25. Pelengkap

2.2K 272 103
                                    

Baru kali ini kilat update dilapak ini kayak kejar setoran..Maaf buat komentar yg belum terbalas, karena update ini cari waktu longgar disela UAS

Alhamdulillah Udah sesuai target votenya. Kalian luar biasa.. komentarnya rame banget, suka pokonya. 😘

Part Ini diramein vote dan komentar juga ya😂

Habis ini slow dulu njih...
____________________

Jika suatu kehendak telah dipastikan, maka yang terjadi sesuai apa yang ditetapkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jika suatu kehendak telah dipastikan, maka yang terjadi sesuai apa yang ditetapkan. Setiap insan telah di tentukan takdirnya sebelum terlahir baik itu jodoh, maut, rizki dan lain sebagainya sudah tercatat.

Sama denganku, semua ketentuan yang telah digariskan nyatanya sebagian sudah berjalan. Jodoh, hal ini baru saja kudapatkan. Terikat pernikahan dengan seorang pria yang awalnya kuharapkan lalu berakhir kecewa hingga pada akhirnya takdir datang membawanya dalam ikatan halal untukku.

Pria yang kini duduk di ranjang itu menatapku dengan senyuman, menepuk sisi kosong di sampingnya untuk menjadi tempatku. Dia menang, ikhtiarnya berbuah kesuksesan.

"Katakan, aku tauu ada banyak pertanyaan dalam benakmu." Tundukanku kian dalam, suara debaran kuat mengisi sunyi dalam bilik dengan wangi kopi pengharum ruangan usai bariton itu terdengar.

Jantung kami berlomba dengan nyanyian detaknya yang menggila. Membuat masing-masing pemiliknya dilanda malu. Memilih terdiam bagai batu

Alunan jangkrik semakin terdengar merdu seiring  lantunan shalawat para santri yang tengah berlatih rebana terdengar.

"Aku kehilangan aksara. Semua yang terjadi telah menjadi bukti nyata," sambungnya. Diraih tanganku, mendaratkan sebuah benda lembut yang memabukkan miliknya di sana. Sebuah kecupan pertama didaratkannya usai penjelasan berakhir. Sedikit kaku, tapi cukup membantu kinerja jantungku semakin kuat.

Meraih satu lagi tanganku, kian merapat mengikis sela yang ada, melepasnya lalu memberi isyarat padaku dengan kedua tangan terbuka. Memberiku kesempatan merengkuh tanpa memaksa.

Ada rasa tak terucap, namun raga tetap memberi isyarat. Berusaha menipu hati dengan berdiam tapi malah terasa ganjil, lantaran rasa di dalam sana kian menganggu. Biarkan saja sejenak syahdu dalam hening, karena bukan mudah melawan sunyi jika ragamu mau bertindak tanpa ingin ada ucap.

Kami hanyut kian dalam, memberi ruang masing-masing merasakan debaran jantung yang beradu dalam pelukan. Saling memberi tatapan dalam dengan dua tarikan di sudut bibir masing-masing.

"Alhamdulillah, Allah satukan kita."

Aku tersenyum, menyamankan posisi dalam dekapan, "terima kasih, Gus. Maaf, sempat meragukanmu."

"Tidak mudah memperoleh keyakinan jika diawal sudah pernah memberi kecewa. Usahaku tak seberapa, tapi kehendak Allah yang memutuskan pada akhirnya kita terikat pernikahan."

Setetes embun dari netraku kali ini sebagai pertanda, bahwa aku sungguh bahagia atas ketetapan dari Yang Kuasa.

"Jika dirasa aku kurang baik sebagai istri, tegur aku. Karena dalam diriku sulit menjadi baik tanpa penuntun. Aku bukan insan sempurna, aku biasa dengan segala kelemahan yang ada. Tapi aku sempurna dengan adanya separuh agamaku yaitu Njenengan, Gus." Layaknya pasangan yang baru kenal, aku pun berusaha terbuka padanya. Mengatakan hal yang sekiranya memang kekuranganku.

"Sama, jika nanti aku berbuat salah maka tegur pula aku tanpa sungkan. Insan di depanmu ini penuh dosanya."

Lega, satu kata yang ada usai saling terbuka. Ku urai perlahan dekapan kami, menutup mulutku ketika tanda kantuk keluar. Dia tersenyum, memberi usapan pada punggungku lantas memintaku mencari posisi ternyaman pada ranjangnya. " Ngantuk, kan. Kenapa masih duduk? Cepet baring cari posisi nyamanmu, Fan."

Aku menggigit bibir bawahku pelan, bingung serta malu dengan kondisi asing seperti ini. Bayangkan saja, seorang santri yang biasa masuk ke kamar Gus nya hanya untuk piket merapikan kini diminta pemilik kamar untuk terlelap di atas ranjang yang sama dengannya walau label sah secara agama telah ada.

"Ok, kamu tidak menjawab berarti giliran aku yang memposisikan tubuh sesuai posisi ternyamanku." Perlahan tubuh tegap di sampingku berbaring namun disertai gerakan tangannya menarik ku berbaring bersisian dengannya. Sontak aku terkejut bukan main.

"Gus,... Aku..."

"Kenapa lebih suka memanggilku, Gus? Padahal aku lebih suka panggilan lain." Bukan tidak sadar, aku tahu jika dia lebih suka kupanggil tanpa embel statusnya sebagai anak pemilik pondok.

"Kang,...."

Dia menggeleng, "jangan itu juga. Yang lebih enak di dengar dari pada itu."

Mungkin sama dengan panggilan Fia pada Gus Amir. "Mas Lana." Ada rasa geli mengucapkan itu. Seperti aneh di lidah.

"Ck, jangan Mas Lana, kata Lana ganti Fikri saja. Lebih akrab di telinga kalau kamu panggilannya itu."

Aku terkekeh pelan karena geli, kelakuannya tak jauh berbeda dari sebelumnya. Hanya sedikit lebih lembut.

"Kok ketawa? Apanya yang lucu?" Alisnya menukik, mengerucutkan bibir. Menyaksikan ekspresinya malah membuatku semakin geli. Mencibir pelan kelakuannya baru saja dibalik tubuh besarnya. 

Wajah kami yang sejak tadi saling berhadapan dengan posisi berbaring menjadi berubah. Tubuh pria didepanku telah  berbalik membelakangiku, seperti anak kecil yang merajuk. "Aku ndak mau ada marah dan ghibah diantara kita, kita harus saling  bilang kalau ada yang tidak nyaman dengan perkataan." Ucapnya masih pada posisi membelakangi. Kekehanku berhenti, dia benar-benar merajuk ternyata permirsa.

"Aku ndak ghibah lho, Gus. Jangan marah ya. Maaf kalau aku keterlaluan." Tak ada balasan.

"Tapi kamu mencibirku, kan. Hayo, ngaku. Aku bilang begitu biar ndak ada yang mengganjal di pikiran dan memicu terjadinya omongan tidak benar." Ujarnya lalu berbalik, menyungging senyum.

"Aku nggak marah, hanya mengingatkan sambil menggoda sebenarnya." Giliran dia yang terkekeh.

Seketika kulayangkan pukulan dengan bantal padanya. Meluapkan kekesalan. Berhenti ketika dia berhasil meraih tanganku yang bersiap kembali melayangkan pukulan dengan bantal. Pakai bantal agar dia tidak kesakitan, kalau pakai kayu kasihan dong suamiku.

"Maksudku, jangan ada yang dipendam jika dirasa tanpa kita  sengaja saling menyakiti. Katakan semuanya agar tidak ada istilah ghibah dan marah pada suami atau istri. Kalau sama lega kan enak jadinya." Dia mendaratkan kecupan pada keningku sembari membawaku dalam hangatnya dekapan.

Syukur harus selalu ku ucapkan  usai nikmat yang luar biasa dari Allah ini. Benar jika setiap pasangan saling melengkapi, dan dialah pelengkapku.

****

End ya..

Semarang,
23 Juni 2020

Revisi 15/4/21

Sepasang Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang