29. Walimatul ursy

2.3K 266 58
                                    

Tubuhku mematung, merasakan susana berbeda. Memberanikan diri melihat bagaimana reaksi Kang Fikri atas permintaan sosok berhijab di depannya yang ternyata bukan menatap sosok itu tapi malah menatapku. Seketika mata kami bertemu, seolah mengatakan apa yang terjadi tidak benar. Seharusnya tidak boleh seperti ini. Dengan lembut tangan Kang Fikri menyentuh tanganku yang berada di atas meja, menarik pelan hingga membuatku berdiri dari duduk bersimpuh. Menempatkan tubuhku duduk di sampingnya.

Mata sosok berhijab itu membulat, seolah tak percaya dengan apa yang dilihat. "Gus, kenapa menarik santri ini duduk di samping njenengan?"

Jari Kang Fikri mengisi celah jariku dengan miliknya. Menautkan erat jemari kami. "Dia istri saya."

"Bukannya Gus Lana belum menikah?"

"Saya telah menikah beberapa hari yang lalu, Ning Aida." Wanita yang baru kutahu bernama Ning Aida itu menunduk, menggeleng pelan.

"Ku kira masih ada kesempatan, ternyata sudah tidak ada." Ning Aida mengangkat wajah, menampakkan netra berkabut disela tarikan sudut bibir. "Barokallah hu laka wabaroka alaika wa jama'a bainakuma Fii khair. Semoga sakinah mawadah warahmah, Gus Lana, Ning ..." Mengulurkan tangan padaku masih dengan senyuman.

Kusambut uluran tangan Ning Aida. "Fany, Ning," jawabku. Mendekatinya lantas menariknya dalam pelukan. Benar apa yang dikatakan Yaya, Ning Aida wanita yang memang cantik, bukan hanya paras tapi juga hati.

Semoga Ning Aida mendapat jodoh terbaik.

Suara riuh dari arah luar kamar membuatku terbangun dari tidur. Tertidur karena menahan nyeri di perut, mungkin karena tamu bulanan. Usai Neng Aida pamit tadi Kang Fikri langsung mengajakku ke kamar, memberikan sesuatu yang sekarang telah melingkar di jari manisku. Cincin perak yang dijadikannya mahar pada pernikahan kami beberapa hari lalu. Setelahnya kalian tahu sendiri, istri Kang Fikri ini akhirnya tertidur.

Menyadari bahwa Kang Fikri tidak lagi ada di kamar, membuatku segera bangkit. Mencarinya di luar. Berjalan menuju ruangan lain namun tidak kujumpai hingga berakhir di ruang tamu dengan riuh suara beberapa orang.

Aku tersenyum ketika mendapati Ayah, Bunda serta Ahmad ada di sana. "Ayah, Bunda. Kapan sampai?" Kuraih tangan orang tuaku, menyalami serta memberikan satu kecupan di kening pada adik semata wayangku lantas membawanya dalam pangkuanku.

"Dua jam lalu. Suamimu bilang kamu sedang tidur, jadi Bunda minta jangan dibangunkan. Katanya tadi kamu sakit perut." Mataku menatap Kang Fikri, memberi isyarat meminta penjelasan nanti.

Hal yang dulu kutakutan ternyata tidak terjadi, menyangka akan ada penolakan dari sosok suami yang tidak memiliki penghormatan pada mertua. Aku bersyukur, semua sangkaanku keliru. Suamiku adalah sosok yang sangat hormat kepada orang tuaku, tidak membedakan perlakuan antara orang tuanya dan mertua.

Seperti sekarang, Kang Fikri tengah berjalan bersama Ayah serta menggandeng Ahmad menuju Masjid pondok untuk shalat Maghrib serta Isya berjamaah.

"Nduk, Bunda bahagia kamu menikah dengan Kang Fikri." Aku tersenyum, mengangguk. Aku memang bahagia bersamanya.

"Maaf, Bunda, tadi pagi Fany hanya sebentar berkunjungnya. Gus Fikri harus jaga ndalem karena Abah serta Mbak Nana medal." Bunda mengusap tanganku. "Ndak masalah, suamimu sudah bilang sama Ayah dan Bunda tadi."

Entah perasaanku saja atau memang benar ada yang aneh dari kedatangan Ayah dan Bunda serta Ahmad. Mereka datang sore menjelang Maghrib dan bukan dengan menggunakan motor Ayah. Yang kulihat malah tadi Ayah sempat mengambil peci dari mobil milik Kang Fikri. Yang lebih aneh lagi, tampak di pelataran ndalem telah berdiri tenda yang biasa dipakai untuk acara besar pondok serta ruang tamu dengan dekorasi yang sangat cantik. Baru kusadari pula di ruangan ini hanya ada hamparan karpet tebal tempatku duduk saat ini.

Sepasang Hati (End)Where stories live. Discover now