38. Hamil?

2K 231 8
                                    

Assalamualaikum, nih yang kangen Fany&Fikri..happy reading.
___________
Berulang-ulang aku memuntahkan isi perut yang hanya berupa cairan bening. Entah, satu minggu belakangan ini tubuhku terasa tidak enak, lemas dan rasanya ingin mual.

Tubuhku lemas, bahkan tadi hampir terjatuh jika Kang Fikri tak sigap meraih tubuhku. Menuntun menuju ranjang, membaringkanku disana.

"Minum ya," ucapnya sembari menyendokkan teh hangat padaku yang sudah dia buat.

"Masih mual?" Aku mengangguk. Mengusap sudut bibirku yang basah dengan tisu.

"Mas, aku mau tidur sebentar." Kang Fikri mengangguk pelan, membenarkan posisiku kemudian langsung menarik selimut untuk  menutup sebagian tubuhku yang terbaring. Mengusap puncak kepalaku lalu berjalan keluar kamar. Setelahnya mataku terpejam dan benar-benar menuju alam mimpi.

****
Suara azan membuatku bangun, mengambil posisi duduk bersandar di kepala ranjang. Menatap jam dinding menunjukkan pukul sebelas empat lima siang. Membaca doa usai suara azan berakhir. Tak lama sayup-sayup suara percakapan terdengar, semakin jelas seiring pintu kamar terbuka. Menampakkan dua sosok yang berjalan ke arahku dengan lengkungan di bibirnya.

"Nduk, nanti ke rumah sakit, ya. Diantar suamimu setelah sholat Dzuhur." Aku mengangguk, menyetujui perintah Abah.
Setelah itu Abah langsung menuju ke masjid pondok, meninggalkan Kang Fikri tetap bersamaku.

Pelan Kang Fikri memapahku menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Memintaku sholat dengan posisi duduk sebab tubuhku benar-benar belum sanggup berdiri terlalu lama. Menunaikan sholat dzuhur berjamaah dengannya di kamar.

"Sayang, kamu salah makan apa? Kok bisa sampai mual-mual begitu?." Bibirku mengerucut, mendengar kalimat sembarang darinya. Bahkan tadi pagi aku hanya makan bubur ayam sama sepertinya.

"Njenengan bagaimana sih, kan cuma maem bubur ayam." Sekilas kulihat dia terkekeh pelan, berhenti ketika melihatku menatapnya dengan mata membulat. Membuatnya mengulum bibir menahan tawa.

"Males kaleh njenengan," ucapku akhirnya. Menutup seluruh tubuhku dengan selimut.

"Jangan marah. Cuma bercanda. Biar kamu senyum."

Senyum dari mananya, lagi lemes sama mual lho ini badanku.

"Sayang, ke dokter ya. Kita periksa siapa tau sudah ada dzuriyyah kita di perut kamu." Mendengar ucapannya seketika membuatku langsung membuka selimut. Menatapnya lekat sembari memikirkan ucapannya barusan.

"Apa iya aku hamil, Mas? Walimatul ursy lalu aku haid lho." Kening Kang Fikri berkerut, sigap membantuku bangkit lalu menuntunku keluar kamar. Masih tetap diam bahkan dalam perjalanan menuju rumah sakit tak pernah melepaskan genggaman tangannya.

Dengan hati-hati Kang Fikri membantuku berjalan pelan dengan tangan memegang pinggangku sampai di dalam ruangan bercat putih dengan aroma khas obat.

Aku di minta berbaring di ranjang pemeriksaan usai dokter dengan balutan kerudung ungu memberikan banyak pertanyaan padaku sebelumnya. Mengoleskan gel di perutku, meletakkan sebuah alat yang langsung menunjukkan sebuah bintik hitam yang bergerak saat alat itu digeser.

Mataku memanas, menatap wajah Kang Fikri dengan mata yang juga tak berbeda denganku. Malah setitik embun berhasil keluar dari sudut matanya. Mengusapnya cepat sembari berjalan ke arahku, memberi kecupan bertubi-tubi di wajahku.

Syukur tak berhenti terucap usai dokter mengatakan aku tengah berbadan dua. Masalah darah yang keluar itu, wajar terjadi di kehamilan yang masih muda jika tidak sampai volume darah yang keluar seperti menstruasi. Pantas saja, hanya satu hari setelah itu darah berhenti. Bahkan tidak seperti aku haid biasanya.

Sepasang Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang