32. Pergi Sejenak

1.8K 235 17
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA
_____________________

Ada raga yang berlaku tertata, ada lisan yang perlu di jaga, ada hati yang harus sabar menelan segala yang menimpa. Raga tak selalu sempurna, lisan tak lepas dari salah berkata, bahkan hati tak jauh dari penyakit hati di dalamnya. Kesempurnaan tak pernah ada pada manusia. Kekurangan selalu menyertai, tinggal bagaimana mengubah kekurangan itu menjadikan kita sadar akan kedudukan sebagai hamba.

Aku bukan hamba luar biasa, aku hamba dhaif dengan segala kekurangan yang ada. Sama seperti hamba lainnya, seorang hamba yang sempurna agamanya dengan adanya pendamping hidup. Apalah daya jika takdir menempatkanku pada posisi lebih, menjadi pendamping seorang dzurriyah alim. Lalu, apa dengan menjadi pasangannya itu adalah salahku?

Langkahku semakin cepat tatkala air mata tak lagi bisa terbendung. Meluncur pelan tepat ketika sampai ndalem. Menyeka cepat kala sosok Imamku menatapku lekat.

"Sayang, ada apa?" Aku menggeleng pelan. Menggiringnya menuju kamar dengan alasan meminta bantuan untuk menata pakaianku.

Mataku tak lepas menatap Kang Fikri yang telaten memasukkan lipatan baju di bagian lemari paling atas. Mengalihkan pandangan tatkala mata kami tanpa sengaja bertemu. Membiarkan hening mengisi dalam kamar dominan warna abu-abu.

Pelan Kang Fikri mendudukkan dirinya di sampingku, meraih tanganku masuk dalam genggaman. "Berbagilah sedikit bebanmu, pasti lebih lega dengan begitu," ujarnya. Menatap dalam mataku, memberi usapan lembut pada satu punggung tanganku yang telah terbebas dari genggamannya.

Tak ada sepatah kata yang terucap. Memilih bungkam. Sesak kembali hadir kala mengingat ucapan santri senior tadi terlintas. Semua yang ada pada diriku seakan tidak berarti apa-apa baginya, tak ada satu kebaikan yang ada dalam diriku menurutnya. Hanya kekurangan dan kekurangan.

Mungkin lain ceritanya jika semua kalimat tak mengenakkan yang telah dilontarkan padaku kuberitahukan pada Kang Fikri. Dipastikan semua akan bungkam ketika Kang Fikri dengan tegas dan lantang mengatakan bahwa akulah wanita yang selama ini didekatinya. Namun, tidak kukatakan apapun perihal itu. Semua kusimpan sendiri hingga berujung seperti ini. Menangis dan menumpahkan segala rasa sesak masih dengan kebungkaman.

"Mas, menikahlah dengan Ning Aida." Kalimat yang entah kenapa  seketika keluar begitu saja ketika pikiranku digelayuti ucapan tidak enak. Bahkan setelah kalimat itu terucap, luka dulu kembali menganga, mengingat kejadian beberapa tahun silam. Ketika Kang Fikri dengan mudah menjatuhkan pilihan pada Mbak Fatma. Seakan aku kembali pada posisi yang sama, namun kali ini akulah yang memintanya menempatkanku pada posisi ini.

Seketika tangan Kang Fikri membawaku dalam dekapan erat. Menggeleng lemah, menolak tegas ucapanku barusan. "Apa yang kamu ucapkan? Kamu istriku. Al Fany Ramadhani yang sampai kapanpun menjadi separuh agamaku."

"Aku tidak pantas bersanding denganmu, Mas. Dia yang lebih dariku, dia yang diinginkan banyak orang." Tangisku akhirnya pecah. Mengeratkan pelukan.

"Kamu ragu?" tanyanya. Sontak membuatku mengurai pelan kaitan tanganku yang melingkari tubuh tegapnya. Menggeleng cepat.

"Tidak. Tapi aku .... "

Manik hitamnya menatapku dalam, mengaitkan jemarinya dengan jemariku. Memutus kalimat yang belum sempurna terucap dariku. "Tidak ada dalam diriku kebuah keraguan. Yakinlah, jalan takdir telah Allah tentukan. Baik buruknya sesuai kadar kemampuan. Dan aku, ditetapkan Allah bersanding denganmu, baikku sekufu denganmu."

Pipiku kembali basah. Mendengar ucapannya barusan membuat sisi hatiku menghangat, tapi di sisi lain masih sakit.

"Jangan pernah menyesali keadaan. Karena percuma, ujungnya tetap sama. Tidak bisa ditawar." Jemarinya bergerak mengusap bulir bening di pipiku.

"Jangan pikirkan ucapan orang. Kamu adalah orang yang paling tepat Allah pasangkan denganku," sambungnya lagi. Tapi malah membuatku semakin merasa tidak pantas dengannya, merasa benar akan ucapan banyak orang yang tak menyukaiku.

Sekilas kutatap wajah dengan rahang kokoh di depanku. Menunduk ketika wajah dengan jajaran bulu halus pada rahang kokoh itu menunduk, memberikan kecupan pada puncak kepalaku.

Genggaman tangan Kami masih terpaut, kembali menarikku dalam pelukan. Memberikan kenyamanan yang memang kubutuhkan sekarang tanpa memaksaku kembali mengatakan. Bergerak mengaitkan lengan lantas meremas kuat lengan baju yang dia kenakan.

"Dulu, jauh sebelum menikah dengan Almarhumah Tsania aku sempat melamar Aida, tapi dia memilih tidak menerima. Dan itu sudah berlalu, tidak perlu di ungkit kembali," sambungnya.

Cukup lama kami dalam posisi ini, bahkan Kang Fikri malah mengecup keningku. Berusaha membuatku melupakan sedikit permasalahan.

"Ingat lagi, semua yang telah terjadi tidak jauh dari kehendak Allah. Jadi, jangan salahkan dirimu atas ketetapan yang berlaku. Mas sayang kamu, Mas sempurna karenamu, kita saling melengkapi." Tangannya mengambil peniti hijabku, menarik pelan hingga terlepas. Menampakkan rambutku yang terurai. Mengulas senyum kala netra kami bertemu.

"Tadi Ayah datang mencari Abah," ucapannya.

Mataku mengerjap. "Kenapa tidak memberitahuku?" tanyaku. Menarik diri dari dekapan Kang Fikri.

"Ayah menitipkan salam untukmu setelah itu langsung pulang. Bahkan ketika aku hendak mengantar pulang, beliau menolak dengan alasan ndalem akan kosong jika aku pergi."  Terdengar helaan napas dalam dari Kang Fikri.

Kenapa Ayah tidak menungguku? Tidak biasanya. Bahkan Ayah menolak diantar Kang Fikri.

"Mas, aku kangen Ayah, Bunda. Boleh besok aku menginap?" Bukan hanya rindu, lebih tepat ingin kembali di tempat dimana aku bisa menenangkan hati dan pikiran sembari memastikan sesuatu.

Senyumku mengembang ketika anggukan kudapatkan dari Kang Fikri setelah sejenak terdiam. Mengemasi barang-barang yang hendak kubawa ke dalam tas jinjing.

Ada masanya hatiku butuh celah meringankan beban, memberikan keluasaan tanpa kalimat tak mengenakkan. Aku butuh waktu.

Aku ingin tetap tinggal, tapi banyak suara tidak menginginkan.

Putusku pergi sejenak untuk menepi, kembali lagi jika dirasa hati sudah kuat tanpa takut kembali terluka.

****
Lantunan doa terpanjat dari seorang pria dengan pakaian sederhana di depan dua  gundukan tanah. Bangkit usai menyelesaikan bacaan tahlil serta doannya. Menyusuri jalan tanah meninggalkan tempat itu. Menembus tiupan angin yang sore ini tampak lebih kencang dari biasanya.

Langkah tubuh pria yang tak lagi kekar itu berhenti di sebuah rumah sederhana. Masuk, lantas duduk di atas hamparan tikar di ruang tamu. Menyungging senyum ketika wanita berhijab yang selama ini menemaninya mengangsurkan secangkir teh hangat dibarengi senyuman.

"Bun, maaf untuk semuanya. Maaf jika keputusan Ayah dulu membuat Bunda merasa sedih karena kebenaran itu. Membuat posisi kita rumit." Wanita dengan tarikan dua sudut bibir itu mengusap tangan suaminya.

"Ayah tidak salah sama Bunda. Bunda yakin akan apapun keputusan Ayah. Bunda yakin semuanya akan baik-baik saja," ujarnya. Berusaha menghapus jejak kegamangan yang terlihat dari wajah suaminya.

"Bunda dan Ahmad nanti malam ikut Ayah,ya. Kita berangkat Ba'da isya'." Menggenggam jemari istrinya dengan kilatan mata penuh keyakinan.

Bun, sepur memang ndak pernah metu soko rel, karena sampai kapanpun ndak akan berjalan di jalur lain.

Sebuah keputusan telah diambil Ayah Abbas, segera menyelesaikan apa yang seharusnya di selesaikan sejak lama. Benar-benar berniat menghapus segala hal pahit untuk meringankan beban.

****
Semarang
4 Agustus 2020

Revisi 18/4/21

Sepasang Hati (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang