66. Bertemu Melody

16.3K 1.1K 1
                                    

"Bisa kita bicara?"

Airin sontak membalikkan badannya saat mendengar suara tegas laki-laki. Airin mengangguk menatap lelaki yang ternyata adalah Sanjaya. Lelaki paruh baya itu kemudian berjalan menuju ruang kerjanya diikuti oleh Airin.

Sanjaya kemudian duduk dengan gusar, laki-laki itu menyodorkan iPad yang menampilkan beberapa foto Airin. Airin awalnya terkejut tapi itu tidak berlangsung lama, ia tau kalau Ayahnya ini juga melihat aktivitas sehari-harinya.

"Seperti yang ayah lihat, aku hamil." ujarnya tenang. Tapi percayalah, keringat dingin mulai keluar dari pelipisnya.

Sanjaya memejamkan matanya berat. Rahangnya sudah terlihat mengeras. Airin hanya bisa menghela nafas, ia juga tidak tau apa yang harus dilakukan. "Kenapa bisa?"

Airin terdiam selama beberapa detik. Perlukah ia berbicara yang sejujurnya?

"Ini Indonesia, Airin! Hamil diusia 17 tahun? Kamu juga tokoh publik, Airin. Mau dikemanain wajah Ayah?" Walau tidak ada nada bentakan, tapi Airin cukup tau kalau ayahnya kecewa. Itu wajar mengingat dirinya adalah gadis remaja yang tiba-tiba hamil. Bagaimana tidak kecewa coba?

"Terserah, aku akan mempertahankan bayi ini. Karena yang salah aku sama ayah bayi ini." ujar Airin sambil memegang perutnya yang masih datar. Ia hanya berharap kalau ayahnya tidak mengatakan macam-macam. Ia tetap akan mempertahankan bayi ini bagaimanapun.

"Ayah akan mengirim kamu ke negara lain setelah beberapa masalah selesai," putus Sanjaya membuat Airin terkekeh sinis.

"Tanpa ayah suruh aku bakalan pergi dari rumah ini, Yah." ujarnya sarkas.

Airin sempat mengira kalau perlakuan Sanjaya selama ini hanya untuk menyelamatkan dirinya. Tapi ... sekarang, entah mengapa semua itu tidak sama. Ia kembali merasa terasingkan.

"Bukan di Aussie ... tapi London."

Airin berdecak pelan. "Mysha gak ada di Aussie, Yah. Dia di Singapura."

Mata Sanjaya membulat sempurna. Ia cukup bingung darimana anaknya ini tau tentang Mysha. Ia tidak pernah membicarakan ini sebelumnya. Bagaimana Airin tau?

Diam-diam Airin tersenyum samar menikmati raut wajah terkejut itu. "Gak perlu tanya, Yah. Mending kembali ke topik." sambungnya.

Kembali hening karena mereka berdua sama-sama terkejut dan canggung. Sampai Sanjaya memberanikan dirinya untuk bertanya pada putri semata wayangnya itu.

"Siapa ayah dari janin kamu sekarang?"

Tanpa diketahui keduanya, seorang pemuda sedang mendengarkan semua pembicaraan mereka sambil mengepalkan tangannya erat. Tubuhnya terasa kaku karena lagi-lagi mendengar fakta yang mengejutkan.

Airin ... tunangannya hamil dan bukan dirinya yang berbuat itu.

Rasa kecewa kembali menusuk dadanya yang terasa sesak.

***

Rivan menatap kepergian Airin. Gadis itu pergi menggunakan mobilnya entah kemana. Beberapa detik menelan ludah, pemuda jangkung itu melangkahkan kakinya menuju sebuah kamar.

Ia terpaku menatap pintu kamar dihadapannya. Dengan tangan besarnya yang mulai basah karena keringat dingin, pemuda itu memutar gagang pintu itu.

Ia berjalan perlahan lalu mulai membuka semua lemari dan laci yang ada di kamar itu. Dibongkarnya dengan cepat. Dari sana, ia beralih ke rak buku fiksi ilmiah dan fiksi umum juga beberapa buku kedokteran dan politik membuat Rivan kebingungan dengan otak gadis itu yang begitu cemerlang.

Ia tidak mendapati apa-apa di sana. Kakinya mulai melangkah ke meja belajar Airin yang begitu bersih dan tertata rapi. Dengan cepat, ia membongkar buku-buku yang ada lalu menemukan beberapa lembar kertas dari dokter dan ... tespack.

Tanpa membaca pun, Rivan tau milik siapa ini. Pemuda itu menatap kosong dinding dihadapannya lalu terkekeh renyah.

Semuanya sudah terlanjur rumit.

***

Plak

"Sialan lo, jalang! Gue udah percayai lo buat mengubah Abang gue tapi apa!? Lo hamil, bangsat! Anak haram siapa itu!?"

Airin yang awalnya memegang pipinya pasrah langsung mengepalkan tangannya saat janinnya yang tidak bersalah disebut anak haram.

"Diem, lo gak tau apa-apa mending diem," desisnya pelan tapi terdengar jelas penekanan yang ada.

Mata gadis dihadapan Airin berkaca-kaca. "Gue denger semuanya, Rin. Saat di kantor Papah, lo hamil dan bukan Bang Revin yang menghamili lo." ujarnya.

Airin menatap Melody datar. Tidak salah jika gadis itu salah paham karena saat Allard bertanya siapa ayah dari bayi ini pun, Airin tidak menjawabnya.

"Gak mungkin Rivan, 'kan!?" bentaknya lagi dengan nada frustasi.

Airin tersenyum kecil, "Bukan, bukan siapa-siapa. Anak ini ... anak ini anak gue bukan anak siapa-siapa baik Revin atau Rivan."

Air mata yang sedari tadi ditahan Melody mulai mengalir ke pipinya. Gadis itu menggigit bibirnya agar suara isakan tidak keluar.

"Gue cuma mau hidup kayak anak diluar sana, Rin. Kenapa keluarga ini gak pernah ..." Melody memejamkan matanya.

Airin tersenyum getir, "Kehadiran gue memang membuat semuanya menjadi kacau."

Melody mengangguk nafsu. "Iya! Ini semua gara-gara kehadiran lo yang membawa musibah, Rin! Semuanya gara-gara lo," Melody menatap Airin berapi-api. "... tapi itu dulu ... gue sadar kalau gue salah dimasa lalu, gue cuma mau hidup sebagai putri satu-satunya dan gak ada yang bisa mendapat kasih sayang."

Runtuh sudah pertahanan yang Airin jaga, ia tidak bisa menahan buliran-buliran kristal bening hangat itu.

"Gue sadar, kalau keinginan gue bukan uang dan kehancuran lo, tapi kasih sayang ... ternyata yang gue harapkan adalah keluarga harmonis." sambungnya terdengar putus asa.

Airin terduduk di lantai ruang private ini sambil terisak. Ia sadar, kalau bukan Melody saja yang menginginkan itu tetapi dirinya juga. Semua keputusan yang ia dapat tidaklah cukup.

Ternyata ia hanya ingin keharmonisan dan kebahagiaan. Semua itu yang tidak pernah ia dapatkan. Cinta dan kasih sayang yang belum pernah ia dapatkan dari orang yang ia sayangi.

Semuanya tampak tabu saat ini. Semuanya tidaklah sama. Ini sudah terlalu jauh dan rumit untuk diperbaiki. Sebuah impian kecil itu tidaklah bisa ia harapkan kembali.

Airin mendongak saat suara Melody yang sama putus asanya kembali terdengar.

"Apa gak bisa ya kalau kita berdamai dengan masa lalu? Sedangkan dengan diri sendiri saja gue masih gak bisa."

"Tapi lo mau, 'kan ikut berjuang demi sebuah matahari setelah hujan badai?" sambungnya membuat Airin tersenyum tipis.

Welcome Back, Tunanganku! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang