19. Kembalinya masa lalu

1.7K 241 55
                                    

'Rasaku tak seberapa, melihat dia tersenyum bahagia sesak dalam kalbu ku mendadak sirna.'
______

Mataku membulat, kilatan penuh harap terpampang jelas dari wajah pria di depanku. Tak ada yang berubah, wajah dengan rahang tegas itu masih tampak rupawan. Dua hal yang telah berubah darinya, status dan rasa.

Dulu sepenggal kata suka sulit terucap, merasa aneh bila tiba-tiba dia sekarang memulai mengumbar rasa tertariknya padaku. Pertanyaan barusan cukup membuatku tak percaya. Hal yang sama sekali tidak pernah dia perlihatkan kini nyata adanya. Apakah aku boleh berbahagia meski ragu masih ada? Lantas apa pantas aku masih menaruh rasa pada pria yang  berstatus suami orang?

"Menerima sampean menjadi bumerang untukku, Kang. Aku tidak mau menjadi yang kedua dan menghancurkan yang pertama."

Helaan napas berat terdengar, Kang Fikri maju satu langkah lebih dekat. Meraih kursi tak jauh dari tempatku duduk. Ini salah, tidak seharusnya kami berada di  tempat ini bersama.

"Kamu bukan yang kedua, Fany." Tegasnya padaku. Amat pelan seperti hembusan angin.

Kutolehkan padangan ke arah lain, menilik kondisi sekitar yang masih tampak sepi. "Apa aku bisa percaya jika beberapa tahun lalu telah terlaksana akad antara Mbak Fatma dan sampean."

Kang Fikri mengerutkan keningnya. Menggeleng pelan. "Tidak terjadi akad antara kami. Pernikahan itu bukan antara kami."

Aku bangkit dari posisi semula, melihat para santri ndalem lain mulai berdatangan ke arah kami. Merasa tidak pantas jika aku dan Kang Fikri berduaan serta masih berada di tempat yang sebenarnya jarang terjamah santri biasa seperti Kang Fikri. Aneh sebenarnya, kenapa dia berani berada di sekitar ndalem bahkan aku yakin dia datang dari arah ndalem karena jalan menuju taman dari pondok putra hanya lewat ndalem.

"Pergilah, Kang. Aku tak ingin sampean mendapat masalah dan  hukuman karena telah lancang masuk kawasan ini."

Kening kang Fikri berkerut, seolah merasa aneh atas ucapanku barusan. "Maksudmu?"

"Sampean santri baru, aku yakin itu. Jadi, pergilah sebelum ada santri bagian keamanan yang datang dan menegur."

Tak ada respon apapun, Kang Fikri masih betah duduk di sana. Menulikan telinga ketika aku kembali mengingatkannya. Masa bodo dia kena hukuman, dengan langkah cepat kutinggalkan tempat itu menuju pondok putri.

****

Posisiku duduk bersandar di  dinding tiba-tiba tidak nyaman, terganjal sesuatu hingga tersadar jika sebuah tangan merangkulku.

"Terima kasih, Mbak. Dia telah datang membawa pinangan." Rona bahagia tercetak jelas di wajah wanita berhijab maron di sampingku.

Kuberi senyuman simpul. Aku tahu saat ini pasti datang. Syifa kembali bertemu dengan pria yang selama ini dinantinya.

"Aku turut bahagia. Semoga kalian bisa bersama dalam ikatan pernikahan." Tidak ada kebohongan, aku tulus mengatakannya karena pada hari dimana kulepas rasa itu, hari itu pula kubatasi rasaku padanya. Meski terkadang sulit dan butuh paksaan.

"Meski harus mengorbankan perasaan Mbak sendiri? Apa aku jahat telah merebutnya darimu  Mbak?" Aku bungkam. Apa David mengatakan semuanya? harusnya dia tidak mengatakan bagian itu pada Syifa.

"Tidak, Syifa. Rasa kami masih terpaut untuk sosok masa lalu kami. Dia masih menaruh hati padamu, dan aku belum terlepas dari sosok masa laluku." Dalam hatiku memang masih terpaut pada Kang Fikri. Sosok masa laluku itu telah datang kembali. Menawarkan hal yang sama dengan yang David tawarkan pada Syifa, yaitu pinangan.

"Aku tidak tahu harus berkata apa, David mengatakan segalanya tentangmu, Mbak. Dia juga mengatakan bahwa sampean yang memberitahukan keberadaanku." Syifa menarikku dalam pelukan, menjatuhkan bulir bening dari sepasang matanya hingga terasa baju bagian punggungku basah.

Pandanganku menjadi samar sebab netraku basah, kian menggenang seolah ikut hanyut dalam haru. Aku bahagia Syifa telah menemukan kebahagiannya, dari lubuk hatiku paling dalam aku telah ikhlas dengan keputusan David. Sesak dalam kalbuku mendadak sirna melihat Syifa berbahagia.

Kubalas pelukannya penuh suka cita. Dia berhak untuk itu, balasan Allah telah datang untuknya. "Allah telah menciptakan hambaNya berpasang-pasangan, dan pasanganmu ternyata telah Allah beri jalan untuk datang padamu. Sekarang dia telah tiba. Alhamdulillah." Kupandang jari manis Syifa yang telah tersemat cincin. Cincin yang sama dengan cincin yang dia tunjukkan padaku. Aku yakin, akan tiba masanya merasakan hal serupa.

Semua makhluk Allah hadirkan pasangannya. Tinggal menunggu kapan datang masanya dia meminta restu pada Allah dan orang tua kita untuk menjadikan kita permaisurinya.

Sosok Syifa telah berlalu dari hadapanku menuju kamar sebelah. Kuambil sebuah buku bersampul biru yang telah lama tidak tersentuh olehku, meraih pena menggoreskan kata pada lembaran kosong. Menyertakan nyata dan angan bersamaan untuk hadir sebuah rangkaian kata penuh makna.

Melepaskan

Langit menggantung suram
Ukiran senja tertutup awan hitam
Lamunanku kian panjang
Menarik sadar seakan tak kuasa
Aku terkungkung rasa

Tarikan dua sudut bibir surut
Memberi rona wajah tampak kusut
Kutepis kecewa dengan pasti
Bukannya berakhir
Malah kecewa kian membumbung tinggi
Aku terkungkung rasa

Dua jemari manis terangkat menawan
Memamerkan logam dengan Kilauan
Sepasang cincin perak melingkari
Memaksa rasaku untuk tahu diri
Aku terkungkung rasa

Mundur bukan pilihan tapi keharusan
Melepas beban kalbu perlahan
Takdir kami telah dipastikan
Menempuh jalan berbeda yang ditentukan
Tak ada kekalahan hanya keikhlasan
Aku melepasnya dengan senyuman

Ku putuskan menutup buku sampul biru itu, memeluknya. Semua tentang David sudah usai pertanda aku memulai dengan hati yang baru.

*****

Di ruangan dengan hamparan karpet, tampak Kang Fikri serta Ning Nana berbincang serius. Membahas mengenai sosok wanita pilihan Kang Fikri. Membuat Kang Fikri menarik tipis bibirnya, membentuk lengkungan kecil.

"Lan, apa dia yang kamu mau telah menerima pinanganmu?" Sebuah pertanyaan yang kerap diterima Lana akhir-akhir ini.

Hanya helaan napas berat yang terdengar lantas kakinya merubah posisi duduknya menjadi bersila. "Masih ragu dia, Mbak. Beri aku waktu sekali lagi untuk meyakinkannya, jika dia tidak menerima maka aku akan menerima sosok pilihan Mbak dan Abah."

Masih ada satu kesempatan, hanya perlu kembali meyakinkannya saja. Semoga Fany percaya dan mau menerima.

****
Ngacung yang makin penasaran kelanjutannya

Ini masih yg manis-manis, belum pahit lagi.

Semarang 28 Mei 2020

Revisi 1/4/21

Sepasang Hati (End)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora