiri Diaz membawa kantong plastik berisi dua minuman, sedangkan tangan kanannya mulai mengelus punggung kecil Angga. "Maaf, Papa."

"Minum," ucap Diaz seraya menyodorkan satu minuman kearah Angga. "Aa, jangan kayak tadi. Disuruh nunggu, tetep tunggu. Jangan pergi-pergian."

"Iya, Papa maafin Angga," ucap Angga penuh rasa bersalah.

Diaz tersenyum kecil. Tangannya memegang dahi Angga, mengecek suhu tubuh putranya. Masih sedikit hangat, Diaz menggendong Angga, agar tidak memperpanjang masa sakit Angga.

My Dad [END]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora