92. Toserba

20.3K 1.1K 14
                                    

Flashback Malam Sebelumnya

"Lo nggak bercanda?"

Airin tersenyum tipis lalu mengusap kepala Rivan, tidak sulit karena mereka memiliki tinggi badan yang hampir sama. "Apa gue kelihatan bercanda?"

Rivan menggeleng, lalu menyunggingkan senyum tipis yang berusaha ia tahan agar tidak melebar. Pemuda itu dengan cepat kembali menarik Airin kepelukannya.

Saat itu juga senyum Airin tergantikan dengan senyum getir. "Tidurlah! Gue juga mau tidur nih."

Rivan menggeleng dan mengerutkan pelukannya. "Terlalu dini untuk tidur."

Airin menghela nafas, "Gue mau skincare-an dulu, besok kan mau jalan. Malu kali kalau gue jelek besok."

Airin mendengar suara kekehen. "Lo nggak pernah jelek di mata gue, Rin." Pemuda itu mendekatkan bibirnya ke telinga Airin. "Lo cewek paling cantik yang pernah gue lihat."

Pipi Airin memanas, ia langsung melepaskan pelukannya dan memukul pelan perut pemuda itu membuat Rivan mengerang tertahan.

"Nakal ya lo, Rin." Airin tersenyum mengejek. "Biarin!"

Rivan tersenyum miring, "Awas, gue udah dapat mangsa sasaran penggelitikkan." ucapnya membuat Airin melotot. Tidak! Itu kelemahannya! Sontak saja gadis itu memejamkan mata saat melihat Rivan menghampirinya, namun selama beberapa detik Airin tidak merasakan apapun.

Saat ia membuka mata, gadis itu terpekik saat sebuah benda kenyal dan basah mendarat di ubun-ubunnya.

Airin menatap horor pemuda dihadapannya. "Hukuman karena lo buat gue jantungan beberapa waktu yang lalu. Gue mohon jangan mengatakan itu lagi, Rin." Rivan tersenyum lalu meninggalkan Airin yang terhenyak.

Dadanya sesak seketika, ia hanya bisa menatap punggung Rivan yang mulai menjauh dari pandangannya. Airin tau Rivan sedang menahan emosi mendengar perkataannya sebelumnya, apalagi saat mendengar kalau dirinya dan Raka ... ah, mudahan saja tidak ada terjadi apa-apa.

Gadis itu menghela nafas lalu memutuskan untuk melakukan apa yang pikirannya putuskan sebelumnya lalu ia berjalan menuju ruang kerja ayahnya.

Airin mengetuk pintu itu tiga kali lalu membukanya. Didapati nya Sanjaya sedang menelpon dengan seseorang. Saat melihat putrinya sedang berdiri diambang pintu, Sanjaya perlahan mematikan sambungan ponsel lalu menatap Airin.

"Airin ..."

"Itu benar, Yah. Semuanya benar." ujar Airin cepat. Gadis itu hanya diam melihat ayahnya yang menunjukkan tanda-tanda ingin terjatuh. Sanjaya mendudukkan bokongnya pada kursi setelah merasakan lututnya lemas.

"Saat diculik waktu itu?" Sanjaya berharap anaknya sedang bercanda. Atau melampiaskan amarahnya dengan membohongi dirinya. Namun, melihat anggukan gadis dihadapannya ini membuat dirinya serasa hancur.

Dia ayah yang buruk.

"Apa yang aku katakan tadi, aku ingin ini akan ayah kabulkan. Setidaknya, jadilah seorang ayah yang baik untuk hari ini."

***


Airin menatap sekeliling, lalu ia menghela nafas saat melihat sebuah toserba kecil yang masih buka. Gadis itu menarik Rivan dan mendorongnya untuk duduk di kursi depan toserba. Rivan terlonjak kaget lalu menatap sekeliling.

Airin tersenyum tipis saat Rivan tampak kebingungan menatap tempat ini.

"Tunggu di sini, ok? Mie instan kuah dimalam hari gue rasa nggak buruk."

Rivan tidak mengerti apa maksud dari Airin. Pemuda itu menatap Airin yang memasuki toserba itu. Rivan yang masih kebingungan lalu tersenyum.

Mengapa ... Airin terlihat manis sekali?

Tak lama Airin datang membawa dua buah cup mie instan. Rivan pernah melihat itu disebuah iklan televisi. Ia tidak membayangkan akan memakannya saat ini.

Airin duduk lalu meletakkan dua cup yang telah diisi air panas itu. Gadis itu menikmati angin malam yang dingin.

"Sama gue, lo harus merakyat."

Rivan menatap Airin. "Btw, lo tau darimana gue ada di bar?"

Aktifitas memasukkan bumbu mie instan langsung terhenti saat mendengar pertanyaan Rivan, ia hanya tersenyum sebelum berkata. "Kebetulan lewat."

Setelah itu, Airin menyodorkan mie instan itu. "Makan atau pulang!"

Sepertinya tidak ada alasan untuk menolak, pemuda itu langsung saja melahap makanan berkarbohidrat itu. Tidak buruk, rasanya tidak seperti yang ia pikirkan.

Ingatan Rivan kembali pada kejadian beberapa waktu yang lalu, dengan senyuman tipis, ia menatap Airin yang tampak tidak menikmati makanannya.

"Lo ... sungguh-sungguh benci gue?"

Airin terhenyak, lalu ia tersenyum kecil. "Kalau iya kenapa? Kalau nggak kenapa? Harusnya lo tau jawaban gue."

Rivan terdiam, ia hanya tersenyum tipis.

"Gue nggak pernah minta apapun, bukan? Ruang dan waktu .. gue pikir lo akan melepaskan gue." ujarnya santai padahal topik yang mereka bahas mulai memberat. Rivan tau betul itu kamuflase dari Airin.

Rivan benar-benar tidak tau akan bertindak seperti apa lagi. Ia hanya ingin Airin berbahagia. Entahlah ... rasanya pasti sulit, tapi akan lebih sulit jika memenjarakan Airin dilingkar masalah tak berujung ini.

Rivan meneguk ludahnya. "Jadi ... itu pilihan lo?"

Airin tersenyum manis. "Lo nggak perlu khawatir. Saat gue meninggalkan rumah ini, lo ... bebas, Van. Jangan terbebani dengan apa yang terjadi."

"Anggap gue nggak pernah hadir sebelumnya. Dengan begitu, gue harap semuanya akan terkendali." sambungnya lalu ia menunduk untuk menyantap mie. Tapi, Rivan tau, Airin berusaha menyembunyikan air matanya.

Rivan tersenyum miris. "Dengan begitu, apa lo bahagia?" tanyanya pelan membuat Airin terdiam untuk beberapa detik. Matanya tidak lepas dari pandangannya yaitu Airin.

"Tentu ... gue akan bahagia." jawabnya yakin tanpa keraguan sedikitpun, namun suaranya tampak bergetar.

"Apa lo bakal kembali?"

"Kenapa nggak?" Senyum Rivan mengembang seketika. Berarti, Airin hanya pergi sementara saja bukan? Ini sungguh membuatnya senang.

"Gue akan pulang untuk melihat pernikahan lo nantinya."

Angin semakin berhembus dengan kencang. Dinginnya malam begitu menusuk kulit, Rivan mengerti apa yang Airin katakan. Tapi mengapa harus membahas pernikahan!? Dirinya hanya akan menikah dengan Airin! Mengapa Airin begitu egois!?

"Lo mau, 'kan? Kebahagiaan gue adalah ... keluar dari kediaman itu." Suara Airin begitu lembut tetapi terdengar begitu penekanan disetiap katanya.

"Gue pengen terbang bebas,"

Rivan memejamkan matanya. Dadanya bergemuruh dengan perasaan yang begitu menyakitkan. Ia tidak pernah tau hari ini akan terjadi. Sesak sekali hingga Rivan rasanya ingin menendang semua yang ada disampingnya.

Hingga kalimat yang ditunggu-tunggu Airin keluar, "Pergi, gue melepaskan lo."

Airin tersenyum haru, lalu matanya mengeluarkan butur

Welcome Back, Tunanganku! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang