28. Tidak sebanding

2K 254 45
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على سيدنا محمد

Typo mohon tandai...

Takdir telah berlaku, membuat roda kehidupan berjalan sesuai yang dipastikan dalam Lauh Mahfudz.

Tidak ada yang berubah, status santri masih melekat padaku meskipun telah menjadi menantu dari Kiai Ghofur. Aku berjalan mengendap-endap dari samping mobil Kang Fikri menuju kamarku di pondok Putri setelah dua hari menghilang.

Mataku membulat, memberi gelengan pada pria berkemeja kotak-kotak dengan dalaman kaos yang memberikan lambang cinta dengan jari jempol dan telunjuk padaku. Persis meniru lambang cinta khas orang Korea. Ini sosok Gus Lana yang kata santri putri kalem, elegan dan tidak neko-neko? Itu hanya mitos saudara-saudara. Melihatnya seperti ini malah membuatku tidak yakin anggapan elegan untuk Kang Fikri dari para santri putri.

Masih dengan gelengan, aku memberi isyarat padanya untuk menyudahi menggodaku tapi tidak dianggap olehnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Masih dengan gelengan, aku memberi isyarat padanya untuk menyudahi menggodaku tapi tidak dianggap olehnya. Mau cari gara-gara Kang Fikri. Bisa jadi bahan omongan kalau para santri melihat Gus mereka memberikan lambang cinta itu padaku.

Tak ada itikad menurunkan jarinya, Kang Fikri kini malah menambah gaya remaja dilanda cinta dengan lebih menggodaku, menurunkan kaca matanya lantas memberi kedipan sebelah matanya. Kembali aku menggeleng disertai melayangkan tatapan tajam yang malah dibalas olehnya dengan kekehan serta menjulurkan lidah. Awas saja, kupastikan dia akan mendapat balasan.

"Mbak Alfa, dari mana saja dua hari ini?Ada masalah? Atau Mbak ada urusan keluarga?" Aku terkejut, baru menyadari Syifa ada di sampingku dan langsung menghujaniku dengan  pertanyaan. Kusapu pandangan, memastikan keberadaan pria berkemeja kotak yang ternyata sudah lenyap dari posisinya tadi. Menghela napas lega.

Semoga saja Syifa tak melihat kelakuan Kang Fikri tadi.

"Aku pergi ke pondokku dulu," balasku.

"Sama siapa, Mbak?"

Pertanyaan Syifa sempat membuatku kebingungan menjawab, hingga terlintas sebuah ide menyebut Kang Fikri sebagai teman. "Teman yang dulu juga mondok di sana." Aku tidak ingin bohong, memang kemarin benar datang ke pondokku dulu dengan teman, teman hidup lebih tepatnya. Dan Syifa percaya dengan ucapanku barusan.

Aku berjalan bersisian dengan Syifa menuju kamar. Sampai di  kamar kedatangan kami disambut dengan obrolan perihal pernikahan Gus Lana. Jantungku berdebar hebat saat Yaya teman sekamarku mengatakan dia tahu siapa mempelai wanitanya. Ada rasa takut jika dia mengatakan bahwa akulah sang mempelai wanitanya.

Ternyata dugaanku salah, malah Yaya mengatakan jika calon istri Gus Lana adalah seorang Ning dari pondok di Demak. Seorang wanita anggun, sholihah, lulusan Mesir dan yang pasti anak seorang Kiai alim. Berbeda denganku, bukan dzurriyah orang alim.

Sepasang Hati (End)Where stories live. Discover now