89. Isi Hati Airin

18.1K 1.2K 27
                                    

Rivan membeku ditempat saat mendengar apa yang dikatakan oleh Airin. Ia mengira jika semuanya sudah mulai membaik, jadi ... ternyata tidak seperti itu?

Semua yang ada diruang itu menahan nafas. Masih tidak percaya dengan apa yang mereka lihat kecuali Sanjaya dan Allard yang sudah mengetahui ini sebelumnya.

"Ap-apa ma-maksud kamu, Rin?"

Airin hanya tersenyum sinis. "Selain ganteng, lo nggak ada kelebihan lain ya, Van? Bego!"

Rivan tidak percaya kalimat ini keluar dari bibir Airin, tunanganya yang sangat ia cintai. Betapa menusuknya kalimat itu. Ia mungkin bisa menghajar orang-orang yang menghinanya. Namun, Airin? Ia tidak sampai hati.

Tatapan Airin terlihat malas, ia menatap Rivan ogah-ogahan. "Gue mau lo tanda tangan, dan hubungan kita berakhir."

Tangan Rivan gemetaran karena ia sedari tadi mengepalkan tangannya kesal. Ia tidak suka pembahasan seperti ini. Apa-apaan Airin memintanya untuk menandatangani perjanjian ini!?

"Lo tau apa yang lo lakukan, Rin?" Bahkan Rivan ikut mengubah gaya bicaranya karena sedang kesal seperti ini. Airin tertegun sebentar, sebelum mengubah kembali ekspresinya.

Gadis itu berdecak. "Seharusnya gue yang nanya. Lo tau 'kan apa yang harus lo lakukan?" tanyanya memandang Rivan rendah.

"Ya, gue tau. Yang gue lakukan adalah ini ..." Pemuda itu merebut dokumen yang ada ditangan Airin. Dengan sekali tarikan, dokumen itu robek membuat Airin menganga tidak percaya.

"Rivan! Apa-apaan!?"

"Lo yang apa-apaan, Rin!?" bentaknya balik. Ini sungguh diluar dugaan. Yang mereka lakukan beberapa waktu yang lalu hanya kenangan. Hanya kenangan setelah mereka berpisah.

Rivan tidaklah bodoh, ia tau apa yang akan terjadi jika perjodohan ini batal. Rivan bahkan bisa menebak kalau ia tidak akan memiliki hal lagi untuk Airin. Ia tau ia terlambat, tapi bukankah Airin harus memberinya kesempatan?

"Aku dewasa sebelum waktunya. Dan aku ingin menjadi seorang anak dan seorang kekasih untuk beberapa hari ini."

Percakapan mereka di pantai tiba-tiba terngiang-ngiang diingatan Rivan. Tubuhnya seketika lemas, ia baru mengerti apa yang Airin ucapkan. Kalimat-kalimat ambigu itu ternyata adalah kode.

"Hari ini aku menggunakan kelemahan ku sebagai kekuatan.

"Topeng yang kamu pakai hari ini sudah kamu lepaskan. Begitu maksud mu, Rin?"

"Sulit untuk berbohong saat ini, ini juga pilihan sulit. Tapi semua akan ada pada waktunya."

"Semuanya akan baik-baik pada waktunya. Semuanya tanpa terkecuali seperti topeng-topeng yang ku kenakan."

"Apa yang aku lakukan juga untuk kebaikan semuanya. Kamu tau? Aku hanya perlu ruang dan waktu."

Aku hanya perlu ruang dan waktu. Rivan baru menyadari, kalau semuanya tidak segampang ini. Memaafkan tidak semudah melupakan. Ia terlalu dibutakan kesenangan tanpa menyadari apa yang membuat gadis itu tiba-tiba berubah.

Gadis itu ... Airin ... hanya ingin berbakti kepada tunanganya dan ayahnya sebelum dia benar-benar pergi.

"Dan ... mungkin kamu akan mengerti semuanya nanti. Bagaimana definisi ruang dan waktu untukku yang belum kudapatkan

"Jadi ..." Rivan yang sudah terduduk mendongak menatap Airin dengan sendu. ".. lo berjanji untuk bertahan."

"Bertahan sendiri? Apa gunanya?"

Rasanya dada Rivan sudah berlubang-lubang karena perkataan Airin yang sanggup membuat dirinya sesak sendiri. Namun, Airin tidak sepenuhnya salah. Dirinya juga berjanji untuk membantu gadis itu bertahan disini.

Pertanyaan ... dimana dirinya setelah itu? Rivan terkekeh getir, ia benar-benar mematahkan ikatan yang ia buat sendiri. Dirinya sungguh tidak berguna.

"Yang lo bilang di pantai tadi ..."

Airin meneguk ludahnya. "Definisi ruang dan waktu gue adalah ... meninggalkan."

Pemuda itu langsung bangkit, ia langsung memegang kedua bahu Airin dengan erat. Ia tidak rela, pemuda itu tidak rela melihat bagaimana orang yang ia cintai pergi begitu saja. Ia memang egois, ia ingin Airin tetap berada di sampingnya.

"Jangan, Rin! Jangan!"

"Lo tau bertahan untuk melepaskan? Itu pilihan gue."

Rivan terus menggelengkan kepalanya bersamaan dengan cengkraman tangannya yang semakin erat. "Nggak, Rin! Lo jangan mengambil keputusan saat ini!"

Mata Airin mulai berkaca-kaca, ia berusaha terlihat biasa-biasa saja namun tidak bisa. Rasanya ia ingin memeluk Rivan, tetapi ia kembali kalah dengan ego dan otaknya. Gadis itu langsung menepis tangan Rivan.

"Keputusan gue udah bulat! Kalau lo benar-benar sayang sama gue, lo harus melepaskan gue!"

Melihat Rivan yang terus saja meracau membuat Airin tidak tega. Namun, ia sudah sejauh ini. Ia tidak ingin mundur karena perasaannya. Mengapa cinta ini begitu membunuh?

"Hubungan kita hanya ikatan. Ikatan yang kapan saja bisa putus. Lo nggak pernah cinta sama gue, Van. Lo cuma merasa bersalah kalau nggak suka sama gue yang notabenenya adalah tunangan lo. Jangan bohongi diri sendiri, Van. Ini bukan cinta, ini cuma rasa kasihan lo."

"Airin! Gue benar-benar cinta sama lo! Ini bukan rasa kasihan!"

Airin berusaha menahan tangisnya. "Cinta tanpa perjuangan!? Cinta apa itu, Van!? Kita ketemu karena ikatan ini, Van. Kalau nggak!? Lo juga tau itu, Van!? Semua ini salah sejak awal!"

Rivan menatap Airin tajam. Ia merasa sakit saat Airin meragukan rasa cintanya. "Lo buta? Perjuangan kita udah cukup banyak!"

"Alasan gue kurang cukup!? Oke .." Airin menunjuk pemuda itu. "asal lo tau, gue benci melihat wajah lo, Van!"

Dada Airin naik turun dengan nafas memburu. Matanya mengkilap sengit membuat Rivan terkejut. "Gue benci mengetahui lo kembaran Revin! Pembunuh anak yang gue kandung!"

Tangis gadis itu sudah tidak bisa ditahan. Matanya terus mengalirkan air mata. "Gue selalu teringat bagaimana semua ini berawal! Walaupun gue tau Revin nggak sepenuhnya bersalah tapi dia juga salah satu yang bikin gue kehilangan janin!"

"Gue cuma punya dia, Van. Gue nggak punya siapa-siapa lagi. Janin gue nggak akan berkhianat. Nggak akan nggak kayak kalian!"

Rivan tertegun, begitu juga dengan semuanya yang sedari tadi diam dengan mata berkaca-kaca. Tidak pernah menyangka kalau Airin memiliki pemikiran seperti itu.

"Tapi .."

"Gue salah?" potongnya.

"Apa kabar gue yang dituduh membunuh mama!? Padahal ayah sama papa tau kalau bukan gue yang melakukan semuanya! Kalian egois, harusnya kalian bilang dari dulu kenapa mengasingkan gue."

"Gue nggak tau siapa yang membunuh mama Meisya. Tapi gue tau kalau kalian yang sudah membunuh Airin, gue sendiri." ujarnya lalu terkekeh getir.

"Tanpa kalian sadari, gue hidup penuh rasa kebingungan dan tumbuh dengan dendam dan tekanan. Kalian semua terlalu egois dengan menganggap anak kecil itu bodoh!"

"Kalian tau kenapa Mysha bisa berbuat seperti itu?" Airin bahkan secara terang-terangan menatap ayah, papa, dan bundanya tidak suka.

"Karena kalian nggak pernah mau menerima Mysha. Kalian menganggap dia jahat karena kelakuannya di masa lalu dan membuat wanita itu menanamkan dendam di hatinya."

"Kenapa kalian nggak pernah bertanya apa perasaannya? Bagaimana hari-harinya? Mengapa ia melakukan itu? Atau bilang kalau dia tidak sendiri, ada 'aku untuk disini' kenapa? Kalian hanya meninggalkannya bukan?"

Airin menghapus jejak air matanya. "Begitu juga dengan aku sekarang. Kalian tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan saya, jangan salahkan saya yang kian anarkis karena kalian semua."

"Kalian ... pembunuh! Bukan hanya anak ku yang meninggal tapi anak kalian juga. Aku ... sudah lama tiada." ujarnya menatap Sanjaya, Allard, dan Karin yang syok hingga menangis.

"Saat aku meminta ruang dan waktu, kalian mengira aku pendendam dan gegabah. Viona Airin Marselia, selalu salah di mata keluarganya."

Welcome Back, Tunanganku! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang