39. Akhir perjuangan?

2.2K 252 37
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
***

Mataku membulat menatap ruang tamu yang porak poranda. Duduk di sofa dengan tubuh lemas. Bagaimana tidak, baru beberapa menit lalu sudah kurapikan tanpa bantuan santri ndalem sebab tengah sibuk mempersiapkan acara tujuh bulanan kehamilanku. Agak terlambat sebenarnya, karena di undur dua minggu.

Aku berakhir duduk bersimpuh di kapet dengan hamparan kertas berserakan. Menggelengkan kepala sambil memungut sampah yang berserakan itu. Berjalan pelan dengan lutut mengambil beberapa kitab milik Abah yang berserak pula di karpet.

"Assalamualaikum, sayang kami pulang," ucap Kang Fikri yang berjalan sambil menggandeng dua bocah menuju ke arahku.

"Wa'alaikumussalam. Ruang tamu kenapa bisa begini, Mas?" Kang Fikri hanya nyengir tanpa dosa. Meminta dua bocah balita itu ke kamar tamu.

"Tadi Gus Anam titip Jasmin sama Rafa ke sini, mau ngisi kajian di kampung sebelah."

"Lalu Mbak Sarah kemana, Mas?"

"Ning Sarah ke rumah orang tuanya, jadi siang sampai sore mereka di titipkan sama kita. Kamu Ndak masalah kan?"

"Ya Ndak masalah, cuma sekarang aku minta tolong njenengan panggilkan Mbak ndalem minta tolong beresin ruang tamu. Aku Ndak kuat kalau beresin sendiri." Tanganku terulur pada Kang Fikri, meminta bantuannya untuk berdiri.

Perutku bukan lagi ukuran minimalis seperti dulu, sekarang pastinya lebih jumbo. Berat badanku bahkan sudah naik dua puluh kilogram. Tubuhku benar-benar sudah lebar, empuk katanya Kang Fikri kalau dipeluk.

Bukan menuju kamar kami, aku mintanya mengantarkan ke kamar tamu tempat Jasmin dan Rafa berada. Ingin bermain dengan dua ponakanku itu.

"Assalamualaikum ponakan Bulek, tadi habis dari mana sama Paklek?" Dua bocah berusia lima tahun kurang beberapa bulan itu langsung menoleh, duduk lebih merapat lagi denganku.

"Wa'alaikumussalam, Bulek. Tadi main di pondok sama Mbak ndalem juga." Jasmin menjawab dengan kedua tangan memeluk perut buncitku. Memberi ciuman juga disana, membuatku merasa telah memiliki anak selain di perutku. Jadi teringat Ahmad juga, mungkin dia pasti senang jika bisa bermain dengan mereka. Tapi pasti di sana Ahmad juga memiliki teman banyak, malah beberapa hari lalu dia sempat cerita lewat sambungan telepon jika dia sering bermain bersama santri yang seusia dengannya di pondok Eyang Kung.

"Wah habis main ya, kalau pulang besok gimana? Bulek buatin nasi goreng kunyit sama dikasih sosis mau Ndak?" Saatnya membujuk. Mumpung bapaknya belum ada, bisalah memberi sogokan.

"Sebenarnya mau Bulek, tapi Buya sebelumnya sudah bilang sore harus pulang soalnya Umi sudah sampai rumah." Aku mendengus. Harus kuakui dua keponakanku ini begitu menurut pada Buya dan Uminya. Dan satu lagi, sosok Mas Anam alias Bapak mantan dosen pembimbingku itu begitu cerdik mendahuluiku. Dia tau betul, bukan sekali dua kali aku merayu anaknya untuk menginap, bahkan pernah kuminta Jasmin dan Rafa menginap satu minggu. Tapi kali ini rayuanku tidak mempan.

Tidak masalah, sebentar lagi aku juga akan memiliki anak dan puas bermain dengannya. Pastinya dengan rupa jiplakan perpaduan antara aku dan Kang Fikri.

Benar saja, tak butuh waktu lama suara uluk salam Mas Anam terdengar. Langsung membuat dua bocah di depanku berlari menuju sumber suara itu. Aku pun akhirnya mengikuti mereka dari belakang menuju ruang tamu.

"Mas, kok cepet banget kesininya? Katanya sore, ini masih jam dua siang lho. Anak-anak pulang besok mawon." Mas Anam menggeleng pelan disertai kekehan. Menggoyangkan telunjuk sebagai isyarat penolakan.

Sepasang Hati (End)Where stories live. Discover now