6. Lana

3.6K 307 17
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد
JADIKAN ALQURAN SEBAGAI BACAAN YANG PALING UTAMA

****

Aku saranin kalian baca ulang part 4&5 sebelum baca part ini. Biar lebih greget.
____________

Pov Lana

Aku, Maulana Abdul Fikri. Tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu kandung. Sejak usiaku tiga bulan, ibuku telah dipanggil oleh Allah. Sejak saat itu pula Bapaklah orang tuaku satu-satunya karena Bapak sama sekali tidak berniat menikah lagi.

Keberuntungan Allah hadirkan padaku, selang beberapa bulan istri dari kakak Bapak mengambil alih merawatku beserta putri kecilnya. Umi, panggilanku pada beliau. Beliau sosok ibu bagiku, beliau juga dengan senang hati memberikan ASI-nya padaku. Perlakuannya terhadapku persis seperti anak kandungnya, bahkan Umi tidak sedikitpun membedakan aku dengan putrinya, Mbak Nana.

Takdir Allah menuntunnya padaku ketika beliau dalam kondisi sangat terpukul, kehilangan bayinya yang berusia dua bulan lebih tua dariku. Baginya aku adalah syifa atau obat pelipur lara yang Allah berikan kepadanya.

Aku bersyukur bisa menjalankan aktivitasku layaknya anak kecil pada umumnya. Mendapatkan kasih sayang lengkap. Hingga usiaku beranjak remaja pun masih saja aku diperlakukan layaknya anak kecil oleh Umi.

Tahun terus berganti, aku sudah tumbuh mejadi remaja. Abah, kakak dari Bapak dan Bapak memutuskan aku harus mondok di pondok lain. Bukan lagi di pondok milik Kakekku, tempat tinggalku selama ini. Tidak ada penolakan, apa pun keputusan Bapak dan Abah bagiku adalah titah tak terbantah.

Sejak saat itu aku jarang berjumpa Umi. Hanya enam bulan sekali atau bahkan lebih lama lagi Umi dan Abah datang menyambangiku. Bapak pun sama demikian, beliau mengurus peternakan dan sawah di lingkungan tak jauh dari pondok pesantren milik Kakek.

"Le, jaga kesehatan. Jangan lupa makannya. Umi ndak mau tahu, pokoknya ndak ada kabar kamu sakit sampai masuk rumah sakit seperti ini lagi."

Masih teringat jelas kekhawatiran Umi kala itu. Bukan penurut, aku cenderung sak penak e dewe waktu pertama kali mondok di pesantren tempatku menimba ilmu. Pantas jika akibatnya harus menginap beberapa hari di rumah sakit.

Waktu bergulir begitu cepat, tak terasa delapan tahun sudah aku mondok. Dalam kurun waktu itu pula nama panggilanku berubah, yang awalnya Lana menjadi Fikri. Bukan aku yang merubah, para santri seniorlah yang memanggilku dengan nama itu. Katanya, santri bernama Lana sudah banyak dan takut keliru kalau memanggil.

Genap sepuluh tahun aku berada di pesantren usai empat tahun menimba ilmu di Mesir lalu kembali lagi ke pondok, bahkan aku telah menjadi lurah pondok di sana. Namun, pada tahun yang sama duka merundung. Umi wafat bertepatan dengan kepulanganku mengabarkan maksud ingin meminang seorang wanita.

Umi wafat setelah melawan penyakit yang diderita. Kanker kelenjar getah bening, penyakit yang selama ini sama sekali tidak kami ketahui. Bahkan ketika Abah mengetahui kenyataan itu, beliau tidak memberitahu siapapun.

Aku menangis dalam diam, bukan senyuman Umi yang menyambut melainkan bendera kuning ketika kakiku menginjak teras ndalem. Mata ini hanya mampu memandang wajah pucat dengan tubuh yang terbujur kaku tanpa nafas. Umi pergi ke alam kekekalan bersama rasa sakit yang selama ini bersemayam dalam tubuhnya.

Tak sampai disitu Allah menguji, belum genap satu bulan kepergian Umi, giliran Bapak yang Allah panggil. Kecelakaan maut menimpa Bapak ketika beliau hendak pergi ke Jepara. Aku kehilangan dua sosok penting dalam kehidupanku pada tahun yang sama.

Sepasang Hati (End)Where stories live. Discover now